<p>Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) / Twitter @KPK_RI</p>
Kolom

Setelah KPK Lumpuh, Hadir Kortastipikor

  • Alih-alih memulihkan KPK, Presiden Prabowo memilih Polri sebagai mesin penggebuk koruptor. Tapi melihat buruknya rekam jejak polisi dalam menangani perkara korupsi, sepak terjang badan anyar ini perlu diawasi ramai-ramai.

Kolom

Andi Reza Rohadian

Korupsi di Indonesia boleh jadi sudah terjadi sejak republik berdiri. Presiden sudah berganti delapan kali toh aksi penjarahan uang rakyat tak kunjung surut. Meski di masa kampanye semua calon presiden mengumandangkan pemberantasan korupsi, toh hasilnya selalu kebalikannya.

Di zaman pemerintahan Joko Widodo, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga antirasuah yang paling dipercaya rakyat justru dikebiri. Setelah secara kelembagaan ditempatkan di bawah eksekutif, pimpinannya diberi orang yang sarat masalah:  Firli Bahuri. Selanjutnya di antara pimpinan terjadi saling sikut. Robohnya KPK pun tinggal menunggu waktu.

Berharap Presiden anyar Prabowo Subianto akan memulihkan KPK agaknya hanya angan-angan. Betul dia telah berjanji untuk memberantas korupsi. Untuk itu ia akan fokus pada dua pilar utama, yakni penguatan institusi penegak hukum dan reformasi birokrasi.

Bicara penguatan institusi hukum tampaknya ia akan berharap banyak pada institusi Polri. Paling tidak itu tampak dari acara pembekalan seluruh jajaran kabinetnya yang berlangsung di Akademi Militer, Magelang, baru-baru ini. Sebagai pembicara soal penanganan korupsi, ia menyodorkan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, alih-alih jaksa agung maupun pimpinan KPK.  

Sekadar informasi, lima hari sebelum lengser keprabon, Joko Widodo membentuk Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di bawah Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122 Tahun 2024 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kortastipikor, demikian akronim lembaga baru itu, mempunyai tugas membantu Kapolri dalam membina dan menyelenggarakan pencegahan, penyelidikan dan penyidikan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana korupsi.

Cikal dari Kortastipikor tak lain Satuan Tugas Khusus Pencegahan Korupsi Mabes Polri. Ditilik dari salah satu personilnya, satgas ini cukup menjanjikan. Menjabat sebagai wakil ketua satgassus adalah Novel Baswedan. Reputasi mantan penyidik KPK ini memang terbilang jempolan. Saat berdinas di KPK ia senantiasa bertindak tanpa kompromi.

Tak tanggung-tanggung korbannya dua jendelal polisi:  Irjen Djoko Susilo dan Komjen Budi Gunawan. Djoko, mantan Direktur Lalu Lintas Polri tersangkut proyek pengadaan simulator SIM senilai Rp 196 miliar. Sedangkan Budi, ditengarai melakukan korupsi  saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006. Di Kabinet Merah Putih Budi menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia.

Saat ini Satgassus telah melakukan kerja sama dengan melakukan pendampingan terhadap 12 kementerian/lembaga, yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM, Kementerian PUPR, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, PT Sarana Multi Infrastruktur, Pertamina, SKK Migas, hingga Badan Bank Tanah Nasional.

Dari Kasus Kredit Fiktif BNI Sampai Cicak vs Buaya

Semoga saja Kortastipikor bisa lebih baik dari Satgassus Pencegahan Korupsi. Sebab publik belum lupa perilaku pejabat Polri di masa lalu saat menangani perkara korupsi. Dua dekade lampau, dua jenderal dan satu perwira menengah Tri Brata harus meringkuk di penjara. Mereka adalah Komjen Pol Suyitno Landung (mantan Kabareskrim), Brigjen Pol Samel Ismoko (mantan Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim) dan Komisaris Besar Irman Santoso (mantan Kepala Unit II Ekonomi Khusus).

Bukannya mengusut perkara secara profesional, Suyitno malah terlibat dugaan penerimaan suap yang dilakukan tersangka pembobol Bank BNI Adrian Waworuntu dan pelanggaran prosedur dalam melakukan penahanan para tersangka.

Hakim pada saat itu menilai Suyitno terbukti menerima 1 unit mobil Nissan X-Trail konsultan bisnis terpidana seumur hidup kasus kredit fiktif BNI Rp 1,7 triliun Adrian Waworuntu.
 

Suyitno akhirnya divonis satu tahun enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Ia juga diharuskan membayar denda Rp 50 juta subsider 6 bulan kurungan. Dia tidak mengajukan banding, sehingga putusan PN Jaksel telah berkekuatan hukum tetap.

Ada pun Samuel Ismoko dituduh menerima suap Rp 15,5 miliar dari Adrian Waworuntu. Dalam sidang di PN Jakarta Selatan, pada 26 September 2006, ia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korups. Dia divonis 1 tahun 8 bulan kurungan. Dia juga dihukum membayar denda Rp 50 juta subsidair satu bulan penjara.

Setelah Suyitno dan Samuel dijatuhi hukuman, dua tahun berikutnya muncul perkara korupsi penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari dan dana pengamanan pilkada Jawa Barat 2008. Pelakunya adalah mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji. Pada Maret 2011 PN Jakarta Selatan menghukum dia 3,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Hukuman ini tak berubah di tingkat banding.

Satu tahun betrikutnya muncul kasus yang melibatkan Brigjen Pol Edmond Ilyas. Ia dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda Lampung terkait kasus rekening Rp28 miliar milik Gayus Tambunan. Sebelumnya Edmon merupakan Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim, dan ikut menangani kasus penggelapan yang dilakukan PNS Ditjen Pajak itu. 

Bersama Edmon, ikut terlibat mantan Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Raja Erizman yang dituding menandatangani surat pembukaan pemblokiran atas rekening Rp 25 Miliar milik Gayus Tambunan pada November 2009. Pemblokiran dilakukan karena ada dugaan kasus penggelapan pajak dan pencucian uang. 

Selain keterlibatan lima jenderal dalam perkara korupsi, Polri juga tersangkut tiga perseteruan dengan KPK. Perseteruan ini bahkan terjadi sampai tiga jilid.

Jilid pertama terjadi pada Juli 2009. Perseteruan tersebut berawal dari beredarnya isu adanya penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri saat itu, Komjen Pol Susno Duadji. Susno dituduh terlibat pencairan dana dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna. Susnolah orang yang pertama kali menyodorkan analogi cicak vs buaya. KPK diibaratkan cicak yang kecil, sedangkan Polri sebagai buaya karena besar.

Puncak kasus cicak vs buaya jilid I terjadi ketika Bareskrim Mabes Polri menahan dua Wakil Ketua KPK,  Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah. Penahanan dua komisioner KPK ini memantik reaksi keras dari aktivis antikorupsi.

Dua pekan setelah Bibit dan Chandra ditahan polisi, Presiden (kala itu) Susilo Bambang Yudhoyono pun angkat bicara. Presiden RI keenam itu pun meminta pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan,”namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu, yaitu Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK," kata SBY saat memberikan pidato terkait kasus cicak vs buaya pada 23 November 2009 di Istana Negara.

Tiga tahun kemudian kasus cicak vs buaya kembali terjadi pada awal Oktober 2012. Kasus ini dipicu oleh langkah KPK mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo.

Pada Jumat malam 5 Oktober 2012, puluhan anggota Brigade Mobile mengepung gedung KPK. Mereka berniat menangkap salah satu penyidik KPK, Komisaris Novel Baswedan yang dituduh terlibat aksi penganiayaan berat saat masih bertugas di Kepolisian Daerah Riau. Aktivis antikorupsi kembali beraksi atas aksi kepolisian yang mengepung gedung KPK tersebut.

Cicak vs buaya jilid 3 muncul di era Presiden Joko Widodo pada 2015. Sebelas hari setelah KPK menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka, kepolisian menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto. 

Lima jam setelah penangkapan Bambang Widjajanto, Presiden Joko Widodo memanggil Ketua KPK dan Wakapolri. Ia pun meminta institusi Polri dan KPK memastikan bahwa proses hukum yang ada harus objektif dan sesuai dengan aturan Undang-undang. 

Mungkinkah Prabowo Memulihkan Wewenang KPK?

Meski kisah cicak buaya tidak berlanjut, toh upaya pelemahan KPK terus berlangsung. Puncaknya adalah pemerintah merevisi UU KPK pada tahun 2019. Lewat revisi itu, KPK bukan lagi badan independen, melainkan berada di bawah ranah eksekutif. Hak eksklusif penyadapan terhadap pihak yang dicurigai juga dipersulit dengan harus terlebih dulu mendapat izin dari dewan pengawas.

Sudah begitu, KPK boleh menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP 3) sebagaimana kewenangan kejaksaan. Padahal sebelumnya semua tersangka dipastikan diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman.

Masalahnya, saat ini suasana kebatinan di pemerintahan Prabowo tampaknya sulit untuk memulihkan kewenangan KPK. Alhasil memang tidak ada salahnya publik menunggu sepakterjang Kortastipikor. Jika mereka bisa membuktikan dapat memberangus koruptor tanpa pandang bulu, bolehlah masyarakat memberi apresiasi.

Tapi jika melempem dan mudah masuk angin, Prabowo harus segera memerintahkan pemulihan KPK jika ingin dipercaya dan tidak ingin mengecewakan rakyat.