Setelah Ormas, DPR Akan Izinkan Universitas dan UKM Kelola Tambang
- Pemberian WIUPK merupakan bagian dari revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang tengah dibahas dalam rapat pleno Baleg selama masa reses.
Nasional
JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) DPR tengah membahas aturan yang akan membuka peluang bagi perguruan tinggi, UMKM dalam memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Menurut Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan kebijakan ini bertujuan tidak hanya untuk mendorong keterlibatan langsung masyarakat dalam aktivitas pertambangan, tetapi juga untuk memastikan bahwa hasil dari operasi pertambangan dapat dinikmati secara lebih adil oleh masyarakat sekitar. Terutama yang berada di wilayah pertambangan.
Menurut Hasan, dengan melibatkan kelompok-kelompok ini, pemerintah berharap dapat menciptakan model pembangunan yang berkelanjutan, dimana pemangku kepentingan lokal dapat berkontribusi dan memperoleh manfaat dari pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka.
"Sebagaimana yang telah sering kita dengarkan, perlunya diundangkan prioritas bagi ormas keagamaan untuk mengelola pertambangan, demikian pula dengan perguruan tinggi, dan tentunya UKM, usaha kecil, dan sebagainya,” papar Hasan kala menyampaikan pandangannya dalam rapat pleno penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) di Senayan, Jakarta, Senin, 20 Januari 2024.
Pemberian WIUPK merupakan bagian dari revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang tengah dibahas dalam rapat pleno Baleg selama masa reses. Salah satu komponen penting dalam revisi ini adalah usulan penambahan Pasal 51A dalam UU Minerba yang akan mengatur pemberian WIUP kepada perguruan tinggi dan UMKM.
Kedua institusi ini akan memiliki peran penting dalam sektor pertambangan, dengan perguruan tinggi diprioritaskan untuk WIUP mineral logam, sementara UMKM akan diberikan wilayah izin usaha dengan luas kurang dari 2.500 hektare. Hasan mengklaim pemerintah ingin menciptakan sektor pertambangan yang lebih beragam dan inklusif, di mana inovasi dan keberlanjutan menjadi prioritas.
Menurut Hasan, reformasi ini didorong oleh tujuan yang lebih besar untuk mempercepat transisi Indonesia dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, serta memperkuat hilirisasi untuk mendukung perkembangan ekonomi.
“Ini merupakan peluang bagi masyarakat, sehingga dapat melakukan satu usaha yang secara langsung,” tambah Hasan.
Bob Hasan menekankan pentingnya percepatan proses ini agar potensi sumber daya alam Indonesia dapat dimanfaatkan secara maksimal. Ia menyoroti dengan memperkuat industri hilir dan menciptakan lebih banyak peluang bagi pengusaha lokal dan institusi pendidikan untuk terlibat dalam sektor pertambangan, negara ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, dan mengurangi kesenjangan antar daerah.
- Bukan Cukai, Kemenperin Nilai Pengenaan SNI Lebih Cocok untuk Minuman Berpemanis
- IDCloudHost dan ITTS Resmi Bekerja Sama dalam Mendukung Transformasi Digital dan Infrastruktur Cloud
- Mau Dicaplok BTN, Saham BVIC Ngacir
Potensi Risiko dan Tantangan
Meskipun tujuan kebijakan ini tampak mulia, ada sejumlah risiko dan tantangan yang perlu dipertimbangkan. Salah satunya adalah kapasitas dan kompetensi perguruan tinggi serta UKM dalam mengelola operasi pertambangan. Perguruan tinggi dan UKM mungkin tidak memiliki pengalaman atau keahlian yang memadai dalam sektor ini, yang dapat berdampak negatif pada efisiensi operasional dan keselamatan kerja.
“Bagaimana pemerintah bisa memilih memberikan suatu kewenangan kepada universitas, perguruan tinggi, yang mana harus diberikan kepada ribuan universitas di Indonesia? Ini menimbulkan masalah baru,” jelas Anggota Badan Legislasi DPR RI Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga.
Konflik kepentingan juga menjadi potensi masalah jika perguruan tinggi dan ormas keagamaan terlibat dalam usaha pertambangan. Tanpa regulasi yang jelas dan transparan, keterlibatan mereka bisa memunculkan konflik kepentingan, terutama terkait dengan distribusi keuntungan dan pengaruh politik yang mungkin terjadi.
Terakhir, kebijakan ini berpotensi menambah beban pada perguruan tinggi, yang memiliki tanggung jawab utama dalam pendidikan dan penelitian. Jika perguruan tinggi harus mengalihkan fokusnya untuk mengelola tambang, ini bisa mengganggu tugas utama mereka dan berdampak pada kualitas pendidikan.
“Sepanjang kita belum mengatur bagaimana undang-undang universitas atau perguruan tinggi itu disesuaikan dengan pengelolaan tambang, kami tidak mau bahwa produk hukum ini nanti menjadi permasalahan baru dalam pemerintahan ini,” tambah Rudi.