<p>Ilustrasi pertambangan batu bara. / Pixabay</p>
Industri

Sinyal Ekonomi Pulih, Permintaan Minyak dan Batu Bara Diprediksi Moncer

  • Sinyal ekonomi pulih, permintaan atau konsumsi minyak dan batu bara pada tahun 2022 akan meningkat dan menyamai level sebelum pandemi COVID-19.
Industri
Daniel Deha

Daniel Deha

Author

JAKARTA -- Optimisme Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa pandemi COVID-19 akan berakhir di tahun ini telah mendorong banyak negara melakukan pelonggaran kebijakan sehingga memberikan peluang meningkatnya konsumsi, termasuk di sektor energi.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019 Arcandra Tahar mengatakan konsumsi energi pada tahun 2022 akan menyamai level sebelum pandemi COVID-19. Meningkatnya aktivitas ekonomi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang negatif selama dua tahun masa pandemi menjadi pendorong laju konsumsi energi di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.

"Faktor pandemi seperti penanganan terhadap varian baru COVID-19 Omicron masih akan mempengaruhi konsumsi energi dunia. Harga komoditas energi seperti minyak bumi dan batu bara masih akan tinggi karena demand yang meningkat," ujar Arcandra dalam PGN Energy Economic Outlook 2022 di Jakarta, Rabu, 12 Januari 2022.

Lima Faktor

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019 Arcandra Tahar dan Deputi Gubenur Senior Bank Indonesia periode 2014-2019 Mirza Adityaswara dalam acara PGN Energy Economic Outlook 2022 yang dimoderatori Aviani Malik, Rabu, 12 Januari 2022. / Tangkapan layar

Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) ini menjelaskan, berdasarkan pengalaman dan kajian data selama tahun 2021, terdapat sekira lima faktor penting yang akan mempengaruhi tingkat konsumsi di sektor energi global pada tahun 2022.

Pertama, kebutuhan dunia terhadap minyak akan tetap tumbuh hingga sekitar 100 juta barrel per day (BPD). Komsumsi minya dunia sebesar itu setara dengan kondisi sebelum pandemi. Dengan permintaan yang meningkat dan OPEC+ tidak menaikkan produksi minyak, maka harga minyak Brent diperkirakan berada pada level US$65-US$80 per barel.

"Harga kemungkinan besar akan tetap tinggi di atas US$70 per barel. Salah satunya karena PLTU-PLTU baru yang masuk ke market China banyak sekali," terang Arcandra.

Dia menandaskan, ada beberapa catatan penting yang dapat mempengaruhi tingkat harga minyak tahun ini. Salah satunya adalah pengendailan varian Omicron atau varian lain yang dapat memicu pandemi berlangsung lebih lama.

Menurut dia, jika pandemi tidak terkontrol maka harga minyak kemungkinan akan bisa turun pada level di bawah level US$50-US$65 per barel.

Faktor kedua, menurut dia, adalah China dan India yang mengkonsumsi 65% dari produksi batu bara dunia akan tetap mengandalkan PLTU sebagai sumber energi murah mereka. 

Kebutuhan China terhadap batu bara akan tetap tumbuh dengan tambahan PLTU sebesar 35 GW di tahun 2020. Sebagai negara dengan cadangan batu bara keempat terbesar di dunia, China mampu untuk memenuhi kebutuhan batu bara mereka.

Namun, pengetatan aturan safety & environment membuat peningkatan produksi batu bara China belum mampu mengimbangi laju pertumbuhan PLTU di dalam negerinya.

Permintaan di China dan India yang tinggi, ditambah dengan ketidakmampuan negara produser seperti Indonesia, Rusia dan Australia, untuk menaikan produksi, akan menjadikan harga batu bara tetap tinggi pada tahun 2022.

Catatan penting yang akan mempengaruhi harga batu bara ini adalah bagaimana hubungan dagang antara China dan Australia yang belum membaik sampai saat ini.

Apakah akan kembali seperti sebelum COVID-19 atau menjadi lebih buruk dengan adanya pakta pertahanan (AUKUS) antara Australia, Inggris dan Amerika Serikat (AS). Jika hubungan membaik, maka harga batu bara kemungkinan bisa kembali ke level normal.

"Ini akan mempengaruhi hubungan dagang China-Australia dalam menormalisasi hubungan mereka," kata Arcandra.

Dia melanjutkan, faktor ketiga adalah kebutuhan dunia terhadap kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) akan terus meningkat, tetapi tidak seperti yang diharapkan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut di antaranya adalah subsidi dan insentif yang diberikan oleh beberapa negara untuk meningkatan jumlah pengguna EV sudah mulai berkurang. Perang insentif antar negara producer EV dalam rangka melindungi industri dalam negeri masing masing negara juga akan berdampak pada pertumbuhan EV.

"(Sementara) dukungan pemerintah melalui insentif dan kredit (terhadap EV) akan berakhir tahun ini," papar Arcandra.

Dia menambahkan, faktor lainnya adalah perusahaan minyak dari AS seperti Chevron, ExxonMobil dan ConocoPhillips akan fokus untuk berinvestasi di dalam negeri mereka, terutama di shale oil dan gas. Aset-aset mereka yang di luar AS akan dikonsolidasikan, sehingga beberapa aset migas di luar negeri akan dan sedang ditawarkan untuk dijual.

Salah satu alasan mereka fokus ke dalam negeri AS adalah strategi untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi rendah karbon akan lebih mudah dilakukan di AS. Proses bisnis dan regulasi yang jelas di AS menjadi pertimbangan dalam konsolidasi aset ini.

Arcandra mengatakan, faktor kelima yaitu potensi energi baru terbarukan (EBT) akan tetap tumbuh seiring dengan penerapan pajak karbon atau perdagangan karbon.

Beberapa negara akan mulai membuat aturan tentang pajak karbon, termasuk Indonesia yang dimulai April 2022, dan ada kemungkinan pajak karbon atau harga karbon yang di perdagangkan pada tahun 2022 akan terus meningkat.

Salah satu catatan penting dari pajak karbon adalah mahalnya harga komoditi yang terkena pajak sehingga akan berakibat kepada inflasi.

Namun yang menjadi catatan dari pengembangan EBT adalah biaya investasi yang sangat besar dibandingkan energi fosil seperti batu bara. Karena itu, persiapan atau transisi menuju energi terbarukan yang diharapkan bisa segera dilakukan melalui inovasi dan penggunaan teknologi tinggi.

Menurut dia, rencana untuk mengakhiri operasi beberapa PLTU lebih cepat di tahun 2022 kemungkinan tidak secerah yang ditargetkan.

Krisis energi yang terjadi di Eropa pada tahun 2021 dan masih tingginya harga energi terbarukan akan mendorong pada pelaku bisnis untuk mengkaji kembali rencana mempensiunkan PLTU mulai tahun 2026.

Dalam proses transisi ini, pemerintah perlu mempersiapkan industri baterai yang sewaktu-waktu bisa difungsikan ketika terjadi kelangkaan energi akibat EBT tidak dapat beroperasi.

"Di tengah tekanan dan tuntutan terhadap green energy, gas bumi sebagai energi bersih akan memegang peranan penting sebagai energi transisi. Disinilah PGN dapat mengoptimalkan peluang itu, baik di domestik maupun global,” pungkas Arcandra.

Ekonomi Membaik Tapi Waspada Inflasi

Waspada inflasi. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Dalam acara tersebut, Deputi Gubenur Senior Bank Indonesia periode 2014-2019 Mirza Adityaswara juga menyampaikan keyakinannya bahwa perekonomian Indonesia pada tahun ini akan membaik seiring tren penurunan COVID-19 yang sudah mulai terlihat sejak tahun lalu.

“Saya optimis ekonomi dunia dan Indonesia saat ini menuju ke normalisasi. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, menuju ke arah akselerasi ke arah normal. Pada tahun 2020 waktu pertumbuhan negatif itu tidak normal, tahun 2021 kita sudah recovery awal dan tahun 2022 recovery lebih baik," ujar Mirza.

Direktur Utama Pembaga Pengembangan Perbankan Indonesia ini menambahkan, dalam masa pemulihan ini hampir semua negara di dunia akan melakukan penyesuaian kebijakan. Sebagai contoh terkait suku bunga. Ketika masa pandemi, di tengah tren inflasi yang tinggi dan risiko perbankan mengalami kenaikan kredit bermasalah, bank sentral (Bank Indonesia) melakukan kebijakan suku bunga rendah.

Dia mengatakan, dalam proses menuju kondisi normal akan banyak penyesuaian kebijakan. Suku bunga akan naik secara bertahap, insentif pemerintah berkurang dan sektor swasta mengambil peran lebih besar dalam perekonomian.

"Konsumsi energi yang meningkat juga perlu menjadi perhatian mengingat impor energi kita, khususnya minyak masih sangat besar dan berdampak terhadap devisa. Kehadiran energi yang efisien dan bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor akan menjadi sangat penting bagi ketahanan ekonomi nasional," ungkapnya.

Namun dia mewaspadai terjadinya kenaikan inflasi yang sudah mulai berkedip sejak akhir tahun lalu ketika harga pangan melonjak.

Namun dia memperkirakan inflasi Indonesia tahun ini berada di kisaran 3%, lebih tinggi dari inflasi tahun 2021 sebesar 1,87%, meningkat dari inflasi tahun 2020 sebesar 1,68%.

"Sekarang inflasi domestik akan mulai naik. Namun inflasi yang tinggi akan membuat daya beli masyarakat turun sehingga harga diturunkan," pungkas Mirza.

Dia menegaskan, memang saat ini Indonesia sedang ketiban durian runtuh akibat booming harga komoditas di pasar global. Harga batu bara, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), nikel, tembaga, timah, dan bahan tambang lainnya naik sepanjang tahun 2021 lalu.

Namun dia berharap agar pemerintah perlu melakukan diversifikasi sumber pendapatan dan energi agar negara tidak perlu terus bergantung pada surplus perdagangan karena tingginya ekspor migas dan hasil tambang.

"Mau tidak mau kita harus diversifiaksi kemudian mengurangi penggunaan minyak kita, kemudian beralih ke renewable," ungkapnya.