<p>Aktivitas pabrik rokok HM Sampoerna. / Istimewa</p>
Nasional & Dunia

Serikat Pekerja RTMM Minta Cukai SKT Tidak Naik

  • Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) meminta pemerintah untuk mengambil keputusan yang adil terkait rencana kenaikan cukai 2021.

Nasional & Dunia
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) meminta pemerintah untuk mengambil keputusan yang adil terkait rencana kenaikan cukai 2021.

Keputusan tersebut dinilai bakal menentukan nasib jutaan tenaga kerja Sigaret Kretek Tangan (SKT) dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).

Ketua Umum RTMM Sudarto menjelaskan, produksi industri hasil tembakau (IHT), terutama di segmen SKT merupakan pekerjaan utama bagi buruh pelinting. Ironisnya, produksinya justru terus mengalami penurunan. Hal ini terjadi dari tahun ke tahun, akibat tekanan regulasi kenaikan cukai yang membebani buruh IHT.

“Kami meminta kepada pemerintah, untuk tidak menaikkan tarif cukai SKT sektor padat karya. Selain itu, diharapkan agar segera diumumkan kebijakan cukai 2021 demi kepastian hukum,” ujarnya dalam diskusi virtual dengan tema Perlindungan Tenaga Kerja SKT Di Tengah Resesi Ekonomi, Jumat, 20 November 2020. Dengan demikian, para buruh dapat mencari nafkah dengan tenang, tanpa harus berteriak dan turun ke jalan.

Saat ini, kata Sudarto, FSP RTMM-SPSI menaungi kurang lebih 244.021 anggota. Adapun 61% di antaranya atau 148.693 anggota bekerja sebagai buruh IHT. Jumlah tersebut jauh merosot dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Dalam sepuluh tahun terakhir, lanjutnya, sudah ada 60.889 orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Bahkan, ia menyebut bahwa jumlah yang sebenarnya lebih besar jika ditambah para buruh di luar anggota FSP RTMM-SPSI.

Para buruh tersebut kehilangan pekerjaan akibat banyak pabrikan yang tutup. Para pemodal, ujarnya, terpaksa melakukan rasionalisasi tenaga kerja akibat regulasi pengendalian konsumsi rokok.

Sudarto menambahkan, tahun ini merupakan ujian berat bagi para buruh. Pasalnya, pekerja mengalami tekanan ganda dari kenaikan cukai 23% pada tahun lalu. Di samping itu, pandemi menambah beban berat situasi saat ini.

“Kami sangat menyayangkan jika pemerintah tetap bersikukuh menaikkan tarif cukai, terutama untuk segmen padat karya SKT,” tegasnya.

Khawatir Segmen SKT Pindah ke Mesin

Sebab, ungkapnya, banyak pabrik yang mempekerjakan ribuan tenaga kerja SKT dan terancam menghentikan operasional akibat dampak pandemi. Dari sisi bisnis, hal ini dikhawatirkan bakal memicu pemindahan SKT ke rokok mesin.

Sudarto memberi perbandingan, seorang buruh SKT hanya bisa melinting sekitar 360 batang per jam. Sementara itu, produksi yang menggunakan mesin dapat menghasilkan lebih dari 600.000 batang per jam dengan sedikit pekerja. “Ini sebuah angka yang sangat njomplang,” ujarnya.

Di tengah sulitnya perekonomian saat ini, ia meminta pemerintah untuk fokus mempertahankan lapangan kerja, termasuk di sektor SKT.

“Lebih dari 80 persen pekerja SKT adalah ibu-ibu dengan umur lebih dari 40 tahun. Mereka menjadi tulang punggung keluarga dengan tingkat pendidikan yang rendah,” ujarnya. Oleh karena itu, pihaknya berharap cukai tahun ini tidak dinaikkan.

“Sudah banyak sumbangan yang diberikan IHT kepada negara, mulai dari penyediaan lapangan kerja bagi 6 juta orang sampai hasil cukai sebesar Rp 160 triliun per tahun. Maka, sudah selayaknya, industri ini mendapat perlindungan,” tuturnya. (SKO)