<p>flickr.com</p>
Industri

Selalu Kontroversial, Tembakau Tetap Jadi Andalan

  • JAKARTA – Tembakau selalu menjadi tanaman yang seksi untuk dibahas, mulai dari sumbangannya terhadap penerimaan negara, maupun pro dan kontra produk turunannya. Tanaman ini memiliki sejarah panjang di Indonesia. Tembakau pertama kali masuk ke nusantara sekitar abad ke-16 melalui orang Spanyol yang singgah di Filipina. Sejak itu, tembakau menjadi komoditas yang terus meroket. Hal ini […]

Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Tembakau selalu menjadi tanaman yang seksi untuk dibahas, mulai dari sumbangannya terhadap penerimaan negara, maupun pro dan kontra produk turunannya.

Tanaman ini memiliki sejarah panjang di Indonesia. Tembakau pertama kali masuk ke nusantara sekitar abad ke-16 melalui orang Spanyol yang singgah di Filipina.

Sejak itu, tembakau menjadi komoditas yang terus meroket. Hal ini didukung dengan pemerintah Hindia Belanda yang menerapkan sistem tanam paksa tembakau. Selain itu, sudah sejak lama tembakau menjadi salah satu indikator yang menunjukkan kelas sosial seseorang lewat cerutunya.

Meskipun hingga saat ini masih kontroversial, tembakau tetap menjadi salah satu komoditas unggulan. Meskipun luas area perkebunannya pada 2019 terus mengalami fluktuasi dan cenderung turun sejak 2015.

Menurut data Kementerian Pertanian, luas area perkebunan tembakau yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia pada 2019 diestimasikan seluas 204,562 hektar. Data ini menyajikan perbandingan luas area pada 2015 silam yang memiliki  luas 209,095 ha, lalu turun drastis menjadi 155,950 ha pada 2016. Luas perkebunan kembali naik menjadi 201,909 ha, pada 2017 dan yang terakhir pada 2018 seluas 203,014 ha.

Saat ini produksi tembakau dalam negeri pada 2019 berkisar 200.000 ton. Akibatnya, pemerintah harus mengimpor tembakau dari luar negeri untuk memenuhi permintaan industri per tahunnya sebanyak 330.000 ton.

Kebijakan impor bukan hanya karena tidak terserapnya produksi lokal, faktanya ada ketidakseimbangan antara permintaan industri dengan kualitas dan varietas yang dihasilkan petani. Banyak tembakau yang tidak masuk dalam standar industri sehingga tidak terserap optimal sehingga banyak hasil panen yang tidak lolos kualifikasi.

“Kami maunya ada keterbukaan dari industri tentang varietas, kualitas, dan kuantitas. Apabila diinformasikan ke petani dan dituangkan di MoU maka petani dan industri akan sejalan. Industri tidak dirugikan karena petani menghasilkan yang mereka dibutuhkan. Petani juga nanti mendapatkan fasilitas dari industri. Selama ini tidak ada keterbukaan dalam penentuan grade,” kata Haris Darmawan, Kasubdit Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian.

Tembakau Virginia

Selain soal sosialisasi kualitas tembakau, varietas juga menjadi isu penting terkait penyerapan produksi tembakau. Salah satu varietas yang banyak diminati pasar mancanegara adalah jenis virginia flue cured.

Untuk jenis ini, wilayah penghasil yang terkenal adalah Lombok, jejak pertama hadirnya jenis virginia di Lombok berkat pembukaan lahan oleh PT Djarum. Sejak itu, varietas ini terus berkembang dan menjadikan Lombok sebagai wilayah penghasil tembakau virginia terbesar di Indonesia.

Alasan mengapa Lombok merupakan tempat yang tepat adalah karena karakter tanah yang cocok dan pengairan yang baik. Selain itu, suhu di Lombok juga sangat mendukung dengan suhu sekitar 32 sampai 33 derajat celcius pada siang hari dan 19 sampai 20 derajat celcius di malam hari.

Perbedaan suhu yang drastis ini membuat tanaman tembakau mendapatkan proses fotosintesis yang maksimal di siang hari dan dapat pengendapan maksimal pada malam harinya. Sampai saat ini luasan lahan tembakau di Lombok mencaoai 22 sampai 24 ribu hektar dan jumlah produksinya sekitar 40 ribu ton.