logo
Ilustrasi kantor Bank BJB.
Perbankan

Sejak Kasus Korupsi Terungkap Tahun Lalu, Seberapa Anjloknya Harga Saham BJBR?

  • Penurunan harga saham ini mencerminkan reaksi negatif investor terhadap isu yang melibatkan perusahaan. Dugaan korupsi yang mencuat telah menggerus kepercayaan pasar, menyebabkan aksi jual yang signifikan.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Sejak dugaan kasus korupsi terungkap pada 15 Maret 2024, harga saham PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR) terus mengalami penurunan signifikan. Berdasarkan data perdagangan, harga saham BJBR pada tanggal tersebut masih berada di level Rp1.195 per lembar. 

Namun, setahun setelahnya, pada 20 Maret 2025, harga saham anjlok hingga Rp765 per lembar, mencerminkan penurunan sebesar 35%.

Penurunan harga saham ini mencerminkan reaksi negatif investor terhadap isu yang melibatkan perusahaan. Dugaan korupsi yang mencuat telah menggerus kepercayaan pasar, menyebabkan aksi jual yang signifikan. 

Faktor ini diperparah dengan ketidakpastian hukum yang membayangi perseroan, sehingga investor cenderung mengambil langkah defensif dengan melepas kepemilikan mereka.

RHB Research telah menurunkan rekomendasi saham BJBR dari sebelumnya Neutral menjadi Sell. Penurunan ini dipicu oleh dugaan kasus korupsi yang menyeret mantan Direktur Utama serta hasil keuangan yang melemah pada Kuartal IV-2024.

Dalam riset terbaru RHB Research, nilai ESG (Environmental, Social, and Governance) Bank BJB turun dari 3,0 menjadi 2,5. Penurunan ini disebabkan oleh kasus dugaan korupsi dalam pengadaan iklan yang melibatkan mantan Direktur Utama, Yuddy Renaldi. KPK telah menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus ini.

Antara 2021 hingga pertengahan 2023, Bank BJB mengalokasikan anggaran hingga Rp409 miliar untuk biaya promosi dan pemasaran melalui enam agen periklanan. Masalah hukum ini berdampak pada ESG discount sebesar 10%, yang turut menekan valuasi saham BJBR.

Penurunan Laba dan Pelemahan Kinerja Keuangan
Selain kasus hukum, hasil keuangan Bank BJB juga menunjukkan perlambatan signifikan. Laba bersih perseroan turun hingga 52,8% secara kuartalan (QoQ) pada Kuartal IV-2024 akibat meningkatnya biaya kredit dan pengeluaran operasional.

Net Interest Margin (NIM) juga mengalami kontraksi, turun menjadi 3,8%, yang mencerminkan ketatnya likuiditas perbankan. Kondisi ini memicu RHB Research untuk merevisi proyeksi laba Bank BJB pada tahun fiskal 2025-2026.

Revisi Target Harga Saham dan PBV Ratio
Sebagai dampak dari revisi laba dan diskon ESG, RHB Research memangkas target harga saham BJBR menjadi Rp670 per lembar saham. 

Sebelumnya, target harga berada di Rp880 per lembar saham. Revisi ini didasarkan pada pembaruan nilai buku dengan rasio Price-to-Book Value (PBV) yang dipangkas dari 0,6x menjadi 0,4x.

Meningkatnya Risiko Kredit dan NPL
Rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) Bank BJB meningkat tajam menjadi 2,2% pada Desember 2024, naik signifikan dibandingkan 1,5% di September 2024, dan jauh lebih tinggi dibandingkan 1,4% di Desember 2023. 

Lonjakan NPL ini terutama disebabkan oleh tingginya risiko kredit di segmen korporasi, termasuk dampak dari kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex/SRIL).

Faktor Likuiditas dan Penurunan CASA Ratio
Ketatnya likuiditas perbankan menjadi tantangan tambahan bagi Bank BJB. Dana pihak ketiga (DPK) hanya tumbuh 12,6% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit. 

Selain itu, pertumbuhan deposito berjangka yang lebih tinggi dibandingkan Current Account Saving Account (CASA) menyebabkan rasio CASA mengalami penurunan signifikan pada Kuartal IV-2025.

Kronologi Singkat

Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Maret 2024, ditemukan indikasi markup dalam biaya iklan yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp200 miliar dalam periode 2021-2023. 

Bank BJB mengalokasikan anggaran iklan sebesar Rp1,15 triliun dalam tiga tahun tersebut, dengan Rp801,5 miliar dikelola oleh Divisi Corporate Secretary (Corsec). Dari jumlah itu, Rp341,8 miliar dialokasikan untuk kerja sama dengan enam agensi periklanan. 

Namun, BPK menemukan adanya praktik markup biaya iklan yang seharusnya Rp200 juta per tayang menjadi Rp400 juta, sehingga mengakibatkan potensi kerugian besar bagi negara.