Ilustrasi rumah subsidi.
Properti

Solusi Backlog Hunian, Antara Taipan hingga Koperasi Perumahan

  • Pemerintah perlu mendorong solusi-solusi alternatif penyediaan hunian untuk mengantisipasi banyaknya generasi muda yang menjadi tunawisma di masa depan. Dengan kondisi fiskal pemerintah yang banyak tersedot untuk membayar utang, Suroto mendorong pelibatan masyarakat secara aktif dalam penyediaan huniannya sendiri. Salah satunya lewat koperasi perumahan.

Properti

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Belum lama ini Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, memberikan pernyataan menarik soal upaya pemenuhan target tiga juta rumah pada tahun depan. 

Selain berencana menghibahkan tanahnya seluas 2,5 hektare, Maruarar ancang-ancang menggandeng empat korporasi besar untuk menyukseskan program perumahan tersebut.  Mereka adalah Sinarmas Group, PT Adaro Energy Indonesia Tbk, Barito Group dan Agung Sedayu Group. 

Ara, sapaan akrabnya, mengaku sudah bertemu dengan bos keempat perusahaan pada Minggu, 27 Oktober 2024. Ada Prajogo Pangestu dari Barito Group, Sugianto Kusuma (Aguan) dari Agung Sedayu, Garibaldi (Boy) Thohir dari Adaro serta Franky Oesman Widjaja dari Sinarmas. 

Menurut Ara, keempat pengusaha itu akan membangun dan mengisi hunian tersebut. “Semuanya berkomitmen untuk pembangunan rumah,” ujarnya. Ara mengklaim nantinya properti itu akan diserahkan gratis ke ratusan masyarakat di sekitar hunian.

Masalah backlog atau kekurangan rumah di kawasan tertentu memang telah menjadi ancaman serius bagi generasi mendatang. Hal ini tak lepas dari bonus demografi di mana sekitar 70% penduduk Indonesia akan diisi anak muda pada tahun 2030. 

Menurut data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, angka backlog di Indonesia saat ini masih mencapai 9,9 juta unit. Hal ini membuat Prabowo Subianto menelurkan program ambisius yakni tiga juta rumah dalam setahun untuk menutup backlog tersebut. 

Artinya, bakal ada 15 juta hunian baru di akhir kepemimpinan Prabowo jika program berjalan lancar.  Selama ini, komersialisasi perumahan menjadi salah satu hal yang membuat hunian semakin sulit terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Menurut Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, sebagian besar proyek rumah susun atau rumah sangat sederhana diserahkan pada pengembang yang berorientasi mengejar keuntungan. Akibatnya, tak jarang ditemui bangunan rumah yang memakai material berkualitas rendah. 

Ini karena pengembang sengaja menekan biaya demi untung besar. “Padahal ketersediaan rumah layak huni, sehat, dan murah merupakan kebutuhan yang mendesak, sekaligus menjadi bagian penting dalam penanggulangan kemiskinan,” ujar Suroto dalam keterangannya pada TrenAsia.com, Selasa, 29 Oktober 2024. 

Menurut Suroto, pemerintah perlu mendorong solusi-solusi alternatif penyediaan hunian untuk mengantisipasi banyaknya generasi muda yang menjadi tunawisma di masa depan. Dengan kondisi fiskal pemerintah yang banyak tersedot untuk membayar utang, Suroto mendorong pelibatan masyarakat secara aktif dalam penyediaan huniannya sendiri. 

Koperasi Perumahan jadi Alternatif

Salah satu hal yang bisa dilakukan, imbuhnya, adalah membentuk koperasi perumahan. Suroto mengatakan koperasi perumahan dapat menjadi pilihan karena memberikan manfaat nyata bagi anggotanya serta menjaga kelestarian lingkungan.  

Dia mencontohkan negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada selalu memprioritaskan koperasi dalam proyek pembangunan rumah murah. Hingga kini, jaringan koperasi perumahan (housing cooperative) negara-negara itu berkembang pesat. 

“Koperasi-koperasi perumahan seperti itu merupakan jaringan pengembang perumahan bersifat nirlaba karena dikelola dari dan oleh warga sendiri,” jelas Suroto. Lalu bagaimana koperasi perumahan dapat berjalan?  

Suroto bilang, pada awalnya koperasi tersebut dapat disokong penuh anggaran pemerintah. Setelah koperasi mampu membangun dan mengembangkan perumahan baru secara mandiri, pemerintah dapat berangsur mengurangi penempatan anggarannya. 

“Pemerintah membantu dalam berbagai skim bantuan dana, kredit dengan bunga rendah dan jangka panjang (mortage), garansi, penggunaan hak pakai tanah dengan harga relatif rendah, dan sebagainya,” tutur lelaki yang juga pengamat koperasi tersebut. 

Baca Juga: Program 3 Juta Rumah Diyakini Bisa Atasi Backlog, Tapi Penuh Tantangan

Suroto mengatakan perumahan-perumahan koperasi dapat mendorong lingkungan garden city yang humanis serta mendorong kehidupan sosial dan ekonomi yang baik. Hal itu karena perumahan berkonsep koperasi lebih mengedepankan kesejahteraan anggota karena sifatnya yang nirlaba. 

“Pemilihan pengurus koperasi perumahan pun dilakukan demokratis dengan konsep satu orang satu suara. Sehingga perumahan juga dapat menghadirkan lingkungan yang demokratis, hunian dalam kendali para anggotanya,” kata dia. 

Suroto mengakui saat ini sudah ada koperasi karyawan di Indonesia yang turut menyediakan kebutuhan perumahan bagi anggotanya dalam bentuk kredit. Namun dia menilai upaya tersebut belum berdampak optimal karena tidak terintegrasi dengan kebijakan nasional. 

“Perlu integrasi ke program nasional untuk membangun perumahan murah dan layak huni, Apalagi untuk menjangkau kebutuhan masyarakat yang berpendapatan tidak tetap dan kurang beruntung secara ekonomi,” ujar Suroto.