<p>Petugas PGN tengah melakukan pengecekan rutin Gas Engine di Plaza Indonesia. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Sengketa Pajak Bikin PGN Merugi, Pengamat: Pemerintah Harus Beri Insentif

  • Sengketa pajak masa lalu yang terjadi antara PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan membuat kinerja perseroan pada 2020 merugi.

Industri

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Sengketa pajak masa lalu yang terjadi antara PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan membuat kinerja perseroan pada 2020 merugi.

Akibat beban pajak transaksi gas bumi ke pelanggan selama periode 2012 dan 2013 itu PGN harus menanggung beban tambahan hingga Rp3,06 triliun.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menyesalkan denda besar yang dilimpahkan kepada PGN. Apalagi sebagai kasus khusus, persoalan pajak ini sudah diputuskan oleh pengadilan pajak dan PGN dimenangkan.

 “Beban pajak ini tentu akan mempengaruhi kemampuan PGN dalam menjalankan perannya membangun infrastruktur gas bumi. Karena selama ini pembiayaan infrastruktur gas bumi selalu menggunakan dana internal perusahaan,” kata Mamit di Jakarta, Selasa (13/4).

Mamit juga meminta manajemen PGN untuk mencari solusi terkait denda pajak. Karena sesuai kebijakan dari dirjen pajak, transaksi gas bumi seperti halnya 2012 dan 2013 itu, untuk periode transaksi 2014 dan setelahnya tidak dikenakan pajak. Jika memang harus dibayar, PGN juga harus menjelaskan sumber dana pembayaran pajak PPN ini berasal.

Mamit menilai pemerintah telah memberikan perlakuan berbeda terhadap PGN. Salah contohnya terkait berbagai penugasan yang diputuskan oleh kementerian ESDM. Di antaranya pelaksanaan Kepmen ESDM Nomor 89K/2020 tentang Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk industri tertentu.

Kemudian, Kepmen 91K/2020 tentang harga gas untuk pembangkit listrik, Kepmen 13/2019 tentang konversi pembangkit diesel PLN ke gas dan Kepmen 85/2020 tentang penugasan Jargas Rumah Tangga.

“Pemerintah harus bisa memberikan insentif agar PGN tidak babak belur. Jangan seperti anak tiri, PGN itu BUMN juga tapi tidak direalisasikan insentifnya,” tegas Mamit.

Jika dilanjutkan, kondisi PGN yang dibebankan penugasan tanpa insentif akan mengancam kelangsungan bisnis atau bahkan hingga bangkrut. Terlebih, penugasan penjualan gas murah kepada 7 sektor industri seharga US$6 MMBTU menggerus pendapatan PGN.

“Dengan penugasan tersebut, PGN menderita kerugian Rp3,8 triliun. Jadi harus dievaluasi penugasannya dan diberi insentif, kalau tidak bisa collaps kalau terlalu banyak diberikan penugasan tapi tidak diberikan insentif,” tegas Mamit.

Mamit mengungkapkan, sejatinya, badan usaha (pemegang izin usaha niaga gas bumi) yang menyalurkan gas bumi kepada pengguna gas bumi tertentu dapat diberikan insentif secara proporsional oleh menteri sesuai kewenangannya.

Pemberian insentif berdasarkan Pasal 5 ayat (9) angka 4 Perpres 121 / 2020, Pasal 13 Permen ESDM  8 Tahun 2020, dan Pasal 8 ayat (7) dan (8) Permen ESDM 10 Tahun 2020.

“Jika memang pemerintah memiliki komitmen untuk memperbesar penggunaan gas bumi, seharusnya PGN didukung, bukan justru dibebani dengan kebijakan yang hanya menguntungkan pelaku usaha swasta. Terbukti setelah menjalankan penugasan harga gas US$6 kinerja PGN semakin terpuruk,” ungkapnya.

“Jangan sampai PGN seperti saat ini, hanya mendapatkan margin yang sedikit sehingga biaya investasi yang sudah di lakukan tidak menguntungkan,” tegas Mamit.

Sebagai perusahaan yang mengelola infrastruktur gas bumi, Mamit melihat bahwa peran PGN belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari volume gas bumi yang disalurkan perseroan setiap tahunnya.

Dari total produksi gas bumi nasional yang mencapai 7000 MMSCFD, PGN hanya menyalurkan sekitar 900 MMSCFD atau sekitar 15%. Padahal sebagai subholding gas, PGN menguasai hampir 80% infrastruktur gas bumi di seluruh Indonesia.

“Gas bumi seharusnya menjadi energi yang strategis karena bisa menggantikan peran energi impor seperti LPG dan minyak bumi. Tapi PGN tidak mendapatkan dukungan untuk memaksimalkan sumber energi dalam negeri ini,” ujar Mamit.

Akibat ketergantungan terhadap energi impor, pemerintah harus memberikan subsidi besar. Subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg pada tahun ini direncanakan sebesar Rp54,48 triliun, di mana alokasi subsidi LPG 3 kg mencapai Rp37,85 triliun.

Dari sektor kelistrikan, PLN juga menikmati biaya subsidi besar. Sepanjang 2020, PLN menerima dana APBN senilai Rp62,9 triliun. Dana sebesar Rp49,6 triliun itu merupakan subsidi reguler dan Rp13,1 triliun merupakan  stimulus tarif listrik sepanjang 2020.

“Jika pemerintah fair dan berpihak pada efisiensi energi, seharusnya gas bumi jadi prioritas. Seperti pembangunan jargas rumah tangga yang diperluas bisa menggurangi beban impor LPG. Tapi kita lihat komitmen pemerintah terhadap gas bumi ini tidak pernah berubah, lebih memilih impor daripada memaksimalkan energi dalam negeri,” tegas Mamit.(RCS)