
Sejarah Panjang JCC, Tercetus Berkat Ganefo
- Pengelolaan Balai Sidang Jakarta Convention Center (JCC), yang kerap digunakan sebagai tempat event MICE (Meetings, Incentives, Conventions & Exhibitions) berskala nasional maupun internasional, menjadi sengketa antara Pusat Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Bung Karno (PPKGBK) dan PT Graha Sidang Pratama (PT GSP).
Nasional
JAKARTA – Pengelolaan Balai Sidang Jakarta Convention Center (JCC), yang kerap digunakan sebagai tempat event MICE (Meetings, Incentives, Conventions & Exhibitions) berskala nasional maupun internasional, menjadi sengketa antara Pusat Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Bung Karno (PPKGBK) dan PT Graha Sidang Pratama (PT GSP).
PPKGBK dianggap tidak mematuhi perjanjian bangun guna serah (Build Operate Transfer/BOT) yang sebelumnya disepakati antara PT GSP (sebelumnya PT Indobuildco) dan PPKGBK (sebelumnya Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan/BPGS) pada awal kerja sama.
Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, melalui PPKGBK, menegaskan kerja sama pengelolaan Balai Sidang Jakarta yang berlokasi di Blok 14 berakhir seiring dengan selesainya masa Perjanjian Kerja Sama Bangun Guna Serah antara PPKGBK dan PT GSP.
- Seattle, Kawasan Elite yang Berubah jadi 'Zombieland'
- Daftar 17 K/L yang Lolos Pemangkasan Anggaran 2025, Ada Polri hingga DPR
- Danantara vs Kementerian BUMN: Rawan Tumpang Tindih Kewenangan
Sebagai investor sekaligus pengelola JCC, PT GSP kini tidak dapat melanjutkan kontrak dengan klien dan mitra bisnis yang telah disepakati sebelum kontrak berakhir pada 21 Oktober 2024.
Sejarah Jakarta Convention Center
Dilansir dari indonesia.go.id, Jakarta Convention Center (JCC) awalnya bernama Balai Sidang Jakarta. Pembangunan gedung JCC dimulai pada 8 Februari 1960.
Proyek ini merupakan gagasan Presiden Soekarno dengan tujuan memperlihatkan besarnya kekuatan Indonesia dan kemegahan Jakarta saat dicetuskannya Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang (Ganefo), yang dirancang sebagai alternatif perhelatan multicabang melebihi Olimpiade. Acara tersebut digelar pada 10 - 22 November 1963.
Namun, seiring perkembangannya, seperti yang diungkapkan oleh sejarawan Adolf Heuken, penulis Sejarah Jakarta Dalam Lukisan dan Foto, ajang tersebut tidak memanfaatkan bangunan Balai Sidang karena pembangunannya belum selesai. Pada saat itu, proyek ini menelan biaya sebesar US$12,5 juta atau sekitar Rp187,5 miliar.
Di awal 1960-an, ia merancang berbagai bangunan ikonik, termasuk Gedung MPR/DPR/DPD RI, Gedung Sekretariat ASEAN di Jakarta, Kementerian Pertanian, Gedung Manggala Wanabhakti, Kantor Kementerian Perhubungan, serta beberapa kantor Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur dan Kolombo.
Balai Sidang akhirnya selesai dibangun pada 1974 dan dilengkapi dengan Plenary Hall, sebuah auditorium besar berkapasitas 5.000 orang yang memiliki atap kubah (dome) raksasa.
Setelah rampung, bangunan ini langsung digunakan untuk konferensi tahunan Asosiasi Biro Perjalanan Asia Pasifik (PATA) ke-23 pada April 1974. Acara tersebut menandai awal mula Balai Sidang Jakarta dikenal sebagai pusat konvensi terbesar di Indonesia pada masanya.
Di samping itu, sosok dibalik terciptanya JCC adalah Arsitek Soejoedi Wirjoatmodjo yang menempuh pendidikan arsitektur di Prancis, Belanda, dan Jerman, terpilih untuk merancang dan membangun Balai Sidang.
Menurut Bagoes Wiryomartono dalam Soejoedi and Architecture in Modern Indonesia, yang diterbitkan dalam Journal of Architectural Research pada 6 Juni 2016, Soejoedi merupakan salah satu arsitek asli Indonesia pascakemerdekaan yang berperan dalam meletakkan dasar desain modernis.
Pendekatan modernis yang diterapkan Soejoedi bertujuan untuk melepaskan pengaruh kolonial yang masih melekat pada banyak bangunan lama di Indonesia.
Pada 1992, Balai Sidang Jakarta menjalani renovasi besar-besaran sebagai persiapan untuk menjadi lokasi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-10 Gerakan Non-Blok (GNB). Acara tersebut menghadirkan 62 pemimpin dan kepala negara serta delegasi dari 109 negara.
Presiden kedua Indonesia Soeharto, meresmikan Balai Sidang Jakarta dengan wajah barunya pada 25 Agustus 1992. Pasca renovasi, Balai Sidang Jakarta dilengkapi dengan 13 ruang pertemuan beragam ukuran. Setelah pembaruan tersebut, namanya resmi diubah menjadi Jakarta Convention Center (JCC).
Kapasitas JCC
Dikutip dari situs pengelola, hasil renovasi JCC mempunyai dua ruang pameran, yakni Exhibition Hall A dan B, dengan luas masing-masing 3.060 m² dan 6.075 m². Kedua ruang tersebut dihubungkan oleh koridor seluas 450 m². Setelah menjadi tuan rumah KTT ke-10 Gerakan Non-Blok, popularitas JCC sebagai lokasi konvensi semakin meningkat.
Digunakan dalam Berbagai Acara
Hingga kini, lebih dari 30 ribu acara telah digelar, mulai dari wisuda perguruan tinggi, pertemuan nasional dan internasional, hingga pameran produk kerajinan serta otomotif. Selain itu, konser musik dari artis ternama Indonesia dan dunia, serta festival musik jazz berskala internasional juga pernah diadakan di tempat yang kini dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
- Harga Sembako di DKI Jakarta: Cabe Rawit Hijau Naik, Beras IR. III (IR 64) Turun
- Kesehatan Finansial Bank: Indikator dan Strategi Pengelolaan yang Efektif
- IHSG Hari Ini Turun 181,03 Poin ke 6.694,51
Saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018, JCC digunakan sebagai venue untuk berbagai cabang olahraga bela diri. Selain itu, ketika Istora Senayan direnovasi untuk persiapan Asian Games 2018, kejuaraan bulu tangkis Indonesia Open 2017 turut diselenggarakan di Balai Sidang.
JCC juga menjadi tuan rumah acara besar, yaitu KTT ke-43 Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang berlangsung pada 5-7 September 2023. Berbagai persiapan dilakukan, termasuk penetapan anggaran sebesar Rp115,88 miliar untuk memperbarui tampilan JCC agar terlihat lebih segar dan semakin menarik.