<p>Lanskap pemukiman padat warga diambil dari kawasan Grogol, Jakarta, Kamis, 5 November 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Sejak Merdeka, Berapa Kali Sih Indonesia Alami Krisis dan Resesi Ekonomi?

  • JAKARTA – Sejak merebut kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia telah mengalami tiga kali krisis ekonomi dan dua kali resesi. Krisis ekonomi pertama terjadi pada 1998, 2008, dan 2020. Teranyar, Indonesia kembali mengulang resesi ekonomi tahun ini akibat pandemi. Meski bukan kali pertama Indonesia dan dunia menghadapi krisis ekonomi, namun semua negara tampak seperti pemula […]

Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Sejak merebut kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia telah mengalami tiga kali krisis ekonomi dan dua kali resesi. Krisis ekonomi pertama terjadi pada 1998, 2008, dan 2020. Teranyar, Indonesia kembali mengulang resesi ekonomi tahun ini akibat pandemi.

Meski bukan kali pertama Indonesia dan dunia menghadapi krisis ekonomi, namun semua negara tampak seperti pemula di hadapan wabah corona. Ekonomi puluhan negara porak poranda di paruh pertama 2020, kabar baiknya, beberapa negara telah mulai berbenah diri pada kuartal III-2020.

Tren pemulihan juga terjadi di Tanah Air, Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini mengumumkan resminya Indonesia masuk ke kondisi resesi. Bagaimana tidak, sudah dua kuartal berturut-turut perekonomian nyungsep di zona negatif. Meski resesi, angka kontraksi kuartal ini menunjukkan perbaikan dari kuartal sebelumnya.

Pada kuartal I-2020, Indonesia hanya mampu tumbuh mencapai 2,97% saja. Lalu pada kuartal II-2020 ekonomi terjun bebas ke level 5,32% secara tahunan. Terbaru, meski tak sedalam kuartal kedua, ekonomi kuartal III-2020 tercatat masih di zona negatif yakni minus 3,49% jika dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal III-2019.

Lantas, apa perbedaan kondisi perekonomian Indonesia dibandingkan dengan dua krisis sebelumnya?

Berikut hasil rangkuman TrenAsia.com, menukil dari berbagai data dari Bank Indonesia dan BPS, Senin, 9 November 2020.

Tiga Krisis di Indonesia

Suasana pemukiman kumuh padat warga di kawasan Kebun Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Krisis 1998

Momentum krisis ekonomi 1998 memang memiliki cerita pahit tersendiri di sejarah Republik Indonesia. Tidak hanya faktor ekonomi, dominasi politik juga kental mengiringi salah satu masa terkelam Indonesia. Singkatnya, krisis 1998 telah dimulai sejak 1997. Di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia kontraksi selama enam bulan di sepanjang 1997.

Kontraksi juga tercatat masih berlanjut selama sembilan bulan pertama pada 1998. Sejumlah indikator makro ekonomi juga mencatat peliknya kondisi ekonomi saat itu. Meski bermula dari nilai tukar baht di Thailand pada 2 Juli 1997, namun Indonesia menjadi negara yang paling parah terdampak di kawasan Asia Tenggara.

Keterpurukan tercermin dari rupiah yang ditutup pada level Rp4.850 per dollar AS pada tahun 1997 yang kemudian meroket ke level Rp17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998. Artinya, rupiah terdepresiasi lebih dari 80%.

Tidak hanya nilai tukar rupiah, resesi diperparah dengan besarnya utang luar negeri Indonesia dalam bentuk valuta asing. Baik utang pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta perusahaan swasta. Dari total utang luar negeri hingga Maret 1998 yang mencapai US$138 miliar, kurang lebih US$72,5 miliar merupakan utang swasta.  Sedangkan, cadangan devisa Indonesia saat itu juga sekitar US$14,44 miliar.

Dengan babak belurnya rupiah, pasar uang dan pasar modal juga tak kalah kebakaran jenggot. Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp226 triliun menjadi Rp196 triliun pada Juli 1998.

Dengan kondisi serba seret, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) tak terelakkan. Sedikitnya ada 70% perusahaan yang tercatat di pasar modal mengalami kebangkrutan. Terutama sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan.

Alhasil, pengangguran melonjak menjadi 20 juta orang atau 20% dari angkatan kerja. Akibatnya, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan menjadi sekitar 50% dari total penduduk. Data BPS menunjukkan, perekonomian Indonesia yang masih tercatat tumbuh 3,4 % pada kuartal III-1997 dan 0% pada kuartal IV-1997.

Setelahnya, terus anjlok ke level negatif menjadi -7,9% pada kuartal I-1998, -16,5 % kuartal II-1998, dan -17,9% kuartal III-1998.  Laju inflasi per Agustus 1998 mencapai 54,54 %, dengan angka inflasi Februari sebesar 12,67 %.

Krisis 2008

Karyawan menunjukkan uang Dolar Amerika Serikat (AS) di salah satu Bank BUMN di Jakarta, Selasa 2 Juni 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Gejolak krisis keuangan global telah mengubah tatanan perekonomian dunia. Krisis global yang berawal di Amerika Serikat pada tahun 2007, mulai semakin dirasakan dampaknya ke seluruh dunia, termasuk negara berkembang pada tahun 2008.

Di Indonesia, imbas krisis mulai terasa terutama menjelang akhir 2008. Setelah mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 6% sampai dengan kuartal III-2008, perekonomian Indonesia mulai mendapat tekanan berat pada kuartal IV-2008.

Secara relatif, posisi Indonesia sendiri secara umum bukanlah yang terburuk di antara negara-negara lain. Perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh sebesar 6,1% pada 2008. Perekonomian Indonesia tahun 2008 secara umum mencatat perkembangan yang cukup baik di tengah terjadinya gejolak eksternal. Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan tumbuh mencapai 6,1% pada 2008 atau sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 6,3%.

Di sisi investasi, secara keseluruhan tahun 2008, pertumbuhan investasi meningkat sebesar 11,7%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya. Di sisi eksternal, meski terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi global, secara keseluruhan ekspor Indonesia masih dapat tumbuh 9,5% atau lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sementara itu, cadangan devisa pada akhir Desember 2008 tercatat sebesar US$51,6 miliar. Jumlah cadangan devisa tersebut dipandang cukup aman, setara dengan 4,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Tekanan terhadap rupiah terjadi sejak awal kuartal IV-2008 sehingga pada kuartal tersebut rupiah mengalami pelemahan mencapai 15,5%. Namun, apabila dilihat selama tahun 2008, rupiah secara rata-rata hanya mencatat pelemahan sebesar 5,4% hingga mencapai Rp. 9.666 per dollar AS.

Di sisi harga, tekanan inflasi di Indonesia yang sampai dengan kuartal III-2008 masih tinggi, mulai menurun pada kuartal IV-2008. Tingginya tekanan inflasi sampai dengan kuartal III-2008 terutama dipicu oleh kenaikan harga komoditas internasional terutama minyak dan pangan. Secara keseluruhan, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada 2008 mencapai 11,06%, sementara inflasi inti mencapai 8,29%.

Krisis 2020

Petugas medis mengambil sampel spesimen saat swab test secara drive thru di halaman Laboratorium Kesehataan Daerah (LABKESDA) Kota Tangerang, Banten 28 April 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Sebagaimana diketahui, krisis ekonomi 2020 bermula ketika wabah COVID-19 yang berasal dari Wuhan, China mulai menyebar ke seluruh dunia. Sejak kasus pertama terkonfirmasi pada 2 Maret 2020, Indonesia terus mengalami lonjakan pasien positif.

Tingginya eskalasi penyebaran virus membuat perekonomian melambat seiring dengan tak kunjunjung turunnya angka terpapar pandemi. Sehingga, Indonesia baru saja resmi bergabung dengan puluhan negara yang sudah lebih dulu mengalami resesi ekonomi.

Meski tak sedalam kuartal kedua, ekonomi kuartal III-2020 tercatat masih di zona negatif yakni minus 3,49% jika dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal III-2019. Secara kuartalan, BPS melaporkan kinerja kuartal ketiga tahun ini lebih baik dari tiga bulan sebelumnya yakni tumbuh positif 5,05%.

“Membaik ke level 3,49 persen. Artinya terjadi perbaikan dan kita berharap kuartal ke IV akan makin lebih baik,” kata Kepala BPS, Suhariyanto dalam konferensi pers virtual, Rabu, 5 Agustus 2020.

Tren perbaikan juga diamini oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan realisasi ekonomi kuartal III yang lebih baik dari kuartal sebelumnya menandakan Indonesia telah melewati kondisi terburuk akibat pandemi COVID-19.

Sri Mulyani mengatakan hal itu dapat terlihat dari realisasi di hampir semua indikator pembentuk PDB, baik dari sisi pengeluaran maupun sisi lapangan usaha yang menunjukkan tanda-tanda pembalikan.

“Dengan berbagai fenomena titik balik atau turning point itu menunjukkan kondisi terburuk akibat COVID-19 telah terlewati pada kuartal II,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 5 November 2020.

Biang Kerok Resesi

Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di area Senayan City Mall, Jakarta, Selasa 9 Juni 2020. Senayan City siap menyambut pengunjung kembali pada Senin, 15 Juni 2020 Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Merujuk data BPS, konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2020 masih terkontraksi 4,04% year on year (yoy). Angka ini mengalami perbaikan dibandingkan dengan kontraksi kuartal kedua yakni 5,52%.

Berdasarkan sumber pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), konsumsi rumah tangga menjadi kontributor terbesar kontraksi ekonomi Indonesia secara tahunan yakni sebesar -2,17%.

“Ini bisa dipahami karena bobot konsumsi rumah tangga dalam perekonomian sebesar 57 %,” kata Suhariyanto.

Secara kumulatif, besaran PDB atas dasar harga berlaku kuartal III-2020 mencapai Rp3.894,7 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.720,6 triliun. 

Ekonomi Indonesia kuartal III-2020 terhadap kuartal sebelumnya meningkat sebesar 5,05%. Secara tahunan, kontraksi pertumbuhan tercatat sebesar 3,49%, dengan angka kumulatif sebesar 2,03 %.

Kemudian, BPS juga mengumumkan setelah terjerat deflasi selama tiga kali berturut-turut pada kuartal III-2020, Indeks Harga Konsumen (IHK) akhirnya mengalami inflasi pada Oktober 2020 sebesar 0,07%.

Rinciannya, inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2020 sebesar 0,95% dan inflasi secara tahunan sebesar 1,44%.

Di sisi lain, Bank Indonesia melaporkan posisi cadangan devisa (cadev) pada akhir Oktober 2020 sebesar US$133,7 miliar.

Jumlah tersebut kembali menurun dari posisi akhir September 2020 sebesar US$135,2 miliar dan akhir Agustus 2020 sebesar US$137 miliar.

Direktur Eksekutif BI Onny Widjanarko mengatakan, posisi cadev tersebut setara dengan pembiayaan 9,7 bulan impor atau 9,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Utang dan Pengangguran

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat melakukan orientasi untuk PNS/ASN Kemenkeu. / Dok. Kemenkeu

Diketahui, catatan mutakhir BI atas Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per Agustus 2020 naik 5,7% year-on-year (yoy) menjadi US$413,4 miliar. Jumlah tersebut setara Rp6.104 triliun dengan asumsi kurs Rp14.766 per dolar Amerika Serikat (AS).

Rinciannya, terdiri dari ULN sektor publik, yakni pemerintah dan BI sebesar US$203 miliar setara Rp2.997 triliun. Sedangkan, ULN sektor swasta, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar US$210,4 miliar setara Rp3.106 triliun.

Adapun untuk ULN pemerintah sendiri, pada Agustus 2020 tumbuh 3,4% yoy menjadi US$200,1 miliar setara Rp2.954 triliun. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan Juli 2020 sebesar 2,3% yoy.

Tak jauh berbeda, ULN swasta pada Agustus 2020 juga mengalami peningkatan sebesar 7,9% yoy dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 6,2% yoy. Secara keseluruhan, rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Agustus 2020 sebesar 38,5%.

Sama dengan krisis-krisis sebelumnya, kini pandemi COVID-19 turut menghantam sektor ketenagarkerjaan. Akibatnya, jumlah pengangguran akibat pandemi bertambah 2,56 juta orang hingga Agustus 2020.

Secara kumulatif ada 29,12 juta orang (14,28%) penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19. Terdiri dari pengangguran karena COVID-19 (2,56 juta orang), bukan angkatan kerja (BAK) karena COVID-19 (0,76 juta orang).

Sementara tidak bekerja karena COVID-19 (1,77 juta orang), dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena COVID-19 (24,03 juta orang). Adapun, jumlah angkatan kerja pada Agustus 2020 sebanyak 138,22 juta orang, naik 2,36 juta orang dibanding Agustus 2019. Sejalan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) juga naik sebesar 0,24% poin.

Sehingga, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Agustus 2020 sebesar 7,07%, meningkat 1,84% poin dibandingkan dengan Agustus 2019. Penduduk yang bekerja sebanyak 128,45 juta orang, turun sebanyak 0,31 juta orang dari Agustus 2019.

Tercatat, lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase terbesar adalah sektor pertanian (2,23 %). Sementara, sektor yang mengalami penurunan terbesar yaitu sektor industri pengolahan (1,30%).

Investasi Masih Tumbuh

Kawasan industri Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) di Gresik, Jawa Timur/ Jiipe.com

Meski demikian, harapan pemulihan masih tercermin dari realisasi investasi.  Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi pada kuartal III-2020 tumbuh 1,8% year on year (yoy) menjadi Rp209 triliun.

Dengan demikian, BPKM telah merealisasikan investasi sebesar Rp611,6 triliun atau 74,8% dari target sepanjang 2020 yakni Rp817,2 triliun.

Tidak hanya tumbuh secara tahunan, realisasi investasi hingga September 2020 juga membaik secara kuartalan yakni naik 8,9% dibandingkan kuartal II-2020.

Bahlil merinci, realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) tercatat sebesar Rp102,9 triliun, naik 2,1% yoy. Sedangkan, penanaman modal asing (PMA) tercatat Rp106,1 triliun. 

Adapun, realisasi investasi pada kuartal III-2020 diketahui mampu menyerap 295.387 orang yang berasal dari 45.726 proyek investasi.

Secercah harapan yang tercermin pada realisasi kuartal ketiga tahun ini berbanding terbalik dengan realiasasi kuartal II-2020 yang justru kontraksi sebanyak 4,3%.

Pada kuartal lalu, realisasi investasi susut menjadi  Rp191,9 triliun dari sebelumnya Rp200,5 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

Melansir data BKPM, penurunan realisasi kuartal II-2020 bahkan lebih dalam jika dibandingkan dengan capaian kuartal I-2020 senilai Rp210,7 triliun. Sehingga, penurunan realisasi terhadap kuartal pertama tahun ini mencapai 8,9%.