Megawati dan Prabowo Subianto
Kolom

Setelah PDIP Mendukung Pemerintahan Prabowo

  • Megawati Soekarnoputri menyatakan akan bekerjasama dengan Presiden Prabowo. Pupus sudah harapan rakyat akan kehadiran oposisi yang tangguh di parlemen. Masyarakat kawatir kian kuatnya pemerintahan akan mengulang kisah sukses presiden terdahulu dalam menyusun perundang-undangan sangat memihak oligarki.

Kolom

Andi Reza Rohadian

Demokrasi yang baik adalah yang dapat menghasilkan keseimbangan. Sebab pemerintahan yang terlalu kuat niscaya akan menimbulkan kesewenang-wenangan. Untuk itulah oposisi dibutuhkan. Oposisi dapat menjalankan fungsi checks and balances, mengontrol jalannnya pemerintahan yang menyimpang dari jalur.

Namun, agaknya harapan rakyat akan kehadiran oposisi kini menjadi hampa. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai peraih suara terbanyak di pemilihan legislatif dengan 25.387.279 suara (16,72%) telah menegaskan komitmennya untuk mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, meski tidak ada kader partai yang masuk dalam jajaran kabinet.

Senin, 13 Januari 2025, Ketua DPP PDIP, Ahmad Basarah, menyatakan komitmen itu mencerminkan kesungguhan PDIP dalam berkontribusi untuk kemajuan bangsa tanpa terjebak dalam dinamika oposisi. Menurutnya, sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia tidak mengenal konsep oposisi seperti yang diterapkan dalam demokrasi liberal parlementer.

Begitu kuatnya pemerintahan dalam periode lalu (2019-2024) terbukti banyak menafikan aspirasi rakyat. Dengan partisipasi publik yang sangat minim dalam perancangan perundang-undangan hanya membuat rakyat sengsara. Sebut saja Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang banyak melucuti hak-hak pekerja, UU Minerba yang membuat rakyat di sekitar pertambangan tak bisa mengadu ke pemerintah daerah atas kerusakan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan di lingkungan tempat tinggalnya.

Hubungan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Presiden Prabowo memang memiliki sejarah panjang dalam dunia politik. Bahkan keduanya pernah berkoalisi dalam Pilpres 2009, membentuk pasangan "Mega-Pro" kendati hanya meraih 26,79% suara. 

Relasi mereka sempat renggang di Pilpres 2014 dan 2019, terutama setelah Megawati mencalonkan Joko Widodo yang populer dengan sebutan Jokowi meski ada perjanjian Batu Tulis. Dalam perjanjian tersebut Prabowo diminta untuk membentuk koalisi PDIP dan Gerindra dalam Pilpres 2009 dengan Megawati sebagai calon presiden dan Prabowo sebagai calon wakil presiden. 

Sebagai imbalan, Megawati dan PDIP berjanji akan mendukung Prabowo sebagai calon presiden pada Pilpres 2014. Namun, pada Pilpres 2014, Megawati memutuskan mencalonkan Joko Widodo sebagai capres dari PDIP, dan tidak memenuhi janji mendukung Prabowo.

Seiring berjalannya waktu, relasi Megawati-Prabowo berangsur pulih. “Mereka tinggal mencari waktu dan tempat yang baik untuk bertemu,” ujar Ahmad lagi.

Tak Ada Lagi yang Bisa Diharapkan di DPR

Satu hal yang diharapkan rakyat, dukungan Megawati tidak meninggalkan sikap kritisnya. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, menyatakan ini berkaitan dengan sikap politik PDIP yang di tengah-tengah, tidak menjadi oposisi atau pun koalisi pemerintahan.

"PDIP baik berada di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan selalu memberikan suatu kritik yang membangun untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara," kata Hasto seusai lomba Soekarno Run di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Minggu , 12 Januari 2025.

Semoga saja itu bukan sekadar omon-omon. Sebab kalau sampai PDIP melembek, tak ada lagi yang bisa diharapkan bersuara kritis terhadap pemerintah. Partai politik lain yang tidak bergabung ke pemerintah sisa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang di pemilu lalu mengantungi 8,42% suara (12.781.353 suara). Jika digabung dengan suara PDIP, kedua partai politik hanya mencapai 25,14% suara di DPR.

PDIP saat pemerintahan SBY selama dua periode (2004-2009 dan 2009-2014) memilih berada di luar pemerintahan. Sikap kritis partai pimpinan Megawati Soekarnoputri berbuah manis di pemilu 2014 dan 2019. Selain tampil sebagi pemenang pemilu, di dua periode itu PDIP berhasil mengantarkan kadernya, Jokowi, sebagai Presiden RI.

Jokowi ternyata sangat piawai menggandeng parpol-parpol yang semula berseberangan. Tak tanggung-tanggung, Partai Gerindra yang dikomandoi Prabowo Subianto sebagai lawan politiknya di dua periode kontestasi presiden berhasil pula dirangkulnya.

Alhasil semua misi politik pemerintah sukses diwujudkan sebagai perundang-undangan. Proses penyusunan perundang-undangan pun berlangsung relatif singkat. Saking kuatnya dukungan parpol di DPR, partisipasi publik pun nyaris terabaikan. Tak ubahnya lagu Iwan Fals, para wakil rakyat seperti sedang melakukan paduan suara dalam mengesahkan sebuah rancangan undang-undang: Setuju!

Paling tidak paduan suara itu begitu merdu saat menyetujui RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), RUU Mahkamah Konstitusi (MK), RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (HKPD), RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), RUU Ibu Kota Negara (IKN) dan RUU Cipta Kerja.

Korupsi yang sebelumnya dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa seolah menjadi mentah dengan diubahnya UU KPK. Sejumlah kewenangan antirasuah dilucuti. Paling fatal adalah ditariknya independensi lembaga antirasuah dengan menempatkannya sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif.

Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN. Juga keberadaan Dewan Pengawas yang lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, antara lain berwenang memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.

Senjata andalan KPK yakni penyadapan juga jadi mejan lantaran harus melalui enam lapis birokrasi. Ini tentu berisiko bocornya perkara akibat lamanya waktu pengajuan.

KPK yang sebelumnya diharamkan melakukan SP3 pun wajib menghentikan penyidikan jika dalam tempo dua tahun tak dapat menuntaskan penyidikan. Sekadar mengingatkan, di masa lalu SP3 kerap dijadikan sebagai komoditi oleh penyidik untuk melepaskan tuntutan terhadap seorang tersangka.

Kado Terbaik dari Pemerintah buat Pengusaha

Setali tiga uang UU Minerba yang ditandatangani oleh Presiden pada 10 Juni 2020. UU ini memuat pasal-pasal yang sangat kontroversial bahkan mengabaikan sisi konservasi lingkungan hidup serta jauh dari tujuan mensejahterakan masyarakat luas.

Sebelum UU No. 4 Tahun 2009 dihapus dan digantikan dengan UU Minerba, sebuah perusahaan atau perorangan apabila ingin melakukan aktifitas pertambangan di suatu daerah harus mengajukan permohonan izin dulu ke Pemda Kabupaten atau Kota setempat. Tujuannya, jika terjadi konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat wilayah tambang, Pemda dapat berperan layaknya mediator.

Jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tambang, maka Pemda memiliki kewenangan untuk menghentikan sementara bahkan mencabut Ijin Usaha Pertambangan (IUP).

Sayangnya, dengan disahkan UU Minerba No. 3 Tahun 2020, saat muncul konflik lahan, Pemda tidak lagi bisa melakukan tindakan apapun. Maklum, seluruh kewenangan pertambangan diatur oleh pemerintah pusat.

Sudah begitu masyarakat daerah yang dirugikan akibat aktifitas perusahaan tambang yang merusak ruang hidupnya bisa dianggap mencoba mengganggu aktiv5itas pertambangan. Risikonya dia bisa dilaporkan balik oleh perusahaan dan dijatuhi pidana, bahkan denda hingga sebesar 100 juta rupiah.

Bisa dibilang UU Minerba No. 3 Tahun 2020 ini merupakan kado terbaik dari pemerintah untuk pengusaha tambang di Indonesia . Bagaimana tidak, seakan belum cukup dengan pemberian tiket eksploitasi sumber daya alam yang masif dan destruktif kepada segelintir konglomerat pengusaha tambang, pemerintah secara gamblang memberi lampu hijau bagi pelaku kegiatan eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan di bumi Indonesia dengan bebas biaya.

Beleid lain yang sempat menjadi perbincangan pada 2024 adalah UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), terutama perihal kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Sejumlah pihak, termasuk pengusaha dan wakil rakyat, menilai kebijakan ini berisiko menekan daya beli masyarakat.

Tak kurang kontroversialnya adalah UU IKN. Terrkait status kekhususan IKN Nusantara sebagai pemerintah daerah khusus mengabaikan sejumlah syarat seperti, kemampuan fiskal, jumlah daerah administrasi dan aspek budaya dan politik.

Warga di IKN juga dipereteli hak pilihnya. Mereka hanya akan mengikuti pemilu tingkat nasional, yakni pemilihan presiden, DPR, dan DPD.

Soal Status Kepala Otorita IKN yang diangkat langsung oleh Presiden dengan melalui konsultasi DPR jelas mengabaikan peran DPR dalam penujukkan pemimpin ibu kota baru. Sebab, frasa "konsultasi" dalam pasal tersebut hanya bersifat masukan.

Begitu pula soal pemberhentian Kepala Otorita IKN. Pasal tersebut memungkinkan presiden memberhentikan Kepala Otorita IKN yang tak diatur maksimal masa jabatannya tanpa konsultasi DPR. Tanpa ketentuan maksimal masa jabatan yang tidak diatur hanya akan membuka potensi lahirnya otoritarianisme.

Masalah pembiayaan yang berasal dari APBN dan sumber lain yang sah tidak diatur dengan jelas. Tanpa itu pembiayaan hanya melahirkan praktik transaksaksional antara pemerintah dengan para pengusaha. Terlebih, pembiayaan IKN Nusantara akan menelan biaya hingga lebih dari Rp466 triliun.

Hak Buruh Kian Tergencet

Di antara perundang-undangan itu yang paling heboh dalam prose penyusunanya tak lain tak bukan adalah UU Cipta Kerja. Bayangkan UU yang menggabungkan 80 perundang-undangan dan melebur 1.200 pasal itu benar-benar disusun dalam tempo sesingkat-singkatnya. Diajukan Presiden Jokowi pada tanggal 17 Desember 2019, UU itu disahkan pada tanggal 21 Maret 2023.

Begitu cepatnya penyusunan itu ditengarai benar-benar mengakomodasi kepentingan oligarki. Pasal-pasalnya sungguh menggencet kepentingan buruh. Pertama, sistem kerja kontrak dalam UU Cipta Kerja, yakni perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja menyebut, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Penggunaan frasa "tidak terlalu lama" mengubah ketentuan soal batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria PKWT. Hal ini diyakini akan membuat pengusaha leluasa menafsirkan frasa "tidak terlalu lama" dan makin menipisnya kepastian kerja bagi buruh.

Demikian juga perpanjangan PKWT yang kemudian diatur Peraturan Pemerintah (PP). Dengan pengaturan ini buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa periode, dan secara terus menerus atau tanpa batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap.

UU Cipta Kerja juga menaikkan batasan maksimal jam lembur dari tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan, menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.

Hak cuti dan istirahat pun ikut terpangkas. Istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan. Dengan demikian, pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan waktu istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam sepekan. Apalagi, dalam UU Cipta Kerja juga buruh dapat dikenakan wajib lembur. Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghilangkan hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal selama enam tahun.

Buruh juga rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), salah satunya ketika mengalami kecelakaan kerja. Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan pemutusan pemutusan hubungan kerja. Salah satu alasannya yakni pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.

Nah, Presiden Jokowi memang sukses menggalang kekuatan politik yang berujung pada penyusunan perundang-undangan sesuai ambisi politiknya. Tapi di balik itu, Presiden RI ketujuh itu juga mendapat imbalan gelar sebagai pemimpin terkorup ketiga di dunia dari OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Ptroject). OCCRP adalah satu di antara organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia, yang berkantor pusat di Amsterdam dan memiliki staf di enam benua.

Semoga saja Presiden Prabowo Subianto menjadikan penghargaan bagi pendahulunya sebagai pelajaran. Jangan sampai kelak dia juga diberi gelar serupa oleh OCCRP.