<p>Ilustrasi cukai rokok / Beacukai.go.id</p>
Industri

Sergub Anies Soal Pembinaan Kawasan Dilarang Rokok Disebut Beri Tekanan ke Sektor Ritel

  • JAKARTA - Aturan pemerintah yang mengatur tentang pembinaan kawasan merokok mendapat penolakan dari sektor ritel belum lama ini. Kebijakan yang dimaksud adalah
Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA - Aturan pemerintah yang mengatur tentang pembinaan kawasan merokok mendapat penolakan dari sektor ritel belum lama ini. Kebijakan yang dimaksud adalah Seruan Gubernur (Sergub) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Rokok.

Dalam Sergub tersebut, Pemerintah DKI Jakarta menyerukan kepada seluruh pengelola gedung untuk melakukan pembinaan kawasan dilarang merokok. Selain untuk meningkatkan perlindungan masyarakat terhadap bahaya merokok, hal ini juga dilakukan sebagai upaya menurunkan penyebaran COVID-19.

Terdapat tiga poin yang disebutkan. Pertama, memasang tanda larangan merokok di setiap pintu masuk dan lokasi yang mudah dikenali. Selain itu, pengelola gedung juga diminta untuk memastikan tidak ada yang merokok di kawasan yang dilarang.

“Tidak menyediakan asbak dan tempat pembuangan puntung rokok pada kawasan dilarang merokok,” mengutip poin kedua Sergub tersebut.

Adapun yang ketiga, tidak memasang reklame rokok atau zat adiktif di dalam maupun luar ruangan, termasuk memajang kemasan atau bungkus rokok di tempat penjualan. Sergub tersebut diteken pada 9 Juni 2021.

Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta mengaku, pihaknya keberatan dengan poin ketiga Sergub Anies Baswedan tersebut. Pasalnya, jika menyangkut pembinaan kawasan dilarang merokok, penerapan poin tersebut dianggap sudah berlebihan.

Ia mengatakan, sudah ada penindakan oleh Satpol PP terhadap salah satu minimarket di Jakarta. “Ada penindakan di Jakarta Barat melalui penutupan stiker, poster, hingga menutup rak pajangan produk rokok,” ujarnya dalam diskusi daring, beberapa waktu lalu.

Kebijakan tersebut disebut Tutum kurang tepat dan tidak beralasan karena seolah memperlakukan produk Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai barang ilegal.

“Padahal sebelum ini juga sudah sangat dibatasi dan kami semua patuh. Semua sudah ada aturan perdagangannya, termasuk kewajiban seperti pajak yang kami patuhi,” kata Tutum.

Di samping itu, ia juga mengaku sudah memastikan pemasaran ritel untuk produk tembakau tidak melanggar aturan, seperti tidak menjual di area ibadah, sekolah, maupun kawasan yang dilarang merokok. 

Kemudian, penempatan produk rokok di ritel juga diletakkan di luar jangkauan konsumen sehingga hanya petugas ritel yang bisa mengaksesnya.

“Ini adalah salah satu kontrol untuk memastikan rokok tidak dijual kepada anak-anak”, tambahnya.

Tutum pun mengaku khawatir, tanpa adanya kepastian usaha dan hukum, kebijakan tersebut dapat berdampak kepada pemasaran produk lainnya. “Kami meminta Sergub ini dicabut,” tegasnya. Selama ini, ia juga mengaku tidak ada sosialisasi terkait kebijakan tersebut. 

Beri Tekanan terhadap Kinerja Ritel

Senada dengan Tutum, Ketua Departemen Minimarket Asosiasi Peritel Indonesia (APRINDO) Gunawan Baskoro juga mengatakan, Sergub ini dapat menekan kinerja ritel secara keseluruhan.

“Ritel di segmen toko swalayan, kelontong, hypermarket, dan department store sudah banyak yang berguguran selama pandemi,” ujarnya dalam kesempatan yang sama. Ia menyebut, tidak kurang dari 1.500 gerai yang tutup permanen sepanjang dua tahun terakhir. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa kondisi ritel nasional belum menunjukkan tren pemulihan.

Tak hanya berdampak ke ritel besar, Sergub ini juga dianggap bisa memengaruhi sektor perdagangan eceran kecil, seperti pasar tradisional dan warung kelontong. Lebih lanjut, penekanan juga berpotensi dialami oleh sektor IHT.

Tercatat, secara agregat di segala segmen sepanjang tahun lalu, produksi IHT mengalami kontraksi produksi mencapai minus 9,7%. Sampai Mei 2021, tren penurunan produksi di kisaran minus 4,3%. Tren negatif ini pun diprediksi masih terus berlanjut akibat adanya penurunan daya beli masyarakat.

Bertentangan Secara Vertikal dan Horizontal

Pengamat hukum dari Universitas Trisakti Ali Ridho menjelaskan, Sergub ini bertentangan secara vertikal dengan produk hukum di atasnya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Adapun secara horizontal, ia juga bertentangan dengan regulasi yang pernah dikeluarkan Pemda DKI, seperti Pergub DKI Jakarta Nomor 50 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Penegakan Hukum Kawasan Dilarang Merokok.

“Aturan-aturan itu mengatakan produk rokok yang sah dan secara legal, mendapatkan kepastian untuk dijual. Syaratnya, ia memenuhi ketentuan terkait kemasan, kandungan produk, perpajakan, dan lainnya,” ungkapnya.

Dalam Pergub Nomor 50 Tahun 2012, Ali mengatakan ketentuan menutup reklame dan bungkus rokok tidak disebutkan. Di sisi lain, kata dia, pada pasal 5, dan pasal 6 dalam Pergub tersebut, justru memberikan pintu pemasangan iklan untuk area jual dan beli rokok.

Larangan untuk menampilkan produk IHT dan zat adiktif ini pun dianggap bisa menekan roda perekonomian di tengah pandemi yang masih berlangsung.

Ia juga turut mengkritik sikap Satpol PP DKI Jakarta yang menutup bungkus rokok di minimarket. Sebab, menurut Ali, Sergub tersebut lebih bersifat internal antarpejabat pemerintahan karena merupakan imbauan.

Dengan demikian, tidak bersifat instruksi untuk ditindaklanjuti dengan penindakan. “Satpol PP sejatinya tidak berwenang melakukan penindakan tersebut,” katanya. Ia pun mendorong agar Pemerintah DKI Jakarta mengikuti pedoman administratif dalam membuat kebijakan.