Marba (pariwisata.semarangkota.go.id)
Nasional

Semarang, Kota di Atas Laut yang Terus Berkembang

  • Seiring dengan perkembangan zaman, kawasan Semarang mengalami transformasi besar, menjadi kota modern yang terus bertumbuh di atas lahan yang dulunya digenangi air laut.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

SEMARANG - Semarang, ibukota Provinsi Jawa Tengah, adalah kota dengan sejarah geografis  unik. Terletak di pesisir utara Pulau Jawa, Semarang yang kini menjadi pusat industri dan perdagangan besar dulunya merupakan bagian dari lautan yang terbentang luas. 

Seiring dengan perkembangan zaman, kawasan Semarang mengalami transformasi besar, menjadi kota modern yang terus bertumbuh di atas lahan yang dulunya digenangi air laut. Namun, jejak sejarah Semarang masih bisa terlihat dalam beberapa aspek geografis dan budaya kota, serta tantangan yang dihadapi masyarakat saat ini.

Sejarah Geografis: dari Laut Menjadi Kota

Sekitar 800 tahun yang lalu, wilayah Semarang, bersama dengan kota-kota seperti Demak, Kudus, dan Pati, merupakan bagian dari Selat Muria. Lautan ini memisahkan Pulau Jawa dan Pegunungan Muria. 

Seiring dengan berjalannya waktu, sedimen dari sungai-sungai besar yang mengalir dari Pegunungan Ungaran membentuk daratan baru, menghubungkan wilayah yang dulunya terpisah oleh air.

Salah satu bukti sejarah yang menegaskan bahwa Semarang dulunya adalah lautan adalah lokasi Kelenteng Sam Poo Kong. Kelenteng ini dibangun di daerah Simongan, yang pada abad ke-15 menjadi tempat berlabuhnya Laksamana Cheng Ho, seorang pelaut dan penjelajah China yang terkenal. 

Saat itu, Simongan masih berada di tepi laut. Kini, lokasi kelenteng ini berada jauh dari garis pantai. Bukti ini mencerminkan bagaimana daratan Semarang terus bertambah akibat sedimentasi dan pembangunan manusia.

Morfologi Kota Semarang

Secara morfologis, Semarang terbagi menjadi dua wilayah utama, wilayah atas dan wilayah bawah. Wilayah atas terletak di daerah perbukitan, dengan pemandangan yang lebih tinggi dan lebih stabil secara geologis. 

Sementara itu, wilayah bawah merupakan pusat aktivitas ekonomi, dibangun di atas tanah aluvial yang terbentuk dari endapan sungai. Wilayah ini lebih rentan terhadap amblesan dan banjir, mengingat struktur tanah yang lebih lunak.

“Batas kota Semarang aslinya di Pandanaran, kalau yang ke atas itu tanah keras. Dan, yang bawah tanah aluvial atau lembek,” ujar Kepala Dinas Pekerjaan Uumum Pemkot Semarang, Suwarto, dikutip RRI, Kamis, 3 Oktober 2024.

Dalam perkembangannya, wilayah bawah Semarang tumbuh menjadi pusat industri dan perdagangan yang pesat. Ekspansi ekonomi bisa menimbulkan konsekuensi serius, eksploitasi sumur-sumur dalam untuk kebutuhan industri dan penduduk menyebabkan penurunan permukaan tanah hingga 5-10 sentimeter per tahun. 

Hal ini menambah kerentanan wilayah terhadap banjir rob, terutama di daerah pesisir seperti Tambaklorok dan Simpang Lima, di mana intrusi air laut mencemari air bawah tanah.

Tantangan Intrusi Air Laut

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi kota Semarang saat ini adalah masalah intrusi air laut. Fenomena ini terjadi ketika air laut merembes ke dalam tanah, mencampur dengan air tawar yang tersimpan di bawah permukaan. 

Akibatnya, kualitas air tanah menurun dan menjadi tidak layak untuk digunakan oleh penduduk. Di daerah pesisir seperti Tambaklorok, intrusi air laut telah menyebabkan air sumur yang digunakan warga menjadi asin sehingga menyulitkan kehidupan sehari-hari.

Pembangunan di Semarang yang pesat juga memperparah masalah ini. Ketika gedung-gedung bertingkat dan kawasan industri dibangun di atas tanah yang rapuh, tanah di bawahnya perlahan ambles. 

Kondisi ini diperparah dengan pengambilan air tanah dalam skala besar, yang mengakibatkan tanah kehilangan daya dukungnya dan mempercepat amblesan. Intrusi air laut pun menjadi semakin parah, merembes hingga ke pusat kota, termasuk kawasan ikon Simpang Lima yang terkenal.

“Dari sejarahnya memang begitu. Kalau kawasan Simpang Lima sudah ada pengaruh intrusi, sehingga air payaunya sudah tampak, tetapi tidak separah di Tambaklorok,” ujar Pakar Lingkungan dari Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Sudharto, di Semarang.

Letak geografis Semarang yang berbatasan dengan Laut Jawa juga membuat kota ini rentan terhadap perubahan iklim global. Dengan garis pantai sepanjang 13,6 kilometer, kota ini menghadapi ancaman serius kenaikan permukaan air laut. 

Dari lautan yang perlahan berubah menjadi daratan, hingga kota modern yang berhadapan dengan banjir rob dan amblesan tanah, Semarang adalah simbol dari kekuatan alam yang terus berproses. 

Pembangunan yang terus berlangsung, masyarakat dan pemerintah harus bekerja sama untuk menemukan solusi jangka panjang dalam menjaga kota ini dari ancaman yang datang dari laut, baik di masa lalu maupun di masa depan.