Aktivitas warga di perkampungan kumuh kawasan pesisir Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa, 11 Januari 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia.com
Makroekonomi

Soal Turunkan Kemiskinan, Ini Perbandingan Capaian Jokowi Vs SBY

  • Masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden Indonesia akan segara berakhir pada Oktober 2024. Meski begitu, target angka kemiskinan dalam periode kedua kepemimpinannya belum tercapai.
Makroekonomi
Distika Safara Setianda

Distika Safara Setianda

Author

JAKARTA - Masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden Indonesia akan segara berakhir pada Oktober 2024. Meski begitu, target angka kemiskinan dalam periode kedua kepemimpinannya belum tercapai.

Dalam Undang-Undang (UU) APBN 2024, Presiden Jokowi menetapkan target angka kemiskinan 2024 antara 6,5-7,5%. Selain itu, rasio gini diharapkan berada dalam kisaran 0,374-0,377, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antara 73,99-74,02.

Dengan demikian, terdapat jarak sekitar 1,53% untuk mencapai target rentang atas tingkat kemiskinan, yaitu 7,5%. Untuk merealisasikan batas bawah target, diperlukan penurunan tingkat kemiskinan sebesar 2,53%, angka yang bahkan tidak bisa dicapai dalam satu dekade terakhir.

“Selama dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi, angka kemiskinan Indonesia hanya turun sebesar 2,2%. Dalam 10 tahun terakhir jumlah penduduk miskin berkurang 3,06 juta orang atau turun 2,22%,” kata Plt. Sekretaris Utama BPS, Imam Machdi, dalam konferensi pers, Senin, 1 Juli 2024.

Jokowi dilantik sebagai Presiden Indonesia pada Oktober 2014. Pada awal pemerintahannya tahun 2015, tingkat kemiskinan Indonesia mencapai 11,25% atau sekitar 28,59 juta orang yang berada dalam kategori miskin.

Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan nasional cenderung terus menurun. Jelang akhir masa jabatannya, hingga akhir Maret 2024 tingkat kemiskinan turun menjadi 9,03%, dengan jumlah orang yang masuk dalam kategori miskin mencapai 25,22 juta orang.

Di sisi lain, hal tersebut jika dibandingkan dengan penurunan angka kemiskinan di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pencapaian tersebut masih terlihat jauh lebih rendah.

Dibandingkan dengan indikator kemiskinan dalam dua rezim, pemerintahan SBY periode pertama berhasil mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 2,51%, dari 16,66% pada tahun 2004 menjadi 14,15% pada akhir 2009.

Selanjutnya, pada periode kedua, pemerintahan SBY mencatat hasil yang lebih baik dengan penurunan 3,19% angka kemiskinan dari 14,15% menjadi 10,96%. Artinya dalam 10 tahun, pemerintahan SBY berhasil menekan angka kemiskinan sebesar 5,7%.

Terlihat jelas, SBY memiliki pencapaian yang lebih mempuni dalam menurunkan tingkat kemiskinan dibandingkan dengan Jokowi.

Selain itu, Imam menjelaskan rata-rata jumlah penduduk miskin berkurang 300 ribu orang per tahun. Dia mencatat, angka kemiskinan pada 2024 merupakan yang terendah dalam satu dekade.

“Tingkat kemiskinan yang terendah dalam satu dekade ini,” katanya.

Masyarakat yang dikategorikan menurut BPS adalah mereka yang berada di garis kemiskinan. Garis kemiskinan pada Maret 2024 sebesar Rp582.932,00 per kapita per bulan, dengan komposisi garis kemiskinan untuk kebutuhan makanan mencapai Rp433.906,00 (74,44%) dan untuk kemiskinan bukan makanan sebesar Rp149.026,00 (25,56%).

Pada Maret 2024, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia berjumlah 4,78 orang. Oleh karena itu, garis kemiskinan rata-rata per rumah tangga miskin adalah sebesar Rp2.786.415,00 per rumah tangga miskin per bulan.

“Garis kemiskinan di Indonesia sulit untuk turun. Pasalnya, pergerakan garis kemiskinan dipengaruhi oleh harga komoditas pokok yang terus melonjak,” ungkapnya.

Lebih jauh, di perkotaan, garis kemiskinan pada Maret 2024 mencapai Rp601.870, naik dari posisi Maret 2023 sebesar Rp569.290. Di pedesaan, garis kemiskinan pada Maret 2024 adalah Rp556.870, juga mengalami kenaikan dari posisi per Maret 2023 sebesar Rp525.050.

Imam juga mencatat, beberapa komoditas pokok mengalami kenaikan harga selama Maret 2023-Maret 2024. Seperti beras naik 20,07%, telur ayam ras naik 11,56%, dan cabai merah naik 45,95%.

“Kenaikan harga beberapa komoditas pokok ini tentu mempengaruhi tingkat konsumsi dan pengeluaran masyarakat yang tercermin dari angka kemiskinan,” paparnya.