Pemandangan lokasi penambangan nikel Vale di Sorowako, provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia (Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana)
Energi

Sisi Lain Hilirisasi: Nilai Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan

  • Studi Center of Economic and Law Studies (Celios) dan Research on Energy and Clean Air (CREA) menemukan bahwa hilirisasi nikel justru memiliki ragam dampak yang tak bisa diremehkan
Energi
Debrinata Rizky

Debrinata Rizky

Author

JAKARTA - Studi Center of Economic and Law Studies (Celios) dan Research on Energy and Clean Air (CREA) menemukan bahwa hilirisasi nikel justru memiliki ragam dampak yang tak bisa diremehkan.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut, akan ada dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat dan kerusakan lingkungan. Bahkan hanya bertahan di lima tahun pertama.

Berdasarkan hasil studi bertajuk "Membongkar Mitos Nilai Tambah dalam Industri Hilir Nikel" yang mengkaji dampak industri terhadap ekonomi, ekologi, dan kesehatan masyarakat, dengan fokus pada tiga lokasi teratas untuk operasi peleburan nikel, yaitu Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.

"Secara garis besar, aktivitas ekonomi di sekitar smelter nikel hanya tumbuh pesat di awal tahun hadirnya smelter karena ada di fase konstruksi dan itu membutuhkan banyak pekerja. Namun setelahnya akan merosot bahkan minus dampak ekonomi," jelas Bhima di Jakarta, 20 Februari 2024.

Menurut Bhima, jalur pertumbuhan industri nikel saat ini di ketiga wilayah tersebut diperkirakan menyumbang US$4 miliar atau Rp62,8 triliun pada tahun kelima pembangunannya. Namun setelah itu, dampak negatif industri terhadap ekologi lokal mulai mempengaruhi total output perekonomian, dan menjadi lebih drastis merosot setelah tahun kedelapan.

Sisi Lingkungan

Berdasarkan temuannya beberapa kerusakan lingkungan telah ditemukan. Hal ini sejak kunjungan tim ke lapangan di tahun 2018 di mana ditemukan penurunan kualitas udara, air, dan tanah. Tentunya hal ini juga berimbas pada, pendapatan petani dan nelayan di sekitar industri nikel pun menurun. Penurunan pendapatan tersebut diperkirakan selama 15 tahun ke depan hingga sekitar US$234,8 juta atau Rp3,64 triliun.

Berkaca hal tersebut, Bhima tegas membantah jika adanya proyek industri nikel akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja dan kenaikan upah. Justru faktanya, dari penelitian penyerapan kerja baru terjadi di tiga tahun pertama pembangunan dan kemudian berangsur turun hingga tahun kelima belas.

Hal ini bertambah parah jika masih beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga batu bara Captive yang melekat pada kawasan industri, khususnya yang bergerak dalam industri smelter nikel.

Sisi Ekonomi

Bhima tak menampik, dampak larangan ekspor biji nikel dalam hilirisasi membuat lompatan nilai ekspor hingga 7,5 kali lipat. Dalam datanya disebutkan, hilirisasi nikel meningkatkan nilai ekspor nikel dari US$4 miliar atau Rp62,8 triliun pada 2017, menjadi US$34 miliar setara dengan Rp532 triliun pada 2022. Terjadi kenaikan sebesar 750%.

Maka disimpulkan sejumlah rekomendasi yang sebaiknya dilakukan pemerintah, yaitu membuat kebijakan untuk memberdayakan pabrik peleburan nikel dengan energi ramah lingkungan dibandingkan dengan tenaga batu bara. Kemudian memperkuat standar pengungkapan emisi dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pembayaran royalti.