Setelah Kalah di India, Boeing Berencana Akhiri Produksi Super Hornet
- Boeing mengharapkan bisa menyelesaikan produksi Super Hornet yang sudah dipesan dalam waktu sekitar dua tahun. Hingga kemungkinan akan menghentikan produksi sekitar jangka waktu 2025.
Dunia
ST LOUIS-Jet tempur F/A-18E/F Super Hornet kalah bersaing dengan Rafale-M untuk menjadi jet tempur berbasis kapal induk India. Dan kini Boeing ingin menutup garis produksi jet tempur andalan US Navy tersebut.
Boeing mengharapkan bisa menyelesaikan produksi Super Hornet yang sudah dipesan dalam waktu sekitar dua tahun. Hingga kemungkinan akan menghentikan produksi sekitar jangka waktu 2025.
Bernd Peters, wakil presiden pengembangan bisnis dominasi udara untuk Boeing Defense beberapa waktu lalu mengatakan, mengamankan pesanan internasional baru untuk Super Hornet berpotensi memungkinkannya untuk melanjutkan aktivitas manufaktur hingga 2027. Tetapi upaya itu gagal termasuk di India. Seperti diketahui India baru-baru memutuskan untuk memilih Rafale-M untuk digunakan di kapal induk mereka.
“Kami kemungkinan akan menghentikan produksi sekitar jangka waktu 2025,” kata Peters dikutip Flightglobal 21 Juli 2023 lalu.
Sisa produksi Super Hornet di situs Boeing St. Louis di Missouri akan menjadi milik Angkatan Laut Amerika. Dengan pesanan akhir layanan masih dinegosiasikan.
- Meluncur di Pasar, Berikut Sejumlah Peningkatan Samsung Galaxy Z Flip5
- Konflik Izin Tambang, Warga Dairi Sumut Menang Gugatan Atas Pemerintah
- Agar ASN Piawai Bahasa Inggris, Sumbar Luncurkan BESTiE
Namun, perusahaan telah menerima sejumlah dana untuk mendukung aktivitas jangka panjang melalui rantai pasokannya. Menunggu persetujuan untuk membangun 12 pesawat menggunakan dana tahun fiskal 2022, dan delapan pesawat terakhir melalui alokasi anggaran 2023.
Di bagian lain Peters mengatakan Boeing optimistis mengamankan pesanan untuk memasok Israel hingga 50 F-15EX Eagle II. Kesepakatan kemungkinan akan mencakup pesanan pasti untuk 25 model baru, ditambah jumlah opsi yang sama. Indonesia juga sebelumnya telah menyatakan minat untuk berpotensi mengakuisisi 36 jet tempur.
Meskipun produksi Super Hornet hampir selesai, Peters mencatat bahwa pihanya berinvestasi untuk masa depan yang panjang di sektor dominasi udara. Bahkan ketika USAF membuat persiapan untuk mengakuisisi apa yang disebut platform generasi keenam.
Selain produksi F-15EX, situs St. Louis juga saat ini sedang mengerjakan jet latih lanjutan T-7A Red Hawk untuk USAF. Selain itu empat tanker tak berawak MQ-25 Stingray untuk Angkatan Laut Amerika. Produksi penuh MQ-25 akan dilakukan di pabrik baru yang sedang dibangun di bandara MidAmerica St. Louis.
Sejarah Super Hornet
Super Hornet terbang pertama kali pada 29 November 1995. Dibandingkan pendahulunya F/A-18 C/D Hornet, Super Hornet sekitar 25% lebih besar. Tetapi mengandung bagian struktural 42% lebih sedikit.
F/A-18/E satu kursi dan F/A-18/F dua kursi terbang dengan jangkauan yang lebih jauh dengan muatan yang lebih berat. Mereka juga memiliki mesin yang lebih bertenaga dan memberikan kemampuan bertahan yang lebih baik.
Pesawat produksi awal tingkat rendah pertama dikirim pada Desember 1998. Dan semua 12 jet tempur batch pertama dikirimkan pada November 1999. Setelah berhasil menyelesaikan evaluasi operasional, pada bulan Juni 2000 US Navy memesan 222 pesawat tempur untuk diproduksi selama lima tahun.
Pesawat produksi tingkat penuh pertama dikirim pada September 2001. Sekitar 700 pesawat telah dibangun hingga saat ini. Selain Angkatan Laut Amerika, Super Hornet juga digunakan Angkatan Udara Australia dan Kuwait.
- Geliat Pelaku UMKM Kian Meningkat, BRI Bidik Porsi Loan at Risk Kembali Single Digit
- OJK Tetapkan Saham Mandiri Herindo (MAHA) Sebagai Efek Syariah
- Baru IPO, Saham Sinergi Inti Andalan Prima (INET) jadi Efek Syariah
F/A-18E/F memulai pengerahan operasional perdananya di kapal induk USS Abraham Lincoln (CVN 72) pada Juli 2002. Super Hornet memasuki pertempuran pada November tahun yang sama, menyerang situs pertahanan udara di Irak Selatan dengan Joint Direct Attack Munitions (JDAM). Pesawat juga dikerahkan sebagai bagian dari Operasi Pembebasan Irak pada Maret 2003. Juga aktif dalam perang lain seperti di Afghanistan dan Suriah.
Dalam perkembangannya Super Hornet sudah mencapai apa yang disebut sebagai Blok III. Peningkatan meliputi pemasangan sensor IRST Block II yang dapat menciptakan solusi penargetan untuk rudal udara ke udara.
Peningkatan juga mencakup penambahan tangki bahan bakar konforma yang memperluas jangkauannya sekitar 222km. Juga penggunaan radar Raytheon APG-63 (V) 3, dan sistem peperangan eletronik mutakhir. Block III juga dilengkapi dengan Tactical Targeting Networking Technology (TTNT). Data-link yang sudah digunakan pada pesawat peringatan dini E2-D Hawkeye .
Dari Super Hornet kemudian juga lahir EA-18G Growler. Sebuah pesawat perang elektronik, berdasarkan F/A-18F dua kursi. Pesawat produksi pertama dikirim ke Angkatan Laut Amerika pada tahun 2008.