Serap Bahan Baku Lokal, Pemerintah Patok TKDN 50 Persen pada 2024
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan mematok nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebesar 50% pada 2024.
Industri
JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan mematok nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebesar 50% pada 2024. Hal ini sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin Doddy Rahadi mengatakan salah satu strategi yang dilakukan dengan optimalisasi teknologi rekayasa proses bahan baku.
“Ini dilakukan dengan meningkatkan penggunaan bahan baku sumber daya alam lokal atau hasil industri hulu lokal,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Sabtu, 24 April 2021.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Doddy mencontohkan, Balai Riset dan Standardisasi Industri (Baristand Industri) Banjarbaru (BRSBB) telah berhasil menyediakan substitusi pemenuhan bahan baku clay impor dengan clay lokal atau kaolin dari Pulau Belitung.
Produk tersebut diterapkan pada produksi lembaran rata kalsium silikat. Dalam pengerjaannya, BRSBB bekerja sama dengan PT Sinar Nusantara Industries (PT SNI) melalui magang industri dan layanan jasa optimalisasi teknologi industri.
“BRSBB berhasil menunjukkan kualitas lembaran rata kalsium silikat yang dihasilkan dari bahan kaolin, sebanding dengan kualitas bahan clay impor,” ungkapnya.
Kaolin sendiri merupakan mineral tanah liat yang umum digunakan di sektor industri. Sementara itu, lembaran rata kalsium silikat digunakan sebagai komponen bahan bangunan, seperti dinding, partisi, plafon, listplank, lantai, atau penggunaan lainnya baik di dalam maupun di luar ruangan.
Doddy pun mengaku, saat ini nilai impor bahan clay terus mengalami penurunan. Pada 2018, total impor clay dari seluruh negara sebesar 81.427 ton atau senilai US$40,9 juta, turun menjadi 74.758 ton atau senilai US$42 juta pada 2019. Penurunan ini terus berlanjut hingga tahun lalu menjadi 56.195 ton atau senilai US$22,6 juta.
Nantinya, lanjut Doddy, substitusi clay ini bisa kembali menekan nilai impor sebesar US$579.104 atau setara Rp8,37 miliar (asumsi kurs Rp14.000 per dolar Amerika Serikat) per tahun.
Nilai ini merupakan kebutuhan clay dari pabrik PT SNI di Bati-Bati, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan yang mencapai 1.440 ton per tahun.
“Di masa mendatang, rekayasa proses ini diharapkan dapat mendorong substitusi impor bahan baku clay untuk menguatkan struktur industri dalam negeri. Jadi, harapannya bisa menjamin ketersediaan bahan baku di domestik,” ungkap Doddy. (LRD)