Ilustrasi Ancaman Siber
Nasional

Sering Kebobolan, Pemerintah Dinilai Tak Serius Soal Keamanan Siber

  • Direktur CISSReC, Dr. Pratama Dahlian Persadha menilai, serangan siber yang terus menerus menunjukkan kurang pedulinya pemerintah terhadap terkait isu keamanan siber.
Nasional
Distika Safara Setianda

Distika Safara Setianda

Author

JAKARTA – Direktur CISSReC, Dr. Pratama Dahlian Persadha menilai, serangan siber yang terus menerus terjadi menunjukkan kurang pedulinya pemerintah terhadap terkait isu keamanan siber.

Meskipun tidak ada kerugian secara finansial dengan terjadinya serangan siber, namun reputasi dan nama baik negara Indonesia akan tercoreng di mata dunia. Bahkan sudah banyak yang mengakui bahwa Indonesia adalah sebuah negeri “open source” yang datanya boleh dilihat oleh siapa saja dengan banyaknya peretasan yang terjadi selama ini.

Pratama menambahkan, pada akhirnya, pemerintah baru kelimpungan saat terjadi serangan siber. “Dan akhirnya pemerintah baru kelimpungan saat terjadi serangan siber dan melakukan penanganan yang acapkali terlambat serta membutuhkan waktu yang lama,” ujar Pratama, saat dihubungi TrenAsia, Jumat, 28 Juni 2024.

Menyoroti kondisi infrastruktur digital Indonesia saat ini, Pratama menilai seharusnya tidak ada masalah karena biasanya dilengkapi dengan teknologi keamanan siber terbaru. "Yang sering menjadi pertanyaan adalah bagaimana pengelolaan sistem keamanan siber tersebut. Sistem keamanan siber harus terus dikelola dan dilakukan pembaruan terus-menerus untuk menutup celah keamanan yang diketahui,” jelasnya.

“Selain itu, biasanya tim yang mendesain sistem merupakan tim yang berbeda dengan tim yang mengelola harian, di mana bisa saja terdapat perbedaan kemampuan dalam mengelola sistem,” imbuh dia.

Tak hanya itu, Pratama juga menyoroti terkait belanja keamanan siber saat ini. Dia mengatakan, anggaran belanja di lembaga kementerian juga menjadi permasalahan utama, di mana biasanya anggaran yang dimiliki oleh kementerian/lembaga hanyalah untuk pembuatan sistem pertama kali.

“Pada saat akan dilakukan pemeliharan tahun selanjutnya seringkali anggaran yang diajukan tidak disetujui atau dipergunakan untuk kegiatan lain, sehingga sistem keamanan siber tidak dapat diperbarui karena kontrak pemeliharaan sudah selesai,” katanya.

Di sisi lain, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) juga dinilainya mengalami kendala anggaran kecil yang menghambat kemampuannya untuk secara maksimal menjalankan tugas dan fungsinya. 

"Salah satu tantangannya adalah tidak cukupnya anggaran untuk memenuhi kebutuhan baru dalam memperluas sistem keamanan yang ada, yang diperlukan untuk melindungi keamanan siber secara lebih luas,” tandasnya.

Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menyatakan, tidak ada negara yang luput dari serangan siber ransomware, termasuk negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Jerman. Menurutnya, Indonesia sendiri terkena dampak sekitar 0,67% dari serangan tersebut.

Terhitung sejak 20 Juni 2024, Pusat Data Nasional (PDN) Sementara 2 di Surabaya mengalami serangan siber ransomware. PDNS ini dikelola oleh Kemenkominfo.

Serangan siber ransomware yang menargetkan PDNS disebut Brain Chiper Ransomware, malware yang dirancang untuk mengenkripsi data korban dan menuntut tebusan agar data dapat diakses kembali. Akibatnya, data penting di berbagai lembaga publik di Indonesia terkunci dan tidak bisa diakses. Peretas/hacker menuntut uang tebusan sebesar US$8 juta atau sekitar Rp131 miliar.