<p>Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengundurkan diri. / Reuters</p>
Nasional

Shinzo Abe Meninggal Ditembak, Kasus Pembunuhan Pejabat Jepang Pertama Sejak Zaman Militerisme 1930

  • Mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe meninggal dunia setelah ditembak saat berpidato untuk parlemennya yaitu Liberal Demokratik pada Jumat, 8 Juli 2022.
Nasional
Nadia Amila

Nadia Amila

Author

JAKARTA - Mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe meninggal dunia setelah ditembak saat berpidato untuk parlemennya yaitu Liberal Demokratik pada Jumat, 8 Juli 2022. 

Sebelum meninggal, Shinzo Abe dilarikan ke Rumah Sakit Universitas Kedokteran Nara untuk menjalani perawatan intensif.

Kasus pembunuhan yang terjadi pada Shinzo Abe ini merupakan kasus pembunuhan pertama terhadap seorang pejabat atau mantan perdana menteri Jepang sejak zaman militerisme sebelum perang di tahun 1930-an.

Profesor Departemen Politik Universitas Waseda, Airo Hino mengatakan penembakan seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya di Jepang. 

"Belum pernah ada yang seperti ini," katanya.

Menurut Airo Hino, para politisi senior Jepang didampingi oleh agen keamanan bersenjata, namun mereka (politisi) sering kali dekat dengan publik, terutama selama kampanye politik, berpidato di pinggir jalan dan berjabat tangan dengan orang yang lewat.

Kasus yang sama terjadi pada tahun 2007, Walikota Nagasaki ditembak dan dibunuh oleh gangster yakuza. 

Kemudian Ketua Partai Sosialis Jepang dibunuh dalam sebuah pidato pada tahun 1960 oleh seorang pemuda dengan pedang samurai. Beberapa politisi pasca perang terkemuka lainnya diserang tetapi tidak terluka.

Sebelum kematian Abe diumumkan, Perdana Menteri Fumio Kishida mengutuk penembakan tersebut, sementara rakyat Jepang dan para pemimpin dunia menyatakan keterkejutannya atas kekerasan di negara di mana kekerasan politik jarang terjadi dan senjata dikontrol dengan ketat.

Militeris tahun 1930-an di Jepang

Era militerisme tahun 1930 merupakan era yang bersifat sentralistik, nasionalis dan modern, yang dapat kemudian memicu perang Boshin dan perang Satsuma.

Kemenangan Jepang atas China pada 1895 dan Rusia pada 1905 membawa pemahaman yang bernama Fukoku Kyohei yang memiliki arti "Negeri Kaya, Militer Kuat".

Militerisme di Jepang berkembang menjadi dua era, yaitu Taisho dan Showa. Pada masa Taisho tahun 1923-an Jepang mulai melakukan penangkapan terhadap politisi, mengambil alih pemerintahan sampai mulai melakukan pembunuhan terhadap para menteri. Salah satu menteri yang menjadi korban yaitu Hara yang dibunuh oleh sekelompok anarkis di Jepang. 

Kekejaman yang dilakukan para militer tersebut dipengaruhi oleh perang dunia I, yang berdampak pada inflasi yang berujung dengan naiknya harga beras ditambah dengan gempa yang dialami oleh Jepang.

Militerisme Showa terjadi sebelum perang dunia II. Showa menggantikan ayahnya yaitu Taisho yang meninggal pada 1925. Sama seperti pada masa militerisme ayahnya, kepemimpinan Showa diwarnai dengan menguatnya pengaruh militer dan politikus yang telah mengambil alih pemerintahan setelah terjadinya gempa Konto. 

Sepanjang tahun 1930-1933, terjadi tiga kali kudeta atau pemberontakan terhadap pemerintah. Kudeta pertama menargetkan Hagucji Osachi, legislatif Jepang. Kudeta kedua menargetkan Menteri Keuangan Inouse Junnosuke karena dianggap gagal mengatasi kemiskinan dan depresi ekonomi pada 1929-1930. Kudeta ketiga dilakukan dengan membunuh Perdana Menteri Jepang, Inukai.

Pada 1936 kudeta terjadi lagi, yang dilakukan oleh sekelompok perwira dan tentara muda yang radikal. Mereka melakukan kudeta terhadap pemerintahan Keisuke Okada karena dianggap telah menipu kaisar Jepang dan telah melakukan korupsi.

Setelah insiden tersebut, pergerakan politik tidak menggunakan pendekatan bawah (kudeta kadet) melainkan mengambil alih dari para pemimpin atas. Sejak itu, Jepang di bawah dominasi pengaruh militer hingga akhirnya perang dunia II terjadi.