<p>Pemerintah resmi menurunkan harga gas industri. / Dok. Kementerian ESDM</p>
Nasional

Serapan Masih Rendah, Pemerintah Diminta Segera Revisi Insentif Harga Gas Industri

  • Rencana pemerintah untuk memperluas insentif harga gas industri dinilai prematur karena ternyata serapan konsumsi gas oleh industri belum optimal.
Nasional
Daniel Deha

Daniel Deha

Author

JAKARTA - Rencana pemerintah untuk memperluas insentif harga gas industri dinilai prematur karena ternyata serapan konsumsi gas oleh industri belum optimal. Bahkan ada beberapa industri yang dianggap kurang mampu memanfaatkan insentif tersebut untuk meningkatkan kinerjanya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan jika pemerintah buru-buru memperluas insentif harga gas khusus untuk industri maka ada potensi kerugian negara akibat selisih harga gas di pasar yang sangat jomplang.

"Beberapa industri yang diberikan subsidi harga gas khusus tidak memiliki kinerja yang cukup positif. Kapasitas industri relatif rendah, bahkan tidak mampu bersaing dengan produk impor. Oleh karena itu wacana perluasan penerima subsidi gas untuk industri dinilai sangat prematur," katanya di Jakarta, Selasa, 18 Januari 2022.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi alokasi gas bumi harga khusus untuk industri tertentu pada tahun 2021 hanya terserap 1.006,23 billion bristh thermal unit per day (BBTUD) atau 81,08% dari total alokasi gas yang ditetapkan sebesar 1.241 BBTUD.

Bhima menjelaskan saat ini kebijakan insentif gas industri merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Ada tujuh industri yang diberikan insentif harga gas sebesar US$6 per Million British Thermal Unit (MMBTU). Ketujuhnya adalah industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Perpres ini dinilai kurang tepat sasaran dan berisiko merugikan keuangan negara dalam jangka panjang. Bhima mencontohkan, pendapatan hulu minyak dan gas (migas) selama tahun 2020 hanya mencapai US$460 juta, jauh dari target awal senilai US$1,39 miliar ketika harga gas US$6 itu diberlakukan pada bulan Juni 2020.

"Artinya, di tahun 2021 ada potential loss bagian negara yang membengkak justru di saat windfall (durian runtuh) harga gas sedang tinggi," katanya.

Timbul Permasalahan

Menurut Bhima, penyaluran gas dengan harga khusus ke industri menimbulkan beberapa permasalahan seperti formulasi penetapan harga gas maksimal US$6 per MMBTU dan kriteria penerima yang dianggap kurang transparan. Penyaluran insentif harga gas khusus harusnya sama halnya dengan penyaluran subsidi gas pada umumnya.

"Perlunya kejelasan soal formulasi harga, kriteria penerima dan mekanisme pengawasan merupakan hal yang melekat dalam kebijakan gas khusus. Tetapi dalam prakteknya masalah transparansi dan evaluasinya sangat minim sehingga kurang tepat apabila insentif gas langsung diperluas ke sektor usaha lainnya," pungkasnya.

Bhima menandaskan bahwa skema penetapan harga gas khusus menjadi US$6 per MMBTU pun menimbulkan banyak pertanyaan.

Formulasi penurunan harga gas ke titik tertentu idealnya bukan sekadar membandingkan bahwa negara lain khususnya di ASEAN memiliki harga gas yang lebih murah. Perbandingan tersebut tidak bersifat apple to apple (setara).

Menurut dia, ada salah satu indikator yang dapat digunakan sebagai acuan dalam formulasi harga gas, yaitu natural gas rent yang menggambarkan selisih antara nilai pasar gas bumi suatu negara dan seluruh biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkannya dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB).

"Selama periode tahun 2010-2019, natural gas rent Indonesia hanya 2 kali menembus angka 1 persen dan masih lebih rendah dari rata-rata historis Thailand dan Malaysia," paparnya.

Karena itu, Bhima berharap perkembangan kebijakan harga gas untuk industri juga perlu dipertimbangkan kembali karena harga gas di pasar internasional mengalami kenaikan cukup signifikan dalam satu tahun terakhir.

Windfall kenaikan harga gas karena naiknya permintaan secara global berisiko tidak optimal dirasakan oleh pemerintah maupun BUMN di bidang migas karena selisih harga jual gas yang terlalu rendah dibanding harga gas yang seharusnya berlaku di pasar.

Beberapa Usulan

Bhima membeberkan ada beberapa usulan kepada pemerintah terkait kebijakan insentif harga gas tertentu untuk industri.

Pertama, pemerintah harus melakukan perubahan mekanisme harga gas khusus berdasarkan perkembangan harga gas internasional serta mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, dan efektivitas bagi industri manufaktur.

Kedua, formulasi harga gas industri sebaiknya dikaji ulang secara komprehensif melibatkan para ahli yang independen sehingga penetapan harga gas khusus bisa terhindar dari bias kepentingan politik.

"Formulasi harga gas industri juga disarankan untuk dibuka kepada publik sehingga terjadi pengawasan yang lebih ketat," imbuh Bhima.

Selanjutnya, Bhima mengusulkan agar pemerintah diminta jangan terlalu sering memberikan diskresi kebijakan di sektor migas. Frekuensi diskresi yang sering dilakukan pengambil kebijakan terkait dengan harga gas memberikan ketidakpastian yang tinggi baik bagi pemain migas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maupun pengguna gas dalam hal ini investor dan pelaku usaha.

"Sebaiknya model kebijakan yang sifatnya diskresi mulai dihindari, dan lebih mendorong perbaikan tata kelola kebijakan yang berkelanjutan," tukasnya.

Terakhir, Bhima mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar melakukan audit investigasi secara menyeluruh terhadap risiko kerugian negara terkait insentif harga gas industri yang tidak tepat sasaran.

"Hasil audit tersebut diperlukan sebagai dasar penindakan apabila terjadi penyimpangan dalam kebijakan maupun praktik harga gas khusus industri," ungkapnya.