Soal Sengketa Nikel, Indonesia Siap Hadapi Uni Eropa di WTO
Uni Eropa (UE) kembali menggugat Indonesia dalam sengketa DS 592 – Measures Relating to Raw Materials pada pertemuan reguler Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body – WTO) pada 22 Februari 2021.
Dunia
JAKARTA – Uni Eropa (UE) kembali menggugat Indonesia dalam sengketa DS 592 – Measures Relating to Raw Materials pada pertemuan reguler Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body – WTO) pada 22 Februari 2021.
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi menyatakan Indonesia siap memperjuangkan upaya pembelaan terhadap gugatan ini.
“Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan berkeyakinan, kebijakan dan langkah yang ditempuh Indonesia saat ini telah konsisten dengan prinsip dan aturan Badan Perdagangan Dunia (WTO),” ujar Mendag dalam keterangan resmi, Kamis, 25 Februari 2021.
- Pemberdayaan Perempuan di Perusahaan Jepang Masih Alami Krisis Pada Tahun 2021
- Lebanon Bakal Cabut Subsidi BBM untuk Warganya
- Tandatangani Kontrak, David Guetta Resmi Bergabung dengan Warner Music
Mendag menyebut masalah dalam sengketa ini adalah produk mineral dan batubara (minerba) Indonesia lebih efisien, lebih efektif, dan lebih kompetitif dibandingkan dengan produk UE.
“Mereka ini sebenarnya mempertahankan pabrik-pabrik mereka yang sebenarnya sudah tua dibandingkan pabrik-pabrik kita yang masih baru, memproteksi produk mereka yang tidak efisien,” ujarnya dalam konferensi pers virtual di kesempatan yang berbeda.
Mendag melihat langkah UE yang menggunakan alasan bertentangan dengan aturan WTO dan mengganggu mekanisme perdagangan internasional sekadar langkah untuk mengamankan kepentingannya. Langkah UE ini, menurutnya, tidak memihak kepada negara berkembang yang telah mengelola sumber daya alamnya, pembangunan ekonomi, tata kelola lingkungan, dan peran serta masyarakatnya.
Meski menyesalkan tindakan dan langkah UE, Mendag menganggap proses sengketa di WTO merupakan suatu hal yang biasa dan wajar ketika terjadi persoalan antar anggota.
“Tindakan dan langkah yang dilakukan UE tentunya dapat menghalangi proses pembangunan dan kemajuan Indonesia di masa yang akan datang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun, tindakan ini merupakan hal yang biasa dan wajar terjadi manakala terjadi persoalan di antara anggota WTO,” ujar Mendag.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo juga telah memberikan arahan untuk menghadapi gugatan UE secara maksimal sehingga tidak mengganggu agenda pembangunan nasional. Untuk itu, Mendag menyebut Indonesia akan terus mempertahankan kebijakan di sektor minerba guna mendukung transformasi Indonesia menjadi ekonomi maju.
Apa yang Digugat UE?
Gugatan Uni Eropa pertama kali dilayangkan pada 22 November 2019. Saat itu, negara-negara UE keberatan dengan kebijakan Indonesia yang menghentikan ekspor nikel mentah atau bijih nikel yang berlaku per 1 Januari 2020.
Kebijakan ini dinilai UE memberikan dampak negatif terhadap industri baja di Eropa yang aksesnya terbatas terhadap bijih nikel dan juga bijih mineral lain seperti bijih besi dan kromium.
Perlu dicatat, Indonesia tercatat sebagai eksportir nikel kedua terbesar untuk industri negara-negara UE. Besarnya ketergantungan negara-negara UE terhadap nikel Indonesia mendasari gugatan ini.
Untuk mengatasi gugatan tersebut, Indonesia sempat melakukan relaksasi dengan mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pada Januari 2021, proses konsultasi untuk menyelesaikan sengketa ini sudah dilaksanakan di Sekretariat WTO, Jenewa, Swiss. Di situ, Indonesia telah menolak permintaan UE karena yakin bahwa kebijakannya telah sesuai dengan ketentuan WTO dan amanat konstitusi.
Namun, dalam pertemuan reguler DSB-WTO pada 22 Februari 2021, UE secara resmi untuk kedua kalinya meminta pembentukan panel sengketa DS 592 – Measures Relating to Raw Materials. . Gugatan UE pada akhirnya berkurang dengan hanya mencakup dua isu, yakni pelarangan ekspor nikel dan persyaratan pemrosesan dalam negeri.
UE tetap mengajukan pembentukan panel dengan alasan karena pihaknya melihat kebijakan Indonesia sebagai tindakan yang tidak sejalan dengan ketentuan WTO, merugikan kepentingan UE, serta memberikan ketidakadilan bagi industri domestiknya.