Sri Mulyani Akui Industri Tekstil Tertekan Barang Impor
- Hingga kuartal II-2024 pertumbuhan sektor industri TPT 0%, bersamaan dengan turunnya industri mesin yang tumbuh minus 1,8%.
Makroekonomi
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, industri tekstil dan produk dari tekstil (TPT) Indonesia saat ini tengah tertekan. Hal ini disebabkan, karena kalah saing dengan produk-produk dari impor.
Sri Mulyani mengatakan, hingga kuartal II-2024 pertumbuhan sektor industri TPT 0%, bersamaan dengan turunnya industri mesin yang tumbuh minus 1,8%. Sementara itu, industri alas kaki masih tumbuh 1,9%, bersama dengan industri karet yang tumbuh 2,1%.
"Ini yang terkena dan tertekan banyak hal. Mungkin demandnya masih memadai, tapi karena kompetisi dari impor," ujar Sri Mulyani dalam Konpers APBN KiTa Edisi Agustus pada Selasa, 13 Agustus 2024.
- Prabowo Janji Lanjutkan IKN, Saham BUMN Karya Tancap Gas
- Sri Mulyani Sebut APBN Defisit Rp93,4 Triliun Per Juli 2024
- Garuda Indonesia (GIAA) Terus Catat Pertumbuhan Operasional di Semester I-2024
Secara keseluruhan, dia mengatakan, kinerja industri manufaktur sendiri memang tengah mengalami tekanan. Pertumbuhannya per kuartal II-2024 hanya sebesar 3,95% secara tahunan, sedangkan pada tahun sebelumnya masih tumbuh 4,6% dan pada 2022 mencapai 4,9%.
Menkeu meminta Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dan Menteri Perdagangan Zulkifli hasan gencar meminta adanya kebijakan untuk menghadapi serbuan impor itu dengan pengaturan anti dumping yang sedang disiapkan.
Bea Masuk Rp29 Triliun
Dari sisi penerimaan bea masuk tercatat Rp29 triliun bea masuk tercatat Rp29 triliun atau naik 2,1% (yoy), dan 50,6% dari target APBN. Kemudian, penerimaan bea keluar mencapai Rp9,3 triliun atau naik 58,1% (yoy) dan 52,9% dari target APBN.
Terakhir, penerimaan cukai Rp116,1 triliun atau naik 0,5% yoy dan 47,2% dari target APBN. hal ini disebabkan penurunan penerimaan dari komoditas utama, seperti gas, kendaraan, dan suku cadang kendaraan.
"Peningkatan bea masuk dipengaruhi kenaikan nilai impor 2,5 persen yoy, meskipun tarif efektif menurun, yakni dari 1,45 persen pada 2023 menjadi 1,34 persen pada 2024," lanjut Sri Mulyani
Sedangkan, peningkatan bea masuk juga dipengaruhi penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah, yakni dari Rp15.077 per dolar AS pada 2023 menjadi Rp15.910 per dolar pada 2024.
Selanjutnya, peningkatan bea keluar dipengaruhi oleh bea keluar tembaga yang tumbuh 92,8% (yoy) dengan pangsa 76,5% dari total bea keluar. Hal ini dipengaruhi relaksasi ekspor komoditas tembaga.
Di sisi lain, penerimaan bea keluar produk sawit turun 60% (yoy), dipengaruhi penurunan rata-rata harga crude palm oil (CPO) 2024 sebesar 5,91% (yoy), yakni dari US$865 per metrik ton menjadi US$814 per metrik ton. Terjadi pula penurunan volume ekspor produk sawit 15,48% (yoy), dari 24,01 juta ton menjadi 20,29 juta ton.
Terakhir, penerimaan cukai tumbuh tipis dipengaruhi penerimaan cukai hasil tembakau Rp111,3 triliun, tumbuh tipis 0,1% (yoy) dipengaruhi kenaikan produksi, utamanya golongan II dan golongan III.
Penerimaan cukai MMEA tercatat sebesar Rp4,6 triliun atau tumbuh 10,6%, didorong kenaikan tarif dan produksi MMEA dalam negeri. Kemudian, penerimaan cukai EA sebesar Rp80,4 miliar atau tumbuh 21,8% sejalan dengan kenaikan produksi.