Soal Cukai 2024, Asosiasi Tembakau Minta Pemerintah Pertimbangkan Kemampuan IHT
- Menjelang 2024, Industri hasil tembakau (IHT) terus dirundung tekanan. Hal ini karena penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang membatasi lebih jauh bagi produk tembakau.
Nasional
JAKARTA – Industri hasil tembakau (IHT) terus dirundung tekanan. Menjelang 2024 IHT dihadapkan pada penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang mendorong pembatasan lebih jauh bagi produk tembakau. Selain itu, IHT juga akan menghadapi kenaikan cukai sebesar 10% mengacu pada PMK Nomor 191 Tahun 2022.
Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto melayangkan kritiknya pada penyusunan RPP tersebut. Menurutnya, apabila disahkan, rancangan peraturan turunan UU Kesehatan tersebut akan berdampak signifikan terhadap IHT. “Pasti akhirnya berguguran. Dan kalau (industri) berguguran, akibatnya pasti akan banyak PHK,” kata Heri.
Ia mengambil Kota Malang sebagai contoh. Heri mengatakan, dulu di sana terdapat 367 perusahaan rokok. Sekarang, hanya tersisa 20 persennya saja atau sekitar 77 perusahaan.
- Ada 305 Surat Pernyataan Minat Berinvestasi di IKN
- IKN Segera Groundbreaking Proyek Tahap III Senilai Rp10 T
- DIY Uji Coba Pelabuhan Pantai Gesing Gunungkidul
Heri juga mengkritisi wacana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar rata-rata 10% untuk tahun 2024. Ia mengatakan pemerintah perlu melihat kondisi industri saat ini, salah satunya dari fakta merosotnya penerimaan CHT di tahun ini. Menurut Heri, sejak penetapan kenaikan cukai multiyear sebesar 10%, target penerimaan Bea Cukai sepanjang 2023 masih tidak terpenuhi. Hingga September 2023, penerimaan Bea Cukai hanya tercatat senilai Rp144,8 triliun atau turun 5,4% dibanding periode yang sama tahun lalu. Artinya, kenaikan ini berdampak pada kinerja industri hasil tembakau yang kian melemah.
“Jadi saya pikir ini tergantung pemerintah akan bagaimana. (Penerimaan) tahun ini saja tidak terpenuhi, bagaimana tahun depan? Kalau (cukai rokok) tetap naik itu ya berat,” ungkapnya.
Dalam menentukan kebijakan cukai, Heri menegaskan pemerintah perlu melihat dampaknya pada industri yang telah banyak menyumbang penerimaan bagi negara. Sebagai contoh yaitu industri rokok golongan 1 sebagai penyumbang penerimaan cukai terbesar selalu mendapat kenaikan tarif cukai tertinggi. Akibatnya, golongan I menunjukkan penurunan paling besar, apalagi kenaikan cukai tinggi dilakukan saat daya beli masyarakat masih lemah.
“Yang sekarang berat itu ya golongan 1. Menurut saya, golongan ini perlu diproteksi. Saya lebih senang golongan 1 tidak naik, golongan kami yang dinaikkan,” ujar Heri.
Ia mengaku telah menyampaikan usulan ini bahkan kepada Presiden Joko Widodo. Namun, bagi Heri yang juga tidak kalah penting adalah pemerintah melakukan evaluasi total terhadap kebijakan kenaikan CHT. “Paling tidak rem dulu. Harapannya, pemerintah melihat fakta dengan merosotnya penerimaan, (kebijakan) ini harus dievaluasi total. Supaya optimalisasi penerimaan itu tercapai,” ucapnya.
Pada kesempatan lain, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani menyebut bahwa kebijakan cukai untuk tahun 2024 masih disiapkan oleh pemerintah. Hal ini berbeda dari informasi yang beredar di publik bahwa kenaikan cukai untuk tahun depan sudah ditetapkan sebesar rata-rata 10%.
"Kebijakan tersebut masih dipersiapkan bersama BKF, nanti pada waktunya akan dikomunikasikan lebih lanjut persisnya," ujar Askolani.