Proses ekskavasi Situs Liyangan Temanggung
Gaya Hidup

Situs Liyangan Peninggalan Mataram Kuno Bakal jadi Cagar Budaya Nasional, Begini Sejarahnya

  • Situs Liyangan Temanggung yang merupakan salah satu bagian dari Kerajaan Mataram Kuno tengah disiapkan jadi warisan Cagar Budaya Nasional.

Gaya Hidup

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTA – Tim Ahli Cagar Budaya Nasional tengah menyiapkan Situs Liyangan yang berada di lereng Gunung Sindoro, Desa Purbosari, Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah sebagai warisan cagar budaya nasional. 

Arkeolog Tim Ahli Cagar Budaya Nasional Junus Satrio Atmodjo mengatakan Situs Liyangan Temanggung terletak di ketinggian antara 700-1200 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu memiliki nilai historis yang sangat bermanfaat untuk dipelajari. 

"Kami diberi tugas khusus untuk menyiapkan situs (Liyangan) ini menjadi level nasional. Walaupun adanya di Kabupaten Temanggung, tetapi karena memiliki nilai penting kita cenderung untuk mengangkat menjadi nasional," ujar Satrio dikutip TrenAsia.com dari Antara, Minggu 6 Agustus 2023.

Alumnus Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu kemudian memberikan contoh sederhana pembagunan Situs Liyangan itu hanya disusun dengan teras batu saja, namun sangat presisi. Selain itu, pada kawasan tersebut ditemukan candi Agama Hindu yang diduga sebagai pemujaan Dewa Syiwa.  

"Jadi kita ingin mengetahui sebetulnya apa yang menyebabkan daerah ini dipilih sebagai daerah suci atau keagamaan itu sampai orang di abad VII-IX membangun kompleks ini, tentu mereka punya alasan yang kuat dikaitkan dengan sistem kepercayaan waktu itu, terutama agama Hindu yang sifatnya adalah pada pemujaan Dewa Syiwa," jelasnya.

Dugaan Situs Liyangan sebagai bangunan suci Agama Hindu semakin dikuatkan dengan temuan lingga, yoni dan ada arca nandi kecil. Tapi, benda purbakala tersebut ditemukan dalam kondisi rusak. 

"Di balik itu semua kita bicara peradaban orang Jawa yang selalu digambarkan dengan Borobudur dan Prambanan di daerah dataran rendah yang kaya dengan padi dan segala macam di daerah subur, orangnya banyak bisa membuat bangunan-bangunan besar," terangnya.

Selain itu, dalam kawasan Situs Liyangan adalah kawasan padat penduduk dan juga ditemukan barang pecah belah yang dibawa oleh para suadagar China dan Timur Tengah. Berdasarkan kajian arkeologis barang tersebut rata-rata berasal dari abad ke 8-9 masehi. 

"Dari temuan-temuan yang diperoleh sejauh ini menunjukkan ada hubungan yang kuat dengan China, ada keramik-keramik rata-rata abad VIII-IX, tetapi di antara barang-barang dari China juga ditemukan pecahan-pecahan kaca yang datangnya dari Timur Tengah," katanya.

Hal tersebut menandakan pesatnya peradaban masyarakat Jawa masa itu. Pasalnya Situs Liyangan yang notabene berada di pegunungan mampu bertemu dengan penduduk luar melalui perdangangan maritim.

"Hal ini menarik untuk kajian arkeologi dan sejarah, bagaimana dulu ada keterhubungan antara peradaban pantai, peradaban dataran rendah dengan pegunungan," katanya.

Saat ini, Tim Ahli Cagar Budaya Nasional di sini mengecek batas-batas dari daerah wilayah Situs Liyangan yang akan diusulkan sebagai cagar budaya nasional. Untuk pengukurannya, pihaknya menggunakan batas jalan, batas pemilikan lahan, batas sungai, dan batas administrasi sebagai pertimbangan, tetapi juga batas-batas arkeologi.

Petilasan Mataram Kuno

Melansir laman Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, setelah terkubur ratusan tahun, Situs Liyangan Temanggung pertama kali ditemukan kembali pada 2008 oleh penduduk setempat yang sedang menambang pasir di lereng Gunung Sindoro.

Situs Liyangan merupakan salah satu bagian sejarah Mataram Kuno periode 732-924 masehi. Kawasan memiliki zona inti sebesar luas 8,12 hektar dan zona penunjang sekitar 18 hektar. Luas wilayah tersebut digunakan sebagai permukiman penduduk padat yang terdiri hunian tinggal, tempat peribadatan, dan area pertanian.

Dugaan kuat Situs Liyangan bagian dari sejarah Mataram Kuno karena ditemukan dua bukti peninggalan penguasa kerajaan tersebut yakni Rakai Watukura Dyah Balitung dan Rakai Layang Dyah Tlodhong.

Prasasti Rukam yang berangka tahun 907 masehi merupakan peninggalan Rakai Watukura Dyah Balitung. Disebutkan dalam prasasti ada sebuah desa Rukam yang termasuk wilayah kutanagara atau negeri ageng, hancur oleh letusan gunung. 

Hal itu kemudian dikaitkan dampak letusan abu vulkanis Gunung Sindoro yang menutupi area situs tersebut. Akan tetapi, dugaan ini masih harus dibuktikan lebih lanjut, mengingat terdapat kesamaan dengan letusan Gunung Merapi yang menutupi Candi Prambanan . 

Rakai Layang Dyah Tlodhong dikaitkan dengan Situs Liyangan karena sebutan gelarnya yaitu raka I (penguasa) layang (nama daerah). Ada kemungkinan Daksa mengangkat Tlodhong sebagai putra mahkota setelah mengalahkan Dyah Balitung pada 908 masehi. Waktu itu Tlodhong juga menjadi penguasa daerah Layang yang mungkin juga lebih dikenal sebagai daerah layangan. 

Berdasarkan kajian linguistik kata layangan dan liyangan sangat dekat. Ini menjadi pertimbangan bahwa Liyangan adalah layang, daerah yang menjadi tempat asal Dyah Tlodhong. Diketahui Tlodhong pernah jadi penguasa daerah Layang yang mungkin juga lebih dikenal sebagai daerah layangan.

Jika benar, maka Situs Liyangan merupakan daerah Watak yang salah satu penguasanya Dyah Tlodhong, salah satu raja Mataram Kuno yang menggantikan Pu Daksa, setidaknya pada periode 919 masehi hingga 928 masehi.