<p>Pesawat Airbus A330-300 milik maskapai penerbangan BUMN PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. / Airbus.com</p>
Korporasi

Sejarah Panjang Dosa Garuda Sejak ORBA hingga Terancam Pailit di Masa Sulit

  • Bukan kali ini saja, ternyata Garuda Indonesia sudah menjadi bancakan sejak era Orde Baru.

Korporasi
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – Tensi tinggi merundung manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) di tengah hantaman pandemi COVID-19 yang belum juga usai. Maskapai penerbangan pelat merah ini terancam bubar akibat sengkarut problematika yang sedang dihadapi perseroan.

Menjelang akhir Mei 2021, publik dikejutkan dengan tersebarnya rekaman suara Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra. Dalam rekaman tersebut, Irfan menyampaikan curahan hatinya kepada karyawan terkait kondisi perusahaan yang tengah sekarat.

Dalam pertemuan internal itu, ia juga menawarkan opsi pensiun dini kepada karyawan Garuda Indonesia yang telah memenuhi kriteria. Opsi ini dipercaya menjadi salah satu cara untuk menyelamatkan bisnis perusahaan di tengah pukulan pandemi.

“Saya ingin sampaikan dengan berat hati bahwa tidak ada lagi pilihan bagi kami untuk menjalankan sebuah aksi yang tidak disukai oleh siapa pun, yaitu dengan menurunkan jumlah pegawai. Maka, saya umumkan kepada teman-teman, saya membuka program pensiun dipercepat,” ujarnya melalui rekaman audio yang diterima redaksi TrenAsia.com, 21 Mei 2021.

Di tengah pemberitaan tersebut, sikap empati turut dikemukakan oleh dewan komisaris Garuda Indonesia. Melalui secarik surat tertanggal 2 Juni 2021, Komisaris Garuda Indonesia, Peter F. Ghonta mengajukan permohonan untuk memberhentikan pembayaran honorarium bulanan mulai Mei 2021 hingga rapat pemegang saham selanjutnya.

“Keputusan ini diambil demi ‘sedikit meringankan’ beban keuangan perseroan, di mana diharapkan adanya keputusan yang jelas dan mungkin sebagai contoh bagi yang lain agar sadar akan kritisnya keadaan perusahaan,” tutur dia.

Di samping itu, pemerintah juga tengah menyiapkan setidaknya empat opsi untuk menyelamatkan emiten dengan kode saham GIAA ini. Di antaranya suntikan ekuitas dari pemerintah, intervensi hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi oleh pemerintah, pendirian maskapai nasional baru, hingga membiarkan sektor swasta masuk ke perseroan melalui skema likuidasi.

Meskipun terus merugi hingga digerogoti, upaya penyelamatan selalu dilakukan oleh pemerintah. Hal ini lantaran Garuda Indonesia memiliki sejarah yang panjang sebagai satu-satunya perusahaan maskapai milik negara yang telah bertahan selama 72 tahun.

Terlepas dari hal tersebut, perlu diingat bahwa persoalan yang dihadapi Garuda Indonesia ini bukanlah kali pertama. Dosa-dosa mantan bos GIAA atas kebijakan yang sembrono di masa lalu kiranya memberikan dampak yang juga tak kalah luar biasa bagi ‘kesehatan’ perseroan saat ini, selain adanya pandemi COVID-19.

Kasus Suap dan TPPU Emirsyah Satar
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Emirsyah Satar (Kiri) / Istimewa

Dirut Garuda Indonesia periode 2005 – 2014, Emirsyah Satar divonis 8 tahun penjara serta denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan pada 8 Mei 2020. Ia dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi karena menerima suap dengan nilai puluhan miliar rupiah.

“Mengadili, menyatakan terdakwa Emirsyah Satar terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama,” tutur Hakim Ketua Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, pada saat membacakan amar putusannya.

Emirsyah juga diwajibkan membayar uang pengganti sekitar 2,12 juta dolar Singapura.  Jika ia tidak membayar uang setelah hukum tetap, maka hukuman penjara akan ditambah selama 2 tahun.

Vonis ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menuntutnya 12 tahun penjara serta denda sebesar Rp10 miliar subsider 8 bulan kurungan penjara.

Dalam fakta persidangan, pria yang akrab disapa Emir ini terbukti menerima uang sebesar 1,2 juta poundsterling, US$180.000, dan sejumlah barang dengan nilai sekitar US$2 juta untuk memuluskan pengadaan mesin serta awak pesawat Garuda Indonesia.

Pemberian suap atas pembelian mesin pesawat Garuda dari Airbus, Rolls-Royce, dan ATR dilakukan melalui Soetikno Soedarjo yang merupakan pemilik Connaught International Pte Ltd dan PT Ardhyaparamita Ayuprakarsa. Sedangkan, Bombardier melancarkan aksinya melalui Hollingsworld Management International Ltd Hong Kong dan Summerville Pacific Inc.

Selain suap, Emir juga dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Praktik haram yang dilakukannya bersama Soetikno Soedarjo dari suap pengadaan pesawat tersebut ditaksir mencapai Rp87,46 miliar.

Ari Askhara: Lapkeu Bodong hingga Penyelundupan
Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra alias Ari Askhara / Dok. Garuda Indonesia

Yang paling anyar dan sempat hangat menjadi topik perbincangan jagat dunia maya beberapa waktu lalu, yakni kasus yang menjerat mantan bos Garuda Indonesia, I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra alias Ari Askhara.

Hanya satu tahun menjabat sebagai dirut, namun cukup untuk Ari melakukan berbagai macam pelanggaran hukum sekaligus menyalahi etika sebagai pejabat publik. Beberapa tindak-tanduknya yang disorot antara lain pemalsuan laporan keuangan, rangkap jabatan, serta penyelundupan.

Ari diketahui pernah memanipulasi laporan keuangan tahun buku 2018 dari rugi menjadi untung. Pemalsuan laporan keuangan ini terungkap dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang digelar perseroan pada 24 April 2019.

Dalam rapat itu, komisaris perseroan pada saat itu yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menolak laporan keuangan Garuda tersebut. Kedua komisaris kubu konglomerat Chairul Tanjung (CT) ini menolak pencatatan pendapatan dari perjanjian kerja sama antara Garuda Indonesia dengan PT Mahata Aero Teknologi.

Pendapatan dari Mahata sebanyak US$239,94 juta tidak dapat diakui dalam laporan keuangan karena belum direalisasikan. Pencatatan tersebut membuat posisi Garuda Indonesia laba US$5,01 juta. Namun, akhirnya manajemen Garuda yang dipimpin Ari mengoreksi laporan keuangan 2018 alias restatement.

Dalam kasus ini, Ari dkk hanya dikenakan sanksi denda yang dibagi menjadi tiga bagian, di antaranya denda Rp100 juta kepada GIAA sebagai perusahaan terbuka. Kemudian, denda Rp100 juta kepada masing-masing direksi. Terakhir, denda Rp100 juta secara kolektif bagi direksi dan komisaris yang menandatangani laporan keuangan tersebut.

Selamat dari jeratan hukum, akhirnya Ari terjungkal dalam kasus penyelundupan motor Harley Davidson dan sepeda Brompton. Kasus ini sekaligus menjadi akhir masa jabatannya sebagai pimpinan Garuda setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir memecatnya dengan tidak hormat.

Setelah resmi ditetapkan sebagai tersangka, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri Tangerang menuntut Ari Askhara dengan 1 tahun kurungan penjara. Tuntutan itu telah dibacakan pada 24 Mei 2021.

Nyatanya, masih banyak kenakalan Ari lainnya saat memimpin Garuda. Pada awal tahun 2019 misalnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga perseroan melakukan duopoli terkait tarif dan biaya kargo dengan Lion Air Group. Ari bersama kubunya di jajaran direksi juga pernah melakukan rangkap jabatan di sejumlah perusahaan afiliasi Grup Garuda.

Warisan Masa Orde Baru
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Irfan Setiaputra. / Facebook @irfan.setiaputra

Jika ditelisik lebih jauh, ternyata praktik sewenang-wenang di tubuh Garuda sudah terjadi sejak zaman Orde Baru. Di masa kepemimpinan Presiden Soeharto, perusahaan maskapai milik negara ini telah menjadi bancakan Keluarga Cendana.

Sebagai contoh saja, para karyawan Garuda mencium adanya bau KKN ketika terdapat paksaan untuk menggunakan jasa asuransi PT Bimantara Graha Insurance. Perusahaan asuransi maskapai penerbangan ini tak lain adalah milik Bambang Trihatmodjo, putra ketiga Soeharto.

Masih di era 90-an, adik Soeharto dari lain ibu, Martini Tubagus Sulaeman juga pernah mencari peruntungan di Garuda. Melalui perusahaan pengelola gudang kargo PT Angkasa Bina Wiwesa (ABW) miliknya, Martini diketahui telah meraup banyak keuntungan.

Garuda Indonesia bersama ABW melakukan penandatanganan kerja sama selama 10 tahun, dimulai sejak tahun 1994. Dalam perjanjian itu, disepakati bahwa ABW akan membagikan minimal 10% dari pendapatan kotornya secara bulanan kepada Garuda. Sementara, berbagai biaya operasional sepenuhnya ditanggung oleh Garuda.

Tak hanya itu, masih banyak lagi berbagai kontrak tidak wajar lainnya yang terjadi pada Garuda Indonesia selama rezim Soeharto. Praktik KKN di perusahaan flag carrier ini bahkan terjadi hingga ke bagian katering.

Teranyar, Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendorong Kementerian BUMN untuk melakukan audit forensik laporan keuangan Garuda Indonesia.

Ketua Komisi VI DPR Faisol Riza mengatakan upaya ini menjadi opsi yang paling bisa ditempuh sebagai langkah awal penyelamatan emiten penerbangan pelat merah tersebut. Faisol mengatakan rencana audit forensik ini meski melibatkan perangkat penegak hukum dan lembaga yang berwenang.

Perangkat Penegak hukum itu terdiri dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kejaksaan Agung. Keterlibatan berbagai lembaga itu diklaim Faisol bisa membuka adanya potensi penyelewengan hingga transparansi menyeluruh kinerja perusahaan. (SKO)