Setelah Tapera, Asuransi TPL, Kini Muncul Program Dana Pensiun Tambahan
- Pemerintah terus menggerojok masyarakat dengan program yang memotong penghasilan. Padahal jumlah kelas menengah sebagai indikator kemajuan sebuah negara saat ini telah anjlok 4,32 persen dari 21,45 persen pada tahun 2019.
Kolom
Kendati masa jabatan Presiden Joko Widodo tinggal menghitung hari, belum ada tanda-tanda pemerintahannya mengurangi kecepatan. Selain masih getol mengocok ulang kabinet, rezim Jokowi tak gamang untuk menelurkan program baru yang menambah beban rakyat.
Setelah meluncurkan Asuransi Tanggung Jawab Pihak Ketiga (third party liability), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berancang-ancang menggelar program dana pensiun tambahan yang bersifat wajib. Asuransi ini diatur dalam Pasal 128 ayat 4 UU P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan).
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono, program ini di luar program jaminan hari tua (JHT) dan jaminan pensiun yang telah dilaksanakan oleh BPJS, Taspen, dan sistem jaminan sosial nasional.
“Program pensiun wajib dengan kriteria tertentu yang akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP), ketentuannya itu harus mendapatkan persetujuan DPR,” kata Ogi, Jumat 6 September.
Adapun tujuan dari ekstensifikasi atau perluasan program dana pensiun sebagai upaya untuk meningkatkan akumulasi dana pensiun mencapai 20 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, ada juga intensifikasi dengan menambah iuran pensiun masyarakat. “Jadi intensifikasi dan ekstensifikasi akan meningkatkan akumulasi dana pensiun,” ujarnya.
Dia juga berharap dengan semakin meningkatnya nilai PDB Indonesia, akumulasi dana pensiun akan semakin tumbuh sehingga dapat berkontribusi pada perekonomian nasional serta menjadi pendorong pembangunan nasional.
Kontan rencana OJK mendapat sanggahan dari Rieke Diah Pitaloka. Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP ini menyampaikan penolakan atas program pensiun tambahan dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa, 10 September 2024.
Ada empat alasan disampaikan Rieke saat menolak program anyar OJK. Pertama, kasus pemutusan hubungan kerja atau PHK di Indonesia saat ini tengah melonjak.
Kedua, fakta membuktikan adanya kerugian dana pensiun yang dimobilisasi pemerintah. Ia merujuk kasus Asabri yang merugikan negara senilai Rp22,78 triliun, kasus Jiwasraya Rp16,81 triliun, serta adanya indikasi investasi fiktif di dana Taspen sekitar Rp1 triliun.
Ketiga, saat ini potongan terhadap pekerja dan pemberi kerja dalam skema jaminan sosial sudah cukup tinggi.
Tak urung, ia menilai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 (UU PPSK) bertentangan dengan UUD 1945 pasal 27 ayat 2, pasal 28 ayat 3, dan pasal 34 ayat 3. "Ini bertentangan dengan rasa keadilan rakyat yang saat ini sedang kesulitan mencari pekerjaan, bahkan rekrutmen CPNS saja berantakan," sahutnya.
Beban Kelas Menengah
Sikap si Oneng, eh, Rieke yang notabene bintang sinetron Bajaj Bajuri, layak didukung. Bukan apa-apa, saat ini karyawan di Indonesia sudah menghadapi lima pemotongan. Yakni BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Hari Tua, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun, Pajak Penghasilan (PPh 21), plus Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) mulai tahun 2027.
Besar potongan BPJS Kesehatan adalah 5 persen dari gaji bulanan. Potongan gaji itu sebesar 4 persen dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan dan 1 persen lainnya dibayar oleh peserta.
Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan terdiri dari Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). JKM dibayarkan sebesar 0,3 persen dari upah yang ditanggung oleh perusahaan. Lantas JKK mulai 0,24 persen sampai dengan 1,74 persen dari upah dan ditanggung oleh perusahaan.
Selanjutnya, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Hari Tua yang besarnya 5,7 persen dari upah. Pemberi kerja menanggung 3,7 persen dari jumlah itu.
Kemudian ada BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun yang membebani pemberi kerja sebesar 2 persen, dan 1 persen ditanggung peserta.
Selain itu ada pula Pajak Penghasilan (PPh 21) yang nilainya tergantung dari besarnya penghasilan karyawan, mulai dari 5 persen hingga 35 persen.
Dan terakhir adalah Tapera. Saat berlaku tahun 2027, pekerja akan kena pangkas 2,5 persen, dan 0,5 persen menjadi tanggungan pemberi kerja.
Sudah barang tentu potongan itu akan banyak mempengaruhi kelas menengah yang selama ini dinilai sebagai barometer sehat tidaknya ekonomi sebuah negara.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) kelas menengah di Indonesia terus mengalami penurunan sejak lima tahun terakhir dan terancam miskin. Sebelum pandemi Covid-19 atau pada 2019 jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta orang atau 21,45 persen dari total penduduk. Angka tersebut turun menjadi 53,83 juta orang atau 19,82 persen middle class pada 2021, serta menjadi 49,51 juta orang atau 18,06 persen dari total penduduk pada 2022.
Sementara itu, pada 2023, jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia tercatat 48,27 juta penduduk atau 17,44 persen. BPS juga melaporkan penurunan kelas menengah pada 2024 menjadi 47,85 juta orang atau 17,13 persen dari total penduduk Indonesia. Dengan demikian, selama lima tahun terakhir, ada sebanyak 9,48 juta penduduk kelas menengah yang turun kelas.
Kriteria kelas menengah menurut Bank Dunia adalah mereka yang memiliki pengeluaran berkisar 3,5 sampai 17 kali garis kemiskinan atau sekitar Rp 2.040.262 hingga Rp 9.909.844 per kapita per bulan. Sementara itu, penduduk yang masuk golongan kelas atas memiliki pengeluaran 17 kali garis kemiskinan atau di atas Rp 9.909.844 per kapita per bulan.
Biaya yang begitu berat, ditambah banyaknya pungutan, juga bisa menurunkan konsumsi kelas menengah. Imbasnya akan berpengaruh kepada pelaku usaha, yang bisa menurunkan permintaan secara agregat berbagai jenis barang konsumsi.
Tak heran jika kinerja industri manufaktur di kuartal II-2024 mengalami tekanan, terutama di sektor padat karya. Purchasing Manager’s Index (PMI) pada Juni 2024 menunjukkan angka 50,7 atau lebih rendah dibandingkan Mei 2024 yang mencapai 52,1. Perlambatan telah terjadi tiga bulan berturut-turut dan menempatkan skor Juni 2024 menjadi yang terendah sejak Mei 2023.
Jika kinerja industri manufaktur tidak dibenahi dan tren pelemahan industri manufaktur terus berlanjut maka efisiensi perusahaan industri akan terus menurun, fasilitas pembiayaan kredit usaha akan terhambat, dan pertumbuhan ekonomi akan melemah. Hal ini tentu akan bepengaruh pada perekonomian nasional, mengingat kontribusi sektor industri terhadap PDB cukup besar, yakni 18 persen.
Menurunnya porsi industri terhadap PDB juga berimbas ke PHK massal. Menurut perhitungan Konferensi Serikat Pekerja Nusantara, sejak awal tahun 2024 PHK sudah mencapai 50-an ribu atau bahkan bisa tembus 100.000. Korban PHK umumnya berasal dari industri TPT, sepatu dan manufaktur lainnya.
Maraknya PHK tentu akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat yang kemudian akan memengaruhi ekonomi RI. Karena itu, pemerintah harus segera turun tangan dan mengatur strategi baru agar industri manufaktur tak lagi merana.
“Penyesuaian” Harga BBM Memantik Kerusuhan
Jangan lupa, tahun depan pemerintah akan memberlakukan PPN 12 persen. Selain berpotensi menurunkan daya beli masyarakat, beleid ini juga berpotensi melemahkan industri.
Belum lagi dengan rencana pemerintah yang akan menaikkan cukai minuman kemasan manis sebesar 2,5 persen dan hasil tembakau jenis sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) minimal 5 persen setiap tahun untuk dua tahun ke depan.
Beban lain yang juga membuat masyarakat resah adalah rencana larangan penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan di atas 1400 cc.
Jika pemerintah tak peka dengan apa yang dirasakan kalangan akar rumput dan terus menambah beban masyarakat yang akan timbul adalah gejolak sosial.
Jangan lupa, dulu Presiden Soeharto yang baru saja kembali terpilih untuk kelima kalinya tak sampai satu tahun menduduki singgasananya. Di tengah krisis multidimensi dia nekat “menyesuaikan” harga BBM yang lantas menyiram bara demonstrasi mahasiswa yang berujung kerusuhan Mei 1998.
Kita tentu tak mau peristiwa itu berulang. Kuncinya pemerintah baru harus berlaku adil. Tekan habis korupsi, hukum seberat-beratnya koruptor. Berantas pungutan liar oleh preman berseragam maupun tak berseragam. Jika APBN tersalur secara tepat, beban pemerintah akan terasa ringan. Tak perlu lagi terus menambah beban masyarakat dengan pelbagai program yang menyunat penghasilan.