Ilustrasi uang rupiah (Foto:EmAji/Pixabay)
Nasional

Sejarah Rupiah: Perjalanan Panjang Menyimbolkan Kedaulatan Bangsa

  • Sejarah mata uang rupiah tidak bisa dilepaskan dari masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan, Hindia Belanda menggunakan gulden sebagai mata uang resmi.
Nasional
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA - Mata uang merupakan salah satu simbol penting yang mencerminkan kedaulatan suatu bangsa. Di Indonesia, mata uang rupiah tidak hanya menjadi alat tukar, tetapi juga lambang perjuangan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. 

Perjalanan panjang rupiah, mulai dari awal pembentukannya hingga menjadi alat transaksi resmi di seluruh pelosok negeri, mencerminkan dinamika ekonomi, politik, dan sosial yang dialami Indonesia. 

Awal Mula Pembentukan Rupiah

Sejarah mata uang rupiah tidak bisa dilepaskan dari masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan, Hindia Belanda menggunakan gulden sebagai mata uang resmi. 

Namun, setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia memerlukan mata uang sendiri sebagai lambang kedaulatan dan untuk membangun perekonomian negara yang baru merdeka.

Pada tahun 1946, pemerintah Indonesia memperkenalkan Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai mata uang pertama negara yang merdeka. ORI mulai diedarkan pada 30 Oktober 1946, dan menjadi simbol perlawanan terhadap kembalinya penjajah Belanda yang berusaha merebut kembali kekuasaannya di Indonesia pasca Perang Dunia II. 

Namun, seiring dengan berbagai masalah yang dihadapi dalam distribusi ORI serta adanya tekanan ekonomi dari berbagai pihak, pemerintah memutuskan untuk memperkenalkan mata uang baru yang dikenal sebagai rupiah.

Pengenalan Mata Uang Rupiah

Rupiah pertama kali diperkenalkan secara resmi pada 2 November 1949, tepatnya setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB). 

Pada saat itu, Indonesia masih menggunakan mata uang gulden yang dicetak oleh De Javasche Bank, sebuah bank sentral yang didirikan oleh Belanda pada masa kolonial. Namun, setelah KMB, Indonesia secara resmi mulai menggunakan rupiah sebagai mata uang nasional.

Pengenalan rupiah ini dilakukan secara bertahap. Awalnya, rupiah hanya berlaku di wilayah Sumatera, tetapi kemudian diperluas ke seluruh wilayah Indonesia. 

Pemerintah memutuskan untuk mempertahankan beberapa ciri khas dari gulden, seperti ukuran dan bahan kertas, namun dengan desain dan nilai yang berbeda. Proses ini dilakukan untuk memudahkan masyarakat dalam mengenali dan menerima mata uang baru tersebut.

Kurs Pertama Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (US$)

Pada awal pengenalannya, rupiah memiliki nilai yang cukup kuat terhadap mata uang asing. Kurs pertama rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US$) ditetapkan sekitar Rp3,80 per US$1. 

Nilai ini mencerminkan optimisme pemerintah Indonesia terhadap masa depan ekonomi negara yang baru merdeka. Namun, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ini tidak bertahan lama. 

Seiring dengan berbagai tantangan ekonomi dan politik yang dihadapi Indonesia, nilai rupiah mengalami fluktuasi yang cukup tajam dalam beberapa dekade berikutnya.

Peran Bank Indonesia dalam Sejarah Rupiah

Sejarah rupiah tidak bisa dipisahkan dari sejarah Bank Indonesia. Bank Indonesia didirikan pada 1 Juli 1953 sebagai bank sentral Republik Indonesia, menggantikan De Javasche Bank yang sebelumnya beroperasi di bawah pemerintahan kolonial Belanda. 

Tugas utama Bank Indonesia saat itu adalah mengendalikan kebijakan moneter, mengatur peredaran uang, serta menjaga kestabilan nilai rupiah.

Pada awal pendiriannya, Bank Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga kestabilan rupiah. Inflasi yang tinggi, gejolak politik, dan ketidakstabilan ekonomi menjadi masalah utama yang harus dihadapi. 

Meskipun demikian, Bank Indonesia berhasil melewati masa-masa sulit ini dan terus memperkuat perannya sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas stabilitas moneter di Indonesia.

Bank Indonesia juga berperan penting dalam beberapa kali redenominasi rupiah. Redenominasi dilakukan untuk menyederhanakan nilai nominal mata uang, biasanya sebagai respons terhadap inflasi yang sangat tinggi. 

Salah satu contoh penting adalah pada tahun 1965, ketika rupiah dihapuskan tiga nolnya akibat inflasi yang sangat tinggi selama periode Demokrasi Terpimpin.

Perkembangan Rupiah Selama Orde Baru

Pada masa pemerintahan Orde Baru, rupiah mengalami masa-masa stabilitas relatif dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pemerintah di bawah Presiden Soeharto mengadopsi kebijakan ekonomi yang lebih terpusat dan terkontrol, termasuk dalam mengelola nilai tukar rupiah. 

Selama periode ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS cenderung stabil, meskipun tetap mengalami devaluasi beberapa kali untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi global.

Salah satu tonggak penting dalam sejarah rupiah pada masa Orde Baru adalah devaluasi pada tahun 1978. Pada tahun tersebut, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mendevaluasi rupiah sebesar 50%, dari Rp415 per US$1 menjadi Rp625 per US$1. 

Devaluasi ini dilakukan untuk memperbaiki neraca perdagangan dan meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar internasional.

Namun, stabilitas nilai tukar rupiah pada masa Orde Baru tidak berlangsung selamanya. Pada tahun 1997-1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang dikenal dengan sebutan krisis finansial Asia. 

Rupiah mengalami depresiasi tajam, dari sekitar Rp2.600 per US$1 pada awal 1997, menjadi lebih dari Rp17.000 per US$1 pada puncak krisis pada Januari 1998. 

Krisis ini menyebabkan gejolak ekonomi dan politik yang berujung pada jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto setelah lebih dari 30 tahun berkuasa.

Pasca-Krisis: Perjalanan Rupiah Menuju Stabilitas

Setelah krisis moneter 1997-1998, Indonesia memulai proses pemulihan ekonomi yang panjang dan berliku. Pemerintah, dengan dukungan dari lembaga internasional seperti IMF, melakukan berbagai reformasi ekonomi untuk mengembalikan stabilitas. Salah satu fokus utama adalah stabilisasi nilai tukar rupiah.

Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter, memainkan peran penting dalam mengendalikan inflasi dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Melalui kebijakan moneter yang ketat dan pengawasan perbankan yang diperketat, nilai tukar rupiah secara bertahap kembali stabil. Meskipun tidak sekuat sebelum krisis, rupiah berhasil mencapai stabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan masa krisis.

Pada tahun-tahun berikutnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berfluktuasi dalam kisaran yang lebih stabil. Misalnya, pada tahun 2000-an, nilai tukar rupiah berkisar antara Rp8.000 hingga Rp12.000 per US$1. Stabilitas ini didukung oleh kebijakan ekonomi yang lebih terbuka dan integrasi Indonesia ke dalam ekonomi global.

Modernisasi dan Redenominasi

Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia terus melakukan upaya untuk memodernisasi sistem moneter dan peredaran rupiah. 

Salah satu inisiatif penting yang telah direncanakan adalah redenominasi rupiah, yang bertujuan untuk menyederhanakan nilai nominal mata uang tanpa mengubah daya beli masyarakat.

Redenominasi telah dibahas sejak tahun 2010-an, tetapi implementasinya masih ditunda hingga kondisi ekonomi dinilai siap. 

Rencana ini mencakup pengurangan tiga nol dari nilai nominal rupiah, sehingga misalnya Rp1.000 akan menjadi Rp1 dalam mata uang baru. Langkah ini bertujuan untuk mempermudah transaksi dan akuntansi, serta untuk meningkatkan citra rupiah di mata internasional.

Rupiah dan Tantangan Ekonomi Global

Memasuki abad ke-21, rupiah terus menghadapi tantangan dari dinamika ekonomi global. Pergerakan nilai tukar dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk harga komoditas, kebijakan moneter di negara-negara maju, serta kondisi ekonomi domestik. Fluktuasi harga minyak, perang dagang, dan ketidakpastian politik global sering kali menjadi faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah.

Namun, Bank Indonesia dan pemerintah terus berupaya menjaga stabilitas rupiah melalui berbagai kebijakan. Kebijakan moneter yang fleksibel, penguatan cadangan devisa, dan koordinasi dengan kebijakan fiskal merupakan beberapa langkah yang diambil untuk menjaga nilai tukar dan inflasi dalam batas yang terkendali.