<p>Militer Myanmar/YouTube</p>
Nasional & Dunia

Sejarah Panjang Kudeta dan Kekuasaan Militer di Myanmar

  • JAKARTA-Militer Myanmar menggulingkan pemerintah demokrasi yang rapuh di negara itu dalam kudeta pada Senin 1 Februari 2021. Militer menangkap para pemimpin sipil, mematikan internet, dan memutus penerbangan. Kudeta mengembalikan negara itu ke pemerintahan militer penuh setelah rentang pendek demokrasi semu yang dimulai pada 2011, ketika militer yang telah berkuasa sejak 1962, melaksanakan pemilihan parlemen dan […]

Nasional & Dunia

Amirudin Zuhri

JAKARTA-Militer Myanmar menggulingkan pemerintah demokrasi yang rapuh di negara itu dalam kudeta pada Senin 1 Februari 2021. Militer menangkap para pemimpin sipil, mematikan internet, dan memutus penerbangan. Kudeta mengembalikan negara itu ke pemerintahan militer penuh setelah rentang pendek demokrasi semu yang dimulai pada 2011, ketika militer yang telah berkuasa sejak 1962, melaksanakan pemilihan parlemen dan reformasi lainnya.

Parlemen minggu ini dijadwalkan untuk mengadakan sidang pertama sejak pemilu 8 November di negara itu, di mana Liga Nasional untuk Demokrasi atau NLD, partai sipil terkemuka di negara itu, memenangkan 83 persen dari kursi yang tersedia di lembaga tersebut.

Militer menolak menerima hasil pemungutan suara yang secara luas dianggap sebagai referendum atas popularitas Aung San Suu Kyi. Ketua NLD ini  telah menjadi pemimpin sipil de facto negara itu sejak menjabat pada tahun 2015. Parlemen baru diharapkan mendukung hasil pemilu dan menyetujui pemerintahan berikutnya.

Militer menyatakan bahwa hasil pemilu itu curang dan pada hari Senin mereka menahan para pemimpin N.L.D, termasuk Aung San Suu Kyi dan Presiden U Win Myint.Mmenteri kabinet, menteri utama, politisi oposisi, penulis dan aktivis juga ditahan.

Kudeta secara efektif diumumkan di stasiun TV Myawaddy milik militer. Pembawa berita mengutip konstitusi 2008, yang mengizinkan militer untuk mengumumkan keadaan darurat nasional. Keadaan darurat akan tetap berlaku selama satu tahun.

Militer dengan cepat menguasai infrastruktur negara, menangguhkan sebagian besar siaran televisi dan membatalkan semua penerbangan domestik dan internasional. Akses telepon dan internet diputus di kota-kota besar. Pasar saham dan bank komersial ditutup, dan antrean panjang terlihat di luar ATM. Di Yangon, kota terbesar dan bekas ibu kota negara, penduduk berlari ke pasar untuk membeli makanan dan persediaan lainnya.

Militer mengatakan pihaknya telah menyerahkan kekuasaan kepada panglima militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Tindakan tersebut memperpanjang kekuasaan Aung Hlaing, yang seharusnya pensiun sebagai panglima militer musim panas ini. Jaringan patronasenya, yang berpusat pada bisnis keluarga yang menguntungkan, bisa saja dirusak oleh masa pensiunnya, terutama jika dia tidak bisa mendapatkan jalan keluar yang aman.

Sejarah Panjang Kekuasaan Militer

Militer tidak pernah berada di bawah kendali pemerintah sipil.  Sejak kemerdekaan pada tahun 1948, Myanmar telah menjadi pusat konflik tumpang tindih yang terjadi antara kekuatan Komunis dan nasionalis; tentara etnis minoritas dan pemerintah nasional; dan kepentingan saingan dalam perdagangan heroin internasional dimana semua faksi termasuk unit militer bergantung untuk pembiayaannya.

Pada tahun 1962, 14 tahun setelah negara yang saat itu dikenal sebagai Burma merdeka dari pemerintahan kolonial Inggris. Militer atau yang dikenal sebagai Tatmadaw di bawah Jenderal Ne Win menggulingkan pemerintah sipil dan menempatkan rezim otoriter terpusat yang menggabungkan unsur-unsur sosialisme dan nasionalisme. Kudeta tersebut sebagian muncul dari kekhawatiran bahwa pemerintah sipil gagal untuk menindak keras gerakan etnis minoritas dan sayap bersenjata terkait.

Pada Agustus 1988 protes massal menyebabkan penggulingan Ne Win  tetapi junta militer baru yang tetap mengambil alih kekuasaan pada bulan September. Langkah ini memicu tindakan keras berdarah di mana ribuan orang terbunuh.

Meski demikian junta mengadakan pemilihan umum multi-partai yang demokratis pada tahun 1990, dan partai Liga Nasional Demokrasi yang dipimpin Suu Kyi memenangkan pemilihan dengan sangat banyak. Junta menolak untuk menerima hasil ini dan membatalkan pemilihan, menangkap banyak anggota partai oposisi dan menempatkan Suu Kyi dalam tahanan rumah. Sebuah kondisi yang dia jalani selama dua dekade.

Menyusul gelombang baru protes massa pada tahun 2007, kepemimpinan militer Myanmar kembali mengambil langkah-langkah transisi menuju demokrasi multi-partai dan pemerintahan sipil. Tapi kali ini militer mengambil langkah-langkah sebelumnya untuk memastikan tidak kehilangan pijakannya di aula kekuasaan. Militer mencadangkan kementerian utama dan 25% kursi parlemen untuk orang yang ditunjuk militer yang tidak terpilih dan juga mengeluarkan konstitusi baru untuk mendiskualifikasi Suu Kyi dari kursi kepresidenan. .

Meskipun demikian, partai NLD terus menang dalam pemilihan umum tahun 2015 dan 2020, dan dia secara de facto telah bertindak dalam peran eksekutif di kantor “Penasihat Negara Myanmar” yang baru dibentuk.

Namun, militer menolak untuk tunduk pada pemerintahan sipil dan mengejar agendanya sendiri, termasuk kampanye manipulasi media sosial terselubung yang menargetkan kelompok minoritas Rohingya di Facebook. Pertempuran antara militer dan etnis minoritas benar-benar meningkat di tahun 2010-an, dengan Tatmadaw meluncurkan serangan baru terhadap beberapa kelompok pemberontak.

Institusi pemilihan demokratis dan pemerintahan sipil di Myanmar membuka pintu keterlibatan diplomatik, investasi dan pariwisata dari negara-negara barat.  Namun, peningkatan hubungan Barat dengan Myanmar terhenti sekitar tahun 2017 karena kampanye genosida yang menargetkan Rohingya. Meskipun kekejaman dihasut dan dilakukan oleh militer Myanmar, mereka menerima dukungan retorik dari mayoritas kelas politik Myanmar, termasuk Suu Kyi yang dengan membela tindakan Tatmadaw.

Hal ini akhirnya menyebabkan hubungan yang dingin dan antara Myanmar dan dunia barat.  Tetapi China tetap meningkatkan hubungan dengan NLD serta menawarkan manfaat ekonomi melalui Belt-and-Road Initiative.

Namun meski militer memiliki kekuatan dan senjata, hal itu tidak menjamin kemenangan dalam pertempuran untuk mendapatkan legitimasi politik. Pemilu berturut-turut telah berulang kali dan sangat menegaskan popularitas Suu Kyi serta dimensi terbatas dari basis politik militer. Keputusan untuk melakukan kudeta pasti muncul dari ketakutan Tatmadaw bahwa penegasan kembali elektoral ini dapat secara bertahap mengikis cengkeraman kekuasaan yang dijaga dengan hati-hati.

Tetapi setelah satu dekade pemilihan demokratis dan pemerintahan sipil parsial, kudeta berisiko mengilhami jenis protes massal yang telah mengguncang politik Myanmar di masa lalu. Meskipun pemadaman media mungkin berhasil memperlambat respons langsung, kurangnya akses umum ke ponsel atau internet juga tidak mencegah protes massal sebelumnya pada tahun 1988 dan 2007. Itu berarti militer Myanmar akan tetap menghadapi reaksi ketika pada akhirnya semua pihak bersatu.