Sosiolog: Kemasan Rokok Polos Persulit Berbagai Elemen Masyarakat
- Apabila kemasan rokok diseragamkan menjadi polos, maka aturan ini akan merugikan perusahaan pemilik merek yang saat ini beroperasi secara patuh dan legal.
Nasional
IniJAKARTA – Berbagai pihak, termasuk para pakar dan akademisi, terus menyoroti rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/204) dan menilai aturan ini akan mempersulit berbagai aspek, mulai dari susahnya mengidentifikasi pelanggaran hingga imbasnya ke penerimaan negara.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta, mengatakan pencamtuman merek pada kemasan rokok seyogyanya merupakan salah satu penanda bagi perusahaan rokok untuk menunjukkan kepatuhannya terhadap aturan yang telah diterapkan dan menjaga kualitas produknya. Apabila kemasan rokok diseragamkan menjadi polos, maka aturan ini akan merugikan perusahaan pemilik merek yang saat ini beroperasi secara patuh dan legal. Hal ini dapat berimbas ke berbagai aspek sosial, termasuk semakin mendorongnya peredaran rokok ilegal yang saat ini sudah marak terjadi.
“Aturan ini akan mempersulit pemerintah untuk mengindentifikasi pelanggaran yang ada di lapangan. Banyak aspek-aspek lain yang akan sulit dinilai, seperti apakah perusahaan tersebut patuh dengan aturan atau tidak, bahkan tidak bisa di cek produknya asli atau tidak. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga nampak tidak mempertimbangkan aspek-aspek dari Kementerian lain, sehingga aturan ini menjadi mustahil untuk dilakukan,” terang Widyanta kepada media.
Ia melanjutkan bahwa rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek yang mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ini menjadi bukti adanya upaya untuk mematikan industri tembakau nasional di Indonesia. Padahal, FCTC tidak bisa diaplikasikan di dalam negeri karena Indonesia merupakan produsen tembakau yang besar dan memiliki ekosistem pertembakauan yang kompleks, mulai dari pertanian, industri olahan, ketenagakerjaan, hingga kontribusi terhadap pendapatan negara yang jumlahnya signfikan.
“Harusnya, sebagai salah satu industri yang menghasilkan cukai yang besar, industri tembakau mendapatkan proteksi dari pemerintah,” ucapnya.
Selaku pakar, Widyanta dengan tegas menolak rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek agar tidak diterapkan di Indonesia. Pasalnya, Rancangan Permenkes sendiri masih memiliki banyak kelemahan untuk dijalankan. Bahkan, ketidakadilan perumusan kebijakan sudah terlihat sejak awal digagasnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.
Menurutnya, suatu kebijakan itu harusnya menjamin keadilan publik karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Maka, kebijakan publik itu semestinya dibuat secara hati-hati dan melibatkan semua pihak yang terkait, bukan dilakukan secara ugal-ugalan seperti proses perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan dan Rancangan Permenkes yang digagas oleh Kementerian Kesehatan.
“Harusnya, kebijakan itu mengakomodir kepentingan publik, termasuk kepentingan pelaku usaha di industri tembakau. Industri tembakau dan tenaga kerja di dalamnya juga bagian dari rakyat Indonesia. Apalagi, industri tembakau juga kontribusinya besar pada penerimaan negara melalui cukai,” tutupnya.