<p>Suasana perumahan cluster di kawasan Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu, 2 Januari 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Siap-Siap, Aliran Modal Asing Makin Deras ke Properti Residensial dan Kawasan Industri

  • UU Ciptaker membawa angin segar bagi industri properti. Omnibus Law ini akan memberikan kepastian dan keamanan investasi bagi Warga Negara Asing (WNA).

Industri

Laila Ramdhini

JAKARTA – Implementasi Undang-Undang Cipta Kerja diyakini bakal mengundang investasi asing ke sektor properti di Tanah Air. Hal ini diungkap oleh konsultan properti Knight Frank, lembaga hukum Makes and Partners, serta Asosiasi Real Estate Indonesia (REI).

Senior Research Advisor Knight Frank Indonesia Syarifah Syaukat menuturkan UU Ciptaker membawa angin segar bagi industri properti. Omnibus Law ini akan memberikan kepastian dan keamanan investasi bagi Warga Negara Asing (WNA).

Untuk diketahui, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat penanaman modal asing (PMA) ke sektor properti yang terdiri atas perumahan, kawasan industri, dan perkantoran menempati posisi keempat sepanjang 2020. Investasi di sektor tersebut mencapai US$2,19 miliar, atau sekitar Rp31,06 triliun. Angka tersebut untuk membiayai 1.588 proyek.

Salah satu poin penting dalam UU Ciptaker yakni kemudahan WNA untuk memiliki dan menempati hunian vertikal di Indonesia. Kepemilikan apartemen oleh WNA ini tercantum dalam Pasal 144 (1) UU Cipta Kerja.

Pasal itu berbunyi Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (Sarusun) dapat diberikan kepada WNA yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebelumnya, WNA hanya memiliki Hak Pakai (HP) atas Sarusun.

Dengan demikian, kata Syarifah, subsektor yang bakal kebanjiran modal asing yakni residensial dan kawasan industri.

“Residensial adalah sektor properti yang menarik untuk investor. Kemudian, jika dilihat perspektif yang lebih makro, maka kawasan industri menjadi sektor kedua yang menarik,” kata Syarifah, dalam Press Conference Jakarta Property Highlight, belum lama ini.

Dalam klausul UU Cipta Kerja tersebut dijelaskan WNA boleh memiliki hak milik sarusun di kawasan ekonomi khusus (KEK), kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, serta kawasan industri. Syarat selanjutnya yakni apartemen harus merupakan unit baru atau dibeli langsung dari developer.

Suasana bangunan apartemen di kawasan Jakarta Pusat. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Pembentukan Bank Tanah

Sementara itu, Partner di Makes & Partners Law Firm Fransisca mengungkapkan UU Cipta Kerja juga akan mendorong terbentuknya badan pemerintah yang mengatur bank tanah, yang saat ini masih dalam wacana.

Badan pemerintah ini nantinya bertugas untuk mengelola tanah negara yang diberikan hak pengelolaan lahan (HPL). Di atas HPL ini dapat diberikan hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai (HP).

Menurut Fransisca, terbentuknya bank tanah akan memberikan kepastian kepada swasta dalam pengelolaan properti yang hak atas tanahnya dimiliki negara.

“Menurut kami, ini memberikan dampak positif karena membuka kesempatan swasta buat terlibat dalam proyek properti dengan skema yang bakal diatur nantinya. Pihak swasta ini bisa badan hukum Indonesia, yang tidak tertutup kemungkinan ada investor asing,” kata dia.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia atau REI Paulus Totok Lusida mengatakan pengembang menaruh harapan yang besar pada UU Cipta Kerja.

“Melalui UU Cipta Kerja, diharapkan ada terobosan untuk kemudahan perizinan, termasuk penataan ruang yang ada. Sehingga reforma agraria bisa dijalankan dengan baik dan kita saling membangun untuk Indonesia yang lebih baik pada 2021,” ujar Totok.

Totok juga mengapresiasi Rancangan Peraturan Pelaksana (RPP) UU Nomor 11/2020 Kementerian ATR/BPN sebagai turunan UU Cipta Kerja.

“Pada RPP Penataan Ruang RDTR digital didesain compatible dengan Online Single Submission pada Bank Tanah menjamin ketersediaan tanah untuk pembangunan kawasan perumahan dan pemukiman,” katanya.

Menurutnya, manfaat bank tanah tidak hanya digunakan untuk kepentingan umum semata, namun juga kepentingan sosial seperti perumahan rakyat. Imbasnya biaya pembangunan rumah di perkotaan bisa menjadi lebih murah.

Harmonisasi Regulasi

Sementara, Fransisca menuturkan implementasi UU Cipta Kerja masih menghadapi beragam tantangan. Salah satunya yakni harmonisasi aturan yang ada hingga ke level daerah. Penyelarasan aturan ini masih menjadi pekerjaan rumah yang besar buat pemerintah.

“Kami harapkan pemerintah semaksimal mungkin menyelaraskan aturan agar lebih mudah,” ujar Fransisca.

Aturan soal properti yang ada dalam UU Ciptaker yang perlu memiliki sinkronisasi di antaranya adalah perubahan dari izin mendirikan bangunan (IMB) menjadi persetujuan bangunan Gedung (PBG). Lalu, ketentuan sertifikat laik fungsi (SLF) yang diterbitkan pemerintah daerah. (SKO)