<p>Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Hery Gunardi saat mencoba fasilitas serba digital di Kantor Cabang Bank Mandiri Menara Astra. / Facebook @bankmandiri</p>
Industri

Siap-siap! Bank di Indonesia Dilibas Fintech Pinjaman Online

  • Teknologi informasi telah mengakibatkan setidaknya 340 kantor perbankan di seluruh Indonesia menutup operasionalnya secara permanen dalam setahun terakhir. Jika perbankan tidak beradaptasi dengan teknologi, maka bakal dilibas oleh Fintech P2P Lending.

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Teknologi informasi telah mengakibatkan setidaknya 340 kantor perbankan di seluruh Indonesia menutup operasionalnya secara permanen dalam setahun terakhir.

Deputi Komisioner Institute dan Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sukarela Batunanggar menyebutkan, sebanyak 70%-80% transaksi perbankan, kini sudah dilakukan secara elektronik.

Dampaknya, banyak kantor cabang yang sudah ditutup. Berdasarkan data statistik yang dihimpun OJK, jumlah kantor bank di Indonesia sebanyak 5.955 per Juni 2020.

Angka ini menurun jauh dibandingkan periode yang sama tahun 2019 yang sebanyak 6.295 kantor. Selain itu, pembukaan automatic teller machine (ATM) juga menurun disebabkan beralihnya model transaksi dari para nasabah.

“Ke depan, perbankan harus melakukan perubahan model bisnis berbasis platform digital,” ujarnya di Jakarta, Selasa, 8 September 2020.

Hal ini dilakukan agar dapat bersaing dengan kehadiran financial technology atau fintech. Menurutnya, konsumen secara perlahan berpotensi meninggalkan jasa keuangan yang konvensional. Dengan berbasis platform, katanya, perolehan data juga penting karena merupakan kebutuhan dasar bagi industri dan regulator.

“Data penting untuk membuat analisis yang tepat, termasuk regulasi yang akan berubah ke depan,” tambah Sukarela.

Apabila bank tersebut gagal dalam melakukan transformasi, lanjutnya, kemungkinan bertahan hanya menjadi service provider bagi nasabahnya yang loyal.

Materi diskusi tampak dilayar komputer peserta pada Seminar Nasional Daring kerjasama KADIN Indonesia dan AFPI di Jakarta, Kamis, 3 September 2020. Seminar Nasional bertajuk “Peran Fintech Pendanaan Bersama Dalam Akselerasi Penyaluran Stimulus Program Pemulihan Ekonomi Nasional” diantaranya menghadirkan diskusi tantangan dan cerita sukses dari penerima manfaat fintech pendanaan bersama, kebijakan penyaluran stimulus pemulihan ekonomi nasional kepada UMKM yang terdampak pandemi Covid-19, serta pemanfaatan dan penggunaan platform fintech pendanaan bersama dalam mendukung akselerasi penyaluran stimulus pemulihan ekonomi nasional kepada UMKM secara cepat, transparan dan masif. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Antisipasi Fintech

Terpisah, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan juga mengimbau agar perbankan melakukan antisipasi terhadap perkembangan fintech.

Fintech ini kecil, tapi pertumbuhannya luar biasa,” kata Abdul kepada TrenAsia.com.

Menurut pantauan OJK, saat ini sudah terdapat 158 perusahaan fintech P2P di Indonesia. Jumlah perusahaan yang terdaftar ada 125, sebanyak 33 di antaranya sudah mengantongi izin. Dari keseluruhan perusahaan tersebut, 147 merupakan fintech berbasis konvensional, sedangkan 11 sisanya berbasis syariah. 

Sementara itu, akumulasi pertumbuhan kredit yang disalurkan oleh industri financial technology (fintech) mencapai Rp116,97 triliun per Juli 2020. Angka tersebut naik 134,91% secara tahunan (year-on-year/yoy) dibandingkan dengan akhir tahun 2019 sebesar Rp81,49 triliun. Rinciannya, senilai Rp100,32 triliun disalurkan di wilayah Jawa, sedangkan Rp16,65 triliun di luar Jawa.

Dengan demikian, bank dinilai harus semakin gesit memperbaiki sistemnya agar realisasi kredit dapat meningkat. Mekanisme pemberian kredit dalam fintech, misalnya, meskipun risikonya tinggi, tetapi Abdul mengatakan bahwa dana tersebut lebih mudah dicairkan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perbankan.

Pasalnya, populasi unbanked atau mereka yang tidak memiliki akses kredit perbankan di Indonesia mencapai lebih dari 60%. Artinya, terdapat kurang lebih 150 juta rakyat Indonesia yang menjadi sasaran kredit fintech.

“Itu yang tidak bisa dipenuhi oleh bank. Secara konvensional, bank harus mensyaratkan ada administrasi dengan prinsip 5C,” ungkapnya.

Prinsip 5C merupakan analisis yang dilakukan bank sebelum memberikan kredit, meliputi character, capacity atau capability, capital, collateral, dan condition. Hal itu yang dijadikan pijakan bagi perbankan untuk mengetahui dan mengenali calon nasabahnya.

Gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK). / Facebook @official.ojk

Sesuai Aturan

Meskipun demikian, lanjut Abdul, apabila bank berupaya membuat digitalisasi, produk tersebut harus sesuai dengan aturan. Jangan sampai pada saat migrasi ke bisnis baru, katanya, bank tersebut justru berubah haluan menjadi fintech. Selain itu, pengawasan dan regulasi dari OJK juga harus dipertimbangkan.

“Tetapi, apakah OJK sudah mengizinkan bank-bank bermigrasi ke fintech?” tutur Abdul.

Ia mengungkapkan, apabila porsi bisnis bank lebih besar, dikhawatirkan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) justru semakin melonjak.

Diketahui, per Juni 2020, NPL perbankan rata-rata sebesar 3,11%, naik dari bulan Mei yang sebesar 3% dan April 2,89%. Sementara itu, per Juli 2020 angka NPL gross yang merupakan gabungan kredit macet, kurang lancar, dan diragukan, mencapai 3,22% atau naik dibandingkan bulan sebelumnya 3,11%.

“Namun, bank harus tetap memperhatikan risk management. Ini tentang bagaimana bank bisa menerapkan kehati-hatian. Agar saat terjadi masalah, bisa diselesaikan dengan baik,” ungkap Abdul.

BCA milik konglomerat terkaya RI melalui anak usahanya, BCA Finance, resmi mengakuisisi PT Bank Rabobank International Indonesia dengan nilai Rp500 miliar. / Rabobank.co.id

Kepincut Pinjol

Sejumlah bank konvensional pun mulai melirik industri layanan pinjaman online dalam mengembangkan bisnisnya.

PT Bank Central Asia Tbk (BCA), misalnya, pertama kali menyuntikkan dana sebesar Rp50 miliar kepada anak usahanya, PT Central Capital Ventura (CCV). Dana tersebut diperuntukan guna mengembangkan financial technology. Beberapa bulan kemudian, perusahaan berkode emiten BBCA ini kembali menggelontorkan dana sebesar Rp200 miliar kepada CCV.

“BCA melihat hadirnya fintech ini berhasil membuka pintu baru bagi perkembangan bisnis perbankan di tanah air,” ujar Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA, Hera F Haryn saat berbincang dengan TrenAsia.com belum lama ini.

Ia menjelaskan, CCV merupakan perusahaan modal ventura yang memfokuskan pendanaan kepada perusahaan fintech dan perusahaan lain yang berbasis teknologi. CCV diharapakan dapat mendukung ekspansi bisnis fintech.

Tahun lalu, BCA juga resmi mengakuisisi PT Bank Royal Indonesia. Sesuai rencana, bank umum kegiatan usaha (BUKU) 2 ini disulap menjadi bank digital. Sejauh ini, diketahui Bank Royal telah mendapat siraman dana dari induknya Rp1 triliun lebih.

Pada awal tahun 2020, bank milik orang terkaya RI ini kembali menjalin kerja sama dengan fintech P2P lending yakni PT Mitrausaha Indonesia Grup atau Modalku. Ekspansi ini guna mendukung sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan memberikan kredit melalui Modalku.

Fintech P2P Lending Pinang milik BRI Agroniaga / Play.google.com

BRI Siapkan Rp1,5 Triliun

Sementara itu, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau Bank BRI juga mengakui ketertarikannya pada industri fintech. Agak berbeda dengan BCA, BRI justru berusaha mendirikan layanan digital dengan mengadopsi sistem P2P lending melalui Pinang. Layanan tersebut dikelola oleh anak perusahaan PT BRI Agroniaga Tbk alias BRI Agro.

Corporate Secretary Bank BRI, Aestika Oryza Gunarto mengungkapkan, pihaknya menyiapkan 3%-4% dari total revenue Bank BRI untuk melakukan transformasi digital. Di dalamnya, termasuk membangun kapabilitas fintech secara umum, dan secara khusus untuk fintech P2P lending.

“Kalau di BRI Ventures, kami menyiapkan dana sampai Rp1,5 triliun saat ini untuk melakukan investasi ke fintech,” jelasnya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon.

Aestika berharap pada tahun 2022 mendatang, mayoritas transaksi BRI bisa bergeser ke digital dari konvensional. Tanda-tanda ini, katanya, mulai terlihat sejak pandemi saat terjadi percepatan transaksi digital.

“Sebagai contoh, Periode Januari hingga Maret 2020, tercatat transaksi internet banking meningkat 215 persen, dan transaksi e-commerce meningkat 106 persen,” tegasnya. (SKO)