Ilustrasi transisi energi (bahadur.id)
Industri

Skema Pinjaman Asing Rintangi Pensiun Dini PLTU

  • Diskusi tentang pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) kemungkinan mengalami hambatan. Ini setelah Indonesia menyebut negara-negara barat belum siap mendanai proyek kemitraan terkait hal itu.
Industri
Distika Safara Setianda

Distika Safara Setianda

Author

JAKARTA - Diskusi tentang pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) kemungkinan mengalami hambatan. Ini setelah Indonesia menyebut negara-negara barat belum siap mendanai proyek kemitraan terkait hal itu. 

JETP memakai skema pembiayaan yang terdiri dari investasi ekuitas, hibah, dan pinjaman konsesi dari anggota Grup Tujuh (G7), bank multilateral, dan pemberi pinjaman swasta. Program ini bertujuan membantu negara-negara berkembang mempercepat peralihan mereka ke sumber energi yang lebih bersih di sektor energi listrik.

Selain itu, JETP mendorong mengurangi ketergantungan pada bahan bakar kotor seperti batu bara. Afrika Selatan menjadi negara pertama yang mencapai kesepakatan di bawah JETP, mendapatkan komitmen pendanaan sebesar US$8.5 miliar pada tahun 2021. Sementara itu, Indonesia mendapatkan US$20 miliar dan Vietnam sebesar $15.5 miliar dalam perjanjian yang dicapai pada akhir tahun 2022.

Indonesia sebenarnya berencana mengumumkan rencana investasinya untuk dana yang dijanjikan dalam JETP pada bulan Agustus. Namun sejak saat itu mereka menunda pengumuman tersebut hingga akhir tahun ini.

Menurut Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani, pembicaraan dengan mitra internasional menjadi lebih rumit karena biaya pinjaman yang semakin meningkat. Seorang anggota kelompok kerja teknis yang ditugaskan menyusun rencana tersebut mengatakan Sekretariat JETP Indonesia harus memperhitungkan tambahan kapasitas batubara dalam perhitungannya. 

Ini termasuk pembangkit listrik yang dibangun oleh perusahaan industri seperti pabrik peleburan nikel untuk konsumsi mereka sendiri. Dalam kerangka JETP, Indonesia berkomitmen membatasi dan mencapai puncak emisi karbon sektor energi listrik pada 290 juta metrik ton pada tahun 2030. 

Puncak pada tahun 2030 ini akan berada pada tingkat 25% lebih rendah dibandingkan dengan puncak yang sebelumnya diprediksi akan terjadi pada tahun 2037. Rencana ini akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 300 juta metrik ton hingga tahun 2030 dan mengurangi lebih dari 2 miliar ton hingga tahun 2060.

Bagaimana rencana Indonesia untuk menggunakan dana JETP? Sedikit yang terungkap tentang proyek JETP. Namun pejabat senior pemerintah Indonesia berharap JETP akan membantu membiayai rencana PLN untuk meningkatkan jaringan listriknya guna menghubungkan lebih banyak daya terbarukan ke jaringannya.

PLN berencana menambah kapasitas daya terbarukan beban dasar sebesar 32 gigawatt (GW) dan mengupgrade jaringannya untuk meningkatkan beban variabelnya dari energi terbarukan menjadi 28 GW dari 5 GW saat ini. Kapasitas tambahan dan jaringan baru akan membutuhkan investasi hingga US$172 miliar hingga tahun 2040.

Indonesia juga ingin JETP mendanai pensiun dini beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun beberapa bank enggan mendanai pensiun dini ini karena takut dianggap mendanai proyek-proyek batu bara. Lalu, apa aturan Indonesia untuk pembiayaan ramah lingkungan?

Indonesia sedang merevisi taksonomi hijaunya untuk menyelaraskan dengan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang telah memasukkan penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara dalam taksonomi hijaunya yang mendefinisikan investasi ramah lingkungan.

Indonesia juga mempertimbangkan memperluas label hijau menjadi pinjaman untuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang digunakan oleh industri yang membuat produk dianggap berkelanjutan, seperti baterai untuk kendaraan listrik (EV).