Ilustrasi Anak Sekolah (Freepik.com/odua)
Nasional

Setumpuk PR Prabowo di Bidang Pendidikan: dari Gaji Guru hingga Kurikulum yang Terus Berganti

  • Dalam beberapa tahun terakhir, kesejahteraan guru, terutama guru honorer, telah menjadi isu yang sering diperbincangkan. Di berbagai daerah, terutama di wilayah terpencil, banyak guru menerima gaji yang sangat rendah, bahkan jauh di bawah UMR.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Hingga kini masih banyak tantangan krusial yang menghambat tercapainya pendidikan berkualitas di Indonesia. Dari masalah kesejahteraan guru hingga sistem zonasi, setiap lapisan masyarakat terkena dampaknya. 

Berikut adalah beberapa masalah terbesar yang terus menghantui dunia pendidikan di Indonesia.

Gaji Guru: Antara Harapan dan Realitas

Dalam beberapa tahun terakhir, kesejahteraan guru, terutama guru honorer, telah menjadi isu yang sering diperbincangkan. Di berbagai daerah, terutama di wilayah terpencil, banyak guru menerima gaji yang sangat rendah, bahkan jauh di bawah UMR. 

Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagian guru honorer hanya mendapat bayaran antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000 per bulan.

Dampaknya sangat besar, guru yang seharusnya fokus pada pengajaran, sering kali harus memikirkan pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. 

Beban finansial ini mengurangi motivasi dan kualitas pengajaran di sekolah. Sementara itu, perbaikan gaji masih berjalan lambat dan tidak merata di seluruh wilayah Indonesia.

Kualitas Guru: Keterbatasan Kompetensi

Selain gaji, kualitas guru juga menjadi salah satu tantangan besar. Survei yang dilakukan Bank Dunia menunjukkan bahwa sebagian besar guru di Indonesia, khususnya dalam bidang sains dan matematika, belum memiliki kompetensi yang memadai. 

Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) pada 2022 bahkan menunjukkan skor rata-rata nasional hanya mencapai 58 dari 100.

Ketidakmampuan untuk memberikan pengajaran berkualitas berdampak langsung pada pencapaian siswa. Berdasarkan laporan PISA (Programme for International Student Assessment) 2018, Indonesia berada di peringkat 72 dari 79 negara dalam kategori literasi membaca, matematika, dan sains. Kondisi ini menjadi alarm bagi masa depan generasi muda Indonesia.

Kurikulum yang Berubah-Ubah

Indonesia telah melalui berbagai perubahan kurikulum dalam beberapa dekade terakhir. Paling terbaru adalah implementasi Kurikulum Merdeka yang bertujuan untuk memberikan fleksibilitas lebih dalam pembelajaran. 

Meski di atas kertas tampak ideal, kenyataan di lapangan berbicara lain. Banyak guru belum sepenuhnya siap menerapkan pendekatan ini karena minimnya pelatihan.

Akibatnya, perubahan kurikulum justru menimbulkan kebingungan di kalangan guru dan siswa. Selain itu, adaptasi terhadap kurikulum baru sering kali berjalan lambat di daerah-daerah yang masih tertinggal dalam infrastruktur pendidikan.

Sistem Zonasi Sekolah

Pemerintah memperkenalkan sistem zonasi sekolah untuk menciptakan kesetaraan dalam akses pendidikan. Namun, penerapan sistem ini menimbulkan tantangan baru. Banyak sekolah berkualitas masih terpusat di zona tertentu, sementara sekolah di daerah lain kekurangan sumber daya dan fasilitas memadai.

Orang tua siswa yang berada di zona dengan sekolah berkualitas rendah merasa dirugikan. Orang tua sering kali harus menerima kenyataan bahwa anak mereka terpaksa masuk sekolah dengan fasilitas dan kualitas pendidikan yang kurang baik hanya karena dibatasi oleh zonasi.

Kesenjangan Pendidikan di Daerah Terpencil

Kesenjangan antara pendidikan di kota besar dan daerah terpencil masih menjadi masalah kronis. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 30% sekolah di daerah terpencil kekurangan guru, fasilitas dasar, hingga akses internet. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi sekolah di perkotaan yang memiliki akses lebih baik terhadap sumber daya dan teknologi.

Kesenjangan ini menciptakan ketidaksetaraan dalam kesempatan belajar. Siswa di daerah terpencil tertinggal jauh, baik dalam hal hasil belajar maupun peluang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pemerataan pendidikan masih menjadi mimpi yang belum tercapai.

Beban Administratif yang Membelenggu Guru

Selain masalah kesejahteraan, banyak guru juga mengeluhkan beban administratif yang berlebihan. Tugas-tugas seperti mengisi dokumen penilaian, merencanakan pembelajaran, dan menyusun laporan kinerja sering kali memakan waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk mengajar atau meningkatkan keterampilan mereka.

Permasalahan Pendidikan Vokasi

Pendidikan vokasi seharusnya menjadi solusi bagi generasi muda yang ingin langsung terjun ke dunia kerja. Namun, realitasnya berbeda. Sekolah-sekolah vokasi di Indonesia masih kekurangan fasilitas, alat praktik, dan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri. Akibatnya, lulusan pendidikan vokasi sering kali kesulitan bersaing di pasar kerja, yang semakin mengandalkan tenaga terampil.

Banyak sekolah vokasi yang beroperasi dengan peralatan yang sudah usang, sementara dunia kerja saat ini membutuhkan keterampilan berbasis teknologi yang terus berkembang.

Angka Putus Sekolah yang Masih Tinggi

Angka putus sekolah di Indonesia masih menjadi masalah serius. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan angka putus sekolah di Indonesia pada tahun ajaran 2022/2023 sebanyak 40.623 siswa putus sekolah di tingkat SD, 13.716 orang putus sekolah pada jenjang SMP,  10.091 orang putus sekolah pada jenjang SMA,12.404 orang putus sekolah pada jenjang SMK.

Meski tantangan besar masih ada, harapan untuk masa depan pendidikan Indonesia tetap hidup. Dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, pendidikan berkualitas dan merata bisa menjadi kenyataan bagi seluruh anak Indonesia.