<p>Ilustrasi rumah murah bersubsidi dalam program Tapera. / Facebook @ppdpp.pupr</p>
Nasional

Skandal Jiwasraya, Asabri, dan Taspen Hantui Program Tapera

  • Kerugian atas kasus korupsi di pengelolaan dana masyarakat telah mencapai Rp30 triliun, dan bahkan hingga saat ini ada nasabah dari lembaga pengelola investasi yang belum mendapatkan haknya.

Nasional

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Direktur Eksekutif Bhima Yudhistira dan Direktur Ekonomi dari Nailul Huda dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memandang bahwa kasus-kasus korupsi yang berhubungan dengan pengelolaan dana publik oleh pemerintah menjadi suatu trauma yang menghantui kepercayaan masyarakat terhadap program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Bhima dan Nailul pun memberikan contoh seperti kasus PT Asuransi Jiwasraya, PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), hingga PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen). 

Mereka berdua menyampaikan bahwa kerugian atas kasus korupsi di pengelolaan dana masyarakat telah mencapai Rp30 triliun, dan bahkan hingga saat ini ada nasabah dari lembaga pengelola investasi yang belum mendapatkan haknya. 

Dengan demikian, wajar saja jika program Tapera ini pun langsung memicu ketidakpercayaan dari publik karena kasus-kasus yang sudah terjadi di masa lampau. 

“Maka wajar, publik bertanya terkait dengan transparansi pengelolaan dana Tapera. Selain itu berbagai kasus di pemerintahan seperti skandal transaksi mencurigakan Rp349 triliun di Kementerian Keuangan mengguncang sendi kepercayaan masyarakat. Ada trust issue yang lebih besar dari Tapera terhadap pengelola Negara,” ujar Bhima dan Nailul melalui riset yang diterima TrenAsia, dikutip Selasa, 4 Juni 2024. 

Kebijakan yang Kontroversial

Bhima dan Nailul menganggap kebijakan ini sebagai suatu kontroversi karena memberatkan pekerja yang diwajibkan menjadi peserta program Tapera dengan iuran yang cukup besar, yakni 2,5% dari gaji untuk pekerja dengan pendapatan di atas Upah Minimum Regional (UMR). 

Selain itu, dunia usaha juga merasa terbebani dengan tambahan iuran sebesar 0,5% dari gaji pekerja.

“Lantas, kebijakan Tapera ditengah tekanan kelas menengah dan dunia usaha untuk mendukung siapa? Siapa aktor ekonomi yang diuntungkan dalam kebijakan ini?” ujar Nailul dan Bhima.

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang merupakan perubahan atas   PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, program Tapera diperluas cakupannya sehingga tidak hanya menyasar PNS, tetapi juga pegawai swasta dan pekerja mandiri. Alasan utama dari perluasan ini adalah tingginya backlog perumahan di Indonesia. Pada tahun 2023, backlog perumahan tercatat sebesar 9,9 juta unit, menurun dari 13,5 juta unit pada tahun 2010.

Baca Juga: Membedah Program Tapera dan Dampaknya: Siapa yang Diuntungkan?

Nailul dan Bhima berpendapat, penurunan backlog perumahan ini menunjukkan adanya perbaikan dalam ketersediaan perumahan di Indonesia. 

Namun, perbaikan ini tidak cukup signifikan untuk mengatasi masalah keterjangkauan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. 

Kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan gaji rata-rata menjadi salah satu penghambat utama. 

Pada tahun 2023, kenaikan gaji rata-rata adalah 1,8%, sedangkan kenaikan harga rumah mencapai 1,96%, bahkan lebih tinggi untuk kategori rumah kecil dan menengah.

Menurut Bhima dan Nailul, kebijakan iuran wajib Tapera diperkirakan akan menurunkan pendapatan disposibel masyarakat, yang pada gilirannya mengurangi konsumsi rumah tangga. 

Dampak Ekonomi

Dengan menggunakan pendekatan Input-Output Nasional 185 sektor, dampak kebijakan Tapera terhadap ekonomi dapat diukur. 

Asumsi yang digunakan adalah gaji rata-rata Rp3,04 juta per bulan, dengan hanya 50% pekerja formal yang terdaftar sebagai peserta Tapera, serta alokasi dana Tapera 60% untuk sektor perumahan dan 40% untuk investasi.

Hasil penghitungan menunjukkan bahwa kebijakan Tapera menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp1,21 triliun. 

Surplus bisnis juga mengalami penurunan sebesar Rp1,03 triliun, mengindikasikan bahwa profitabilitas dunia usaha menurun. 

Pendapatan pekerja turut terdampak dengan risiko penurunan sebesar Rp200 miliar, yang berarti daya beli masyarakat akan berkurang. Efek paling signifikan terlihat pada pengurangan tenaga kerja, di mana kebijakan Tapera menyebabkan hilangnya 466,83 ribu pekerjaan. 

Meskipun ada sedikit peningkatan dalam penerimaan negara bersih sebesar Rp20 miliar, jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan kerugian ekonomi di sektor lain.