<p>Proses pemurnian emas di smelter PT Aneka Tambang (Persero) Tbk alias Antam / Facebook @OfficialAntam</p>
Industri

Smelter Tembaga Freeport: Mimpi Hilirisasi Jokowi tapi Jauh Panggang dari Api

  • Pada tahun lalu, tambang Grasberg milik Freeport di Papua hanya memproduksi sekitar 367.000 ribu ton konsentrat tembaga. Jumlah ini jauh dari kapasitas smelter di Gresik yang sebesar 1,7 juta ton.

Industri

Reza Pahlevi

JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja melakukan groundbreaking pabrik peleburan dan pemurnian (smelter) milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik, Jawa Timur. Jokowi mengatakan, ini merupakan upaya Indonesia memperkuat hilirisasi industri pertambangan dalam negeri.

Smelter adalah bagian dari proses sebuah produksi, mineral yang ditambang dari alam umumnya masih tercampur dengan kotoran atau material bawaan yang tak diinginkan. Material bawaan inilah yang perlu dibersihkan, selain itu juga harus dimurnikan dengan smelter.

“Negara kita, Indonesia, memiliki cadangan tembaga yang sangat besar. Sangat besar. Masuk dalam kategori tujuh negara yang memiliki cadangan tembaga terbesar di dunia. Ini yang banyak (dari) kita enggak tahu,” ujarnya ketika groundbreaking, Selasa, 12 Oktober 2021.

Menurut Jokowi, smelter tembaga milik Freeport ini mampu mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun. Ini juga membuat smelter tersebut menjadi pabrik pemurnian berdesain single line terbesar di dunia.

“Bisa bayangkan, 1,7 juta ton itu kalau dinaikkan (ke) truk yang kecil itu, itu biasanya bisa mengangkut 3 sampai 4 ton, nanti berapa truk yang akan berjejer di sini. Kalau 3 ton, isinya 3 ton satu truk kecil itu, berarti (akan) ada (sekitar) 600.000 truk berjejer di sini,” cerita Jokowi.

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan dengan kapasitas 1,7 juta ton konsentrat tembaga itu, Indonesia akan memproduksi 600.000 ton tembaga murni batangan. Airlangga memproyeksikan Indonesia dapat mendulang US$5,4 miliar atau setara Rp76,15 triliun per tahun dari produksi itu.

“Nilai copper (tembaga murni) sekarang lagi supercycle, US$9.400 per ton. Jadi investasi Rp42 triliun atau US$3,5 miliar, revenue dari copper saja itu US$5,4 miliar,” kata Airlangga.

Produksi Tembaga Jauh Panggang dari Api

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat melakukan groundbreaking smelter tambang tembaga milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik, Jawa Timur. Foto: BPMI Setpres/Lukas

Di atas kertas, perhitungan Airlangga tersebut memang memungkinkan. Namun, faktanya tidak semudah itu. Masalah terbesar saat ini ada pada produksi konsentrat tembaga oleh Freeport sendiri.

Pada tahun lalu, tambang Grasberg milik Freeport di Papua berhasil memproduksi 809 juta pon konsentrat tembaga. Jika dikonversikan ke ton, jumlah produksi ini hanya sekitar 367.000 ton. Jumlah tersebut jauh dari kapasitas smelter tembaga Freeport sebesar 1,7 juta ton.

Menurut Freeport-McMoran sebagai pemilik 49% saham PTFI, produksi konsentrat tembaga memang ditargetkan dapat meningkat 73% menjadi 1,4 miliar pon atau sekitar 635.000 ton. Sayangnya, ini pun masih belum setengah dari kapasitas smelter baru tersebut.

Hingga semester I-2021, produksi konsentrat tembaga PTFI mencapai 606 juta pon atau sekitar 275.000 ton. Jumlah ini meningkat 88,78% (yoy) dari sebelumnya 321 juta pon. Jika dilihat dari sini, Freeport memiliki kemungkinan untuk memenuhi targetnya tahun ini.

Pengamat energi sekaligus mantan Anggota Komisi VII DPR RI 2014-2019, Kurtubi mengatakan gap antara kapasitas produksi tambang dan kapasitas pengolahan smelter ini sesuatu yang aneh.

“Mungkin dia berharap dari tambang lain yang masuk ke situ (smelter), tapi ini menjadi aneh dan lucu. Mestinya yang 1,7 juta ton itu ya 100 persen dari tambang Freeport dong,” katanya kepada reporter TrenAsia.com, Senin, 18 Oktober 2021.

Executive Director ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, memang besar kemungkinan smelter tembaga ini tidak hanya dipakai untuk tembaga produksi Freeport saja. Apalagi, kini Freeport tergabung dalam holding BUMN tambang Mining Industry Indonesia (MIND ID).

“Sebagai anggota MIND ID, ada kemungkinan juga dari tambang lain. Selain itu, Freeport juga dalam proses meningkatkan produksinya lewat pertambangan bawah tanah mereka,” ujar Komaidi.

Freeport saat ini memang mulai meningkatkan kapasitas tambang bawah tanah Grasberg Block Cave dan blok Deep Mill Level Zone (DMLZ) yang sedang dikembangkan. Alasan ini pula yang membuat mereka meningkatkan target produksinya tahun ini.

Bila proyek pertambangan bawah tanah ini tuntas, Freeport diperkirakan akan memproduksi 1,55 miliar pon tembaga atau sekitar 703.000 ton. Sayangnya, kapasitas produksi yang meningkat ini masih jauh dari kapasitas pengolahan smelter.

Proyeksi Suplai Tambang Lain

Area tambang terbuka atau open pit Grasberg di Timika, Papua, milik PT Freeport Indonesia. / Foto: Paul Q. Warren-Columbia.edu

Sebenarnya, selain tambang Grasberg, masih ada tambang tembaga lain seperti Batu Hijau milik Newmont atau Tujuh Bukit milik Merdeka Copper. Proyek Tujuh Bukit sedang dikerjakan oleh PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) milik konglomerat Edwin Soeryadjaya dan Garibaldi “Boy” Thohir.

Sementara itu, kemungkinan tambang Batu Hijau menyuplai konsentrat ke smelter Freeport kecil. Ini karena PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) sebagai pemilik tambang sedang dalam proses membangun smelter mereka sendiri.

Beberapa waktu lalu, Presiden Direktur AMNT Rachmat Makkasau mengatakan smelter tersebut akan memiliki kapasitas pengolahan konsentrat tembaga sebesar 900.000 ton per tahun. Kapasitas ini turun dari proyeksi awal yang dikatakan mencapai 1,3 juta ton.

“Kapasitas 900.000 ton ini telah disesuaikan dari rencana kapasitas sebelumnya yang mencapai 1,3 juta ton per tahun. Penyesuaian kapasitas ini dilakukan karena adanya tantangan pembangunan akibat pandemi COVID-19,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Smelter ini diproyeksikan tuntas pada 2023 mendatang. Produksi dari Batu Hijau serta potensi tembaga dari Blok Elang diperkirakan akan menjadi penyuplai utama konsentrat tembaga untuk smelter AMNT yang dimiliki oleh PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) tersebut.

Sementara itu, tambang Tujuh Bukit milik MDKA menjadi tambang terdekat dari lokasi smelter yang berada di Gresik, Jawa Timur. Tambang yang saat ini masih dalam proses pembangunan tersebut berlokasi di Banyuwangi, Jawa Timur.

Ketika nanti berproduksi efektif, tambang Tujuh Bukit diproyeksikan dapat menghasilkan 70.000-90.000 ton tembaga per tahunnya hingga 20 tahun ke depan. Angka yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan produksi tembaga dari Grasberg dan hanya 0,053% dari kapasitas pengolahan smelter di Gresik.

Selain Tujuh Bukit, MDKA juga memiliki tambang tembaga Wetar di Maluku. Sayangnya, produksi tembaga dari tambang ini pun tergolong mini juga. Tambang ini “hanya” memproduksi 5.400 ton konsentrat tembaga. 

Pihak MDKA memang menyebut angka tersebut turun jauh dari produksi tahun sebelumnya akibat integrasi tambang tembaga dengan proyek Acid Iron Metal di lokasi yang sama. Akan tetapi, produksi konsentrat tembaga Wetar pada 2019 sendiri juga hanya 16.800 ton, 0,0099% dari kapasitas smelter Freeport. 

Pertanyaannya kemudian, untuk siapa pembangunan smelter Freeport berkapasitas jumbo itu?