Hotel Sultan Jakarta.
Nasional

Sejarah Hotel Sultan, Problematik Sejak Awal Pembangunan

  • Ide pembangunan Hotel Sultan mengemuka ketika Jakarta dikabarkan bakal jadi tuan rumah konferensi pariwisata se-Asia Pasifik.

Nasional

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Hotel Sultan menjadi bahan pembicaraan setelah pemerintah baru saja mengambil alih pengelolaan hotel di kawasan Gelora Bung Karno (GBK) tersebut. PT Indobuildco tak lagi berwenang mengelola hotel menyusul kemenangan pemerintah dalam gugatan putusan Peninjauan Kembali (PK) atas sengketa lahan Blok 15 Kawasan GBK. 

Putusan itu membuat negara dapat mengelola Hotel Sultan setelah hampir setengah abad pengelolaannya berada di tangan swasta. Namun problem pengelolaan hingga kini masih bergulir. PT Indobuildco menuding langkah Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) mengambil alih kawasan Hotel Sultan Jakarta melanggar undang-undang (UU) dan terlalu prematur. 

Usut punya usut, hotel yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Tanah Abang, Jakarta Pusat ini ternyata sudah bermasalah sejak awal pembangunan tahun 1970-an. Mengutip Majalah Gatra tahun 2005, ide pembangunan Hotel Sultan mengemuka ketika Jakarta dikabarkan bakal jadi tuan rumah konferensi pariwisata se-Asia Pasifik. Pesertanya tak main-main, mencapai 3.000 orang.

Kala itu Ibu Kota belum banyak memiliki hotel bertaraf internasional. Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta saat itu pun menyurati Pertamina agar membangun hotel untu menjamu para tamu tahun 1971. Permintaan itu disampaikan Ali lantaran Pertamina saat itu sedang berada di masa kejayaan. Pertamina “berpesta-pora” menyusul meningkatnya harga minyak dunia di pasar global.

Di sisi lain, aturan memang tidak memungkinkan swasta membangun di kawasan GBK. Permintaan itu pun disetujui Direktur Utama Pertamina, Ibnu Sutowo (1968-1978). Hotel Sultan mulai dibangun tahun 1973 di kawasan Senayan dengan bendera PT Indobuildco. Ali Sadikin awalnya percaya PT Indobuildco adalah anak usaha Pertamina. Namun ketika hotel berdiri tahun 1976, dia baru menyadari bahwa PT Indobuildco bukan bagian dari BUMN tersebut. “Saya baru tahu Indobuildco itu bukan Pertamina. Iya, saya tertipu,” ujar Ali, dikutip dari arsip Detik.com, 30 Januari 2007. 

Bila ditelisik, Indobuildco dan Pertamina kala itu memang berhubungan erat. Pemimpin Indobuildco adalah Pontjo Sutowo, anak keempat Direktur Utama Pertamina, Ibnu Sutowo. Alih-alih dikelola pemerintah, hotel itu akhirnya dikelola keluarga Sutowo dengan skema Hak Guna Bangunan (HGB). Awalnya Hotel Sultan bernama Jakarta Hilton International yang berdiri mulai 1976 di sebagian lahan GBK. Nama itu disematkan karena pengelola bekerja sama dengan jaringan hotel internasional, Hilton Hotels Corporation. 

Mengutip buku Kiprah Keluarga Ibnu Sutowo, Hotel Sultan memiliki 1.104 kamar, sembilan ruang banquet dan satu ballroom, fasilitas olahraga dan rekreasi, serta beragam fasilitas hotel lima lainnya. Saat itu tak ada yang berani lantang memprotes pengelolaan hotel oleh Indobuildco. Hal itu tak lepas dari kedekatan Ibnu Sutowo dengan penguasa kala itu, Soeharto. Sutowo bahkan sempat lolos dari jeratan hukum terkait kasus pengelolaan Pertamina. 

Mengutip Richard Robinson dalam Power and Economy in Suharto's Indonesia (1990), Ibnu dikenal sebagai raja minyak dan tangan kanan Soeharto. Beberapa proyek besar diberikan pada Sutowo atas perintah Soeharto, termasuk Hotel Hilton yang kini menjadi Hotel Sultan. Namun keberadaan Indobuildco di Hotel Sultan mulai digoyang ketika HGB mereka habis tahun 2003. 

Indobuildco sempat mengajukan perpanjangan HGB pada 10 Januari 2002 yang ditolak Badan Pengelola GBK. Badan Pertanahan Nasional (BPN) DKI Jakarta malah menerbitkan SK Perpanjangan HGB pada 13 Juni 2002, dengan jangka waktu 20 tahun terhitung 4 Maret 2003. Kepala Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta Robert J Lumempouw kemudian dijatuhi hukuman penjara tiga tahun. Nama hotel berubah menjadi The Sultan Jakarta setelah putus kontrak dengan Hilton International pada 2006. 

Meski berubah nama, Pontjo Sutowo masih mendominasi pengelolaan. Perpanjangan HGB Hotel Sultan resmi berakhir 4 Maret 2022 lalu. Pemerintah pun tampak enggan kembali kecolongan. Negara mengupayakan sejumlah tindakan pengambilalihan, salah satunya membentuk Tim Transisi Pengelolaan Blok 15 Kawasan GBK untuk memanfaatkan lahan bagi kepentingan negara.