Pembangunan properti di China yang massif memunculkan kota-kota hantu lantaran rumah dan apartemen kosong / Bbc.co.uk
Dunia

Seperti Kota Hantu Bisa Tampung Seluruh Penduduk Indonesia, Ini Biang Kerok 130 Juta Rumah dan Apartemen di China Kosong

  • Kota hantu tersebut terdapat di distrik Kangbashi di Kota Ordos di Mongolia Dalam, di mana ada blok kantor dan menara apartemennya yang berkilau namun kosong; jalan raya yang tandus, jalan raya yang sepi, dan toko serta alun-alun yang kosong.
Dunia
Daniel Deha

Daniel Deha

Author

JAKARTA -- Krisis raksasa properti Evergrande Group baru-baru ini tiba-tiba mengejutkan dunia. Hal itu terjadi lantaran raksasa properti asal China tersebut gagal bayar utang sebesar US$300 miliar setara Rp4.275 triliun, atau dua kali APBN Indonesia.

Ketidakmampuan membayar utang miliaran dolar tersebut lantas membuat pengembang properti China itu bangkrut alias pailit.

Efek krisis Evergrande kemudian menghantui dunia karena pengembang tersebut memiliki 1.300 proyek yang tersebar di 280 kota di Negeri Tirau Bambu. 

Diperkirakan, krisis Evergrande mempengaruhi keuangan internasional karena sektor properti menyumbang lebih dari 29% terhadap PDB China,  jauh di atas 10%-20% tipikal sebagian besar negara maju.

Mengemukanya kasus yang melilit Evergrande Group lantas membongkar kerentanan bisnis properti di negara ekonomi terbesar kedua dunia tersebut.

130 Juta Rumah Kosong

Perusahaan raksasa properti China, Evergrande Group, terancam gagal bayar utang hingga ribuan triliun. / Evergrande.com

Dalam beberapa tahun terakhir, sebelum kehancuran Evergrande, puluhan juta apartemen telah kosong di seluruh negeri. Masalah bertambah pelik ketika pandemi menghantam negara itu pada akhir 2019.

Pada akhir tahun 2018, sebuah laporan yang dirilis oleh China Household Finance Survey and Research Center di Southwestern University of Finance and Economics menunjukkan bahwa tingkat kekosongan perumahan di daerah perkotaan China mencapai 21,4%.

Jumlah total rumah kosong di China pada tahun 2018 diperkirakan mencapai setidaknya 130 juta jika digabungkan dengan jumlah rumah komersial yang kosong dan unit rumah lainnya di negara itu.

Dalam sebuah forum di tahun 2019, laporan yang sama juga menyebutkan bahwa setidaknya ada 130 juta rumah kosong secara nasional. 

Tingkat kekosongan perumahan di China mungkin salah satu yang tertinggi dalam sejarah, melampaui banyak negara lain.

Jumlah rumah kosong ini bahkan bisa menampung seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 270 juta pada 2020.

Menurut standar internasional, tingkat kekosongan rumah 5%-10% dianggap wajar, 10%-20% dianggap berbahaya, dan di atas 20% dianggap tekanan berat. Jelas, masalah tingkat kekosongan perumahan di China sangat serius.

Statistik menunjukkan bahwa China sekarang memiliki perumahan yang cukup untuk 3,4 miliar orang. Pada 2019, 96% penduduk perkotaan memiliki rumah mereka, menurut angka terpisah yang dirilis oleh bank sentral China.

Perlu dicatat bahwa meskipun tingkat kepemilikan rumah adalah 96%, lebih dari 30% rumah tangga memiliki dua rumah, lebih dari 10% rumah tangga memiliki tiga rumah, dan setiap keluarga memiliki 1,5 rumah.

Dengan kata lain, secara keseluruhan, tidak ada kekurangan perumahan di China, tetapi ada ketidakseimbangan struktural yang serius.

Menurut analisis terbaru dari Bank of America, Evergrande telah menjual 200.000 unit rumah yang belum diserahterimakan kepada pembeli. 

Hal ini telah memperburuk kekhawatiran bahwa pembeli rumah akan dibiarkan dengan tangan kosong oleh pengembang terbesar kedua di negara itu.

Alasan mengapa situasi seperti ini terjadi, dipicu oleh anggapan bahwa perumahan sebagai investasi komoditas, sehingga secara tidak langsung mendorong kenaikan harga perumahan.

Di sisi lain, biaya memegang rumah rendah, dan penyewa menimbun rumah dan menjualnya dengan harga lebih tinggi. Selama periode ini, rumah kosong, tetapi tidak ada biaya pajak.

Di balik tingkat kekosongan yang tinggi, tidak hanya sumber daya yang terbuang, tetapi juga sumber daya kredit yang padat. 

Menurut data yang dirilis oleh Southwestern University of Finance and Economics pada akhir 2018, sumber daya kredit negara untuk perumahan kosong mencapai 10 triliun yuan.

Munculnya Kota Hantu

Pembangunan properti di China yang massif memunculkan kota-kota hantu lantaran rumah dan apartemen kosong / Bbc.com

Krisis bisnis properti yang terjadi belakangan menunjukkan ledakan perumahan panjang China telah berakhir, dan menjadi pertanda buruk bagi ekonomi yang semakin bermasalah, dengan implikasi juga bagi seluruh dunia.

Menurut analisis The Guardian, tanda-tanda penurunan bisnis ini sudah mulai berkedip sejak 10 tahun yang lalu, ketika munculnya fenomena “kota hantu” China.

Kota hantu tersebut terdapat di distrik Kangbashi di Kota Ordos di Mongolia Dalam, di mana ada blok kantor dan menara apartemennya yang berkilau namun kosong; jalan raya yang tandus, jalan raya yang sepi, dan toko serta alun-alun yang kosong. 

Selain kota hantu, sektor properti berkembang pesat pada tahun 2000-an dan 2010-an karena Beijing tidak hanya tampaknya menginginkan pasar real estate yang matang, tetapi juga mendorong pertumbuhan dan pembentukan kelas menengah perkotaan yang memiliki properti. 

Pengembang tidak ragu untuk meminjam dalam jumlah besar, karena kredit tersedia secara bebas dan mereka merasa pemerintah akan selalu mendukung pasar jika diperlukan.

Pada saat pandemi melanda pada tahun 2020, sudah pasti menjadi kasus overinvestment. Sekitar seperlima unit rumah di China sekarang kosong, seringkali karena terlalu mahal untuk warga yang 40% di antaranya berpenghasilan hampir 1.000 yuan (US$115) per bulan.

Sementara itu, sejak 2017, sikap Beijing terhadap penciptaan kredit yang merajalela dan finansialisasi perumahan – memperlakukannya sebagai komoditas daripada sebagai tempat tinggal – telah mengalami perubahan besar.

Presdiden Xi Jinping mengatakan kepada kongres Partai Komunis tahun itu bahwa “rumah dibangun untuk dihuni, bukan untuk spekulasi”, dan tindakan itu akan diambil untuk mengekang permintaan, pembangunan berlebihan, dan kenaikan harga rumah.

Tahun lalu, regulator memperketat peraturan tentang pengembang yang dirancang untuk mengekang utang, menghemat uang, dan membatasi pembangunan yang berlebihan. Pemerintah sensitif terhadap biaya perumahan yang tinggi, yang dianggap berlebihan dan disinsentif untuk ukuran keluarga yang lebih besar.

Perubahan-perubahan ini telah mengekspos kerapuhan finansial para pengembang. Bahkan jika pihak berwenang China dapat menjaga agar dampak dari Evergrande tidak menjadi goncangan seperti Lehman, penurunan di sektor properti dan konstruksi dapat memperburuk perlambatan ekonomi China.

Bank dan perusahaan properti kemungkinan akan membatasi aktivitas pembangunan dan pembiayaan karena mereka merestrukturisasi neraca yang rusak dan rumah tangga China akan berhati-hati dalam mengambil risiko baru. 

Di satu sisi, demografi China, terutama usia kerja dan kelompok usia pembelian rumah utama tampak menurun. Jumlah pembeli rumah pertama kali di usia prima – mereka yang berusia 25-39 tahun – akan turun 25% dalam 20 tahun ke depan dari 327 juta menjadi 247 juta. 

Di sisi lain, tingkat urbanisasi yang dua kali lipat menjadi 64% antara tahun 1996 dan 2020, pasti akan melambat. Akan ada lebih sedikit pernikahan, lebih sedikit anak dan formasi rumah tangga yang lebih rendah.

Dalam 10 hingga 15 tahun terakhir, pemerintah daerah dan provinsi selalu dapat diandalkan untuk meningkatkan belanja real estate dan infrastruktur untuk mengeluarkan perekonomian dari keterpurukan.

 People's Bank of China mengatakan perusahaan telah salah mengelola bisnisnya tetapi risiko terhadap sistem keuangan "dapat dikendalikan."

"Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan telah gagal mengelola bisnisnya dengan baik dan beroperasi sesuai dengan perubahan pasar," ujar Zou Lan, direktur departemen pasar keuangan bank sentral China.

“Sebaliknya, itu mendiversifikasi dan memperluas secara membabi buta, mengakibatkan penurunan serius pada indikator operasi dan keuangannya, yang pada akhirnya menyebabkan risiko,” imbuhnya.

Dalam sebuah pernyataan akhir bulan lalu yang tidak merujuk secara khusus ke Evergrande, bank sentral berjanji untuk "mempertahankan perkembangan pasar real estate yang sehat, dan melindungi hak dan kepentingan sah konsumen perumahan."

"Pasar real estate domestik telah mempertahankan harga tanah, harga perumahan, dan ekspektasi yang stabil. Sebagian besar perusahaan real estate beroperasi dengan stabil dan memiliki indikator keuangan yang baik. Industri real estate umumnya sehat," kata pejabat bank sentral China.