Tekno

Sempat Bersinar, Begini Tapak Tilas Runtuhnya FTX di Tangan Sam Bankman Fried

  • Founder FTX, Sam Bankman Fried pernah menjadi salah satu tokoh muda yang dianggap memiliki karier cemerlang.
Tekno
Rizky C. Septania

Rizky C. Septania

Author

JAKARTA- FTX pernah menjadi wadah bursa kripto derivatif ternama di dunia. Bahkan sang Founder, Sam Bankman Fried pernah menjadi salah satu tokoh muda yang dianggap memiliki karier cemerlang.

Pada 2019, Sam yang kala itu baru berusia 27 tahun mendirikan FTX. Dalam kurun waktu lima tahun, Ia dan Timnya berhasil menaikkan pamor dan industri FTX. Pada saat itu, FTX menjadi salah satu pemain top di Industri Kripto.

Tak hanya itu, Sam pun berhasil meraih titel menjadi salah satu orang terkaya di industri kripto. Atas prestasinya, wajah Sam bahkan pernah menjadi Cover dari majalah Fortune.

Sayangnya setelah terbuai dengan kinerja apik, FTX tiba-tiba merosot tajam. Perusahaan yang awalnya gemilang itu tiba-tiba mengajukan kebangkrutan dan merugikan banyak orang. Hal ini tentu saja menjadikan FTX dan Sam menjadi topik pembicaraan menarik.

Menela'ah dari 2019 lalu, Saat FTX masih tergolong menjadi bursa baru yang belum terlalu terkenal, Sam yang sebelumnya merupakan mantan broker saham di Wall Street mendirikan FTX dengan rekannya Garry Wang yang merupakan mantan karyawan Google.

Saat didirikan, pad kisaran Mei 2019, FTX hanyalah berperan sebagai pemilik dan operator pertukaran mata uang Kripto. Kala itu, Wang dan Sam memilih Antigua dan Barbuda sebagai tempat operasional. Sedangkan kantor pusatnya terletak di Bahama.

Setahun setelah didirikan, FTX mencoba memperluas bisnis dengan melakukan sejumlah akuisisi. Pada Agustus 2020, FTX melakukan akuisisi pada aplikasi pelacakan portofolio seluler bernama Blockfolio seharga US$150 juta atau kisaran Rp2,36 triliun (asumsi kurs Rp15.710 per dolar AS). 


Angka tersebut dibayarkan secara tunai oleh FTX. Akuisisi ini dimaksudkan untuk menarik lebih banyak pelanggan ritel.

Pada 2021, FTX mencapai masa jayanya. Sebab pada tahun ini bursa FTX tampak giat melakukan pemasaran dan kerjasama dengan nilai yang cukup fantastis. Tak hanya itu, FTX mendapat sejumlah pendanaan besar dan membuatnya menjadi salah satu bursa kripto dengan nilai tertinggi di dunia.

Pada Maret,  FTX mencapai kesepakatan kontrak kerja sama hak atas nama FTX Arena 19 tahun, dengan nilai US$135 juta atau Rp1,9 triliun. Dengan pembelian tersebut stadion Miami Heat lantas berubah menjadi FTX Arena. Tak sekadar itu, hak atas nama tersebut bertahan hingga 2040.

Sebulan setelahnya, sebuah organisasi video game kompetitif yang berbasis di Los Angeles, TSM menyampaikan sebuah pengumuman. Mereka mengubah namanya menjadi TSM FTX dan mendapatkan bayaran US$210 juta atau Rp3,2 triliun untuk kontrak selama 10 tahun.

Pada Juli, sejumlah dana disuntikkan pada FTX. Mereka menjalankan pendanaan seri B dan berhasil mengumpulkan pundi uang sebanyak US$900 juta atau kisaran Rp14,1 triliun.

Adapun investor yang turut menyuntikkan dana antara lain termasuk Paradigm, Ribbit Capital dan Sequoia. Atas suntikan dana tersebut, FTX memiliki valuasi senilai US$18 miliar atau kisaran Rp282 triliun.

Pada Oktober 2021, FTX berhasil mengumpulkan modal baru dan memiliki valuasi sebesar US$25 miliar atau kisaran Rp392,7 triliun dari sejumlah investor modal ventura ternama. Inilah yang kemudian menjadikannya salah satu startup crypto paling kaya di dunia.

Sebagai informasi, pendanaan tersebut dipimpin oleh investor termasuk Dewan Rencana Pensiun Ontario Teachers, Temasek dan Tiger Global, merupakan kelanjutan dari putaran pendanaan Seri B.

Pada Januari 2022, FTX kembali mendapat  suntikan dana sebesar US$400 juta atau kisaran Rp6,2 triliun oleh Softbank dan Temasek. Dengan demikian, valuasi FTX secara global telah meningkat menjadi US$32 miliar atau kisaran Rp549 triliun. Ini kemudian  menjadikannya sebagai salah satu bursa kripto dengan valuasi tertinggi.

Pada Juni,  FTX menandatangani kesepakatan sponsor senilai US$135 juta atau kisaran Rp2,1 triliun  yang dilaporkan untuk hak penamaan home court Miami Heat. Bulan berikutnya, FTX menandatangani kesepakatan pembelian  dengan pemberi pinjaman crypto BlockFi yang kala itu tengah bermasalah.

Untuk membeli BlockFi,  FTX menggelontorkan dana hingga US$240 juta atau kisaran Rp3,7 triliun. Rupanya, mulai dari sinilah petaka untuk FTX dimulai.  

Pada Pertengahan Agustus 2022, Regulator bank A.S. memerintahkan FTX untuk menghentikan klaim “palsu dan menyesatkan” yang dibuatnya tentang apakah dana di perusahaan tersebut diasuransikan oleh pemerintah.

Belum selesai teguran dari pemerintah, CEO Alameda Research, bagian dari FTX Sam Trabucco menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya. Kala itu, Ia memilih menjadi penasihat perusahaan namun tidak berkontribusi secara masif lagi. Jabatan CEO Alameda Research dilanjutkan oleh Caroline Ellison.

Setelah Sam Trabicco mengundurkan diri, Presiden FTX, Brett Harrison juga mengundurkan diri dan menjadi penasihat perusahaan. Pada oktober, Sam diinvestigasi oleh Texas Regulator karena FTX menawarkan produk investasi kepada warga Texas yang mungkin melanggar aturan yang ada di Texas.

Memasuki November, kehancuran FTX semakin menjadi-jadi. Hal ini disinyalir Coindesk merilis laporan keuangan Alameda yang tidak normal. Di periode ini FTX dan Alameda alami krisis hebat yang mengguncang industri kripto dan akhirnya bangkrut.

Bahkan, situs berita kripto CoinDesk melaporkan kebocoran balance sheet Alameda Research, perusahaan kripto penyedia likuiditas buatan SBF yang sangat bergantung pada token utilitas FTX, FTT.

Alameda tidak hanya memiliki banyak FTT di neraca, tetapi juga telah menggunakan FTT sebagai jaminan pinjaman. Eksekutif menyangkal hal ini dan melukiskan gambaran yang tidak lengkap yang tidak mencerminkan lindung nilai yang mengimbangi pertukaran yang ada.

Saat spekulasi beredar, FTT senilai US$584 juta ditransfer ke Binance sebagai bagian dari proses likuidasi. CEO Binance, Chapeng Zhao kemudian menegaskan ini adalah langkah yang disengaja. Hal tersebut memicu penarikan FTT besar-besaran.

Di tengah kisruh ini,  Caroline Ellison yang merupakan CEO Alameda menuliskan di akun twitternya menawarkan untuk membeli kembali FTT dengan harga pasar yang berlaku saat itu. Dia juga men-tweet bahwa Alameda Research memiliki aset $10 miliar yang tidak dilaporkan dalam neraca yang bocor.

Minggu pertama November, harga FTT terus menurun. Ini diikuti dengan aksi Alameda yang mulai menjual solana (SOL) untuk menjaga harga FTT di atas US$22. Sementara itu, Zhao menjual FTT untuk membeli BNB.  FTX hentikan penarikan aset, namun SBF menyatakan jika FTX baik-baik saja, aset-aset juga baik-baik saja.

Keesokan harinya, FTT anjlok 72% dan pengguna FTX melakukan withdrawal secara massal. Sam meminta bantuan pada Zhao. Ia kemudian mengatakan akan mengakuisisi FTX namun perlu melakukan due diligence lebih dulu.

Sayangnya, pada 10 November, Binance membatalkan akuisisinya lantaran melihat masalah FTX terlalu besar untuk diatasi.  Regulator AS dilaporkan mulai menyelidiki FTX karena masalah likuiditas dan dugaan penyelewengan dana.

Berita buruk ini lantas menyebar ke seluruh industri kripto. Pesan internal Sam bocor dan diketahui ia sedang mencari pendanaan. Akibat kabar tersebut, Bankman-Fried mengumumkan bahwa Alameda Research akan menghentikan perdagangan pada hari Kamis sebagai upaya untuk menyelamatkan FTX.

Merasa sudah diambang kebangkrutan, Sam dilaporkan dalam pembicaraan untuk mengumpulkan uang dari pertukaran saingan OKX dan penerbit stablecoin Tether.

Tak hanya itu, Sam juga dilaporkan mencari suntikan dana dari investor FTX saat ini, termasuk Sequoia Capital. Akhirnya, dia berhasil mencapai kesepakatan dengan Justin Sun, pendiri jaringan blockchain Tron, untuk memungkinkan pemegang token terkait Tron menarik kepemilikan mereka dari FTX.

Keesokan harinya, FTX secara tak terduga mengajukan kebangkrutan. Hal ini disusul dengan berita pengunduran diri Sam sebagai CEO FTX.

Lewat siaran pers yang dirilis pada akun Twitter resminya, FTX, Alameda Research, dan sekitar 130 perusahaan afiliasi memulai proses kebangkrutan. Hal ini dilakukan untuk meninjau dan monetisasi aset untuk kepentingan semua pemangku kepentingan global. .

Saat ini, jabatan CEO diduduki oleh J. Ray III, seorang pengacara yang membantu menjalankan Enron pasca kebangkrutan. Sedangkan Sam akan tetap membantu sembari mengalihkan jabatan secara teratur teratur.