Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memberikan keterangan kepada media mengenai dana alokasi umum (DAU) usai menghadiri rapat paripurna di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 7 Desember 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Nasional

Sri Mulyani Beberkan Dampak Buruk Korupsi, Mulai dari Kemiskinan hingga Investasi

  • Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan sejumlah dampak buruk dari praktik korupsi yang makin sering dilakukan masyarakat Indonesia.

Nasional

Daniel Deha

JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan sejumlah dampak buruk dari praktik korupsi yang makin sering dilakukan masyarakat Indonesia, tak terkecuali pejabat pemerintah dan elit swasta.

Dalam Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2021 di lingkup Kementerian Keuangan, Sri Mulyani mengatakan dampak buruk yang pertama adalah kemiskinan.

Menurut dia, korupsi telah menyebabkan ketidakmerataan dan kemiskinan yang terus menerus dialami oleh masyarakat. Akibat korupsi, kesenjangan antara elit korup dengan masyarakat kecil pun makin lebar.

"Bagaimana negara yang tidak bisa mengatasi korupsi meskipun mereka memiliki natural resources, maka banyak masyarakatnya yang kelaparan, yang tidak bisa mendapatkan pendidikan, bahkan untuk mendapatkan air bersih pun tidak diperoleh," katanya dikutip dari keterangan resmi, Rabu, 8 Desember 2021.

Bendahara Negara menambahkan bahwa korupsi juga berdampak terhadap keadilan dan kesetaraan sosial standar moral, serta intelektual masyarakat, hingga merusak perekonomian suatu bangsa. 

Korupsi bahkan dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sehingga dapat menyebabkan gejolak politik, sosial, hingga ekonomi.

"Ini adalah suatu penyakit yang ada dan bisa menghinggapi serta menggerus fondasi suatu masyarakat dan negara. Jadi bahayanya sudah sangat nyata," tandasnya.

Tidak berhenti di situ. Sri Mulyani juga melihat bahwa korupsi bisa mengancam iklim investasi dan produkvitas pembangunan.

Menurut dia, korupsi mengurangi dana yang tersedia untuk investasi, memperkecil kesempatan kerja yang dapat disediakan, dan menimbulkan pengangguran yang tinggi sehingga menyebabkan peningkatan kemiskinan.

"Karena siapa pun yang memiliki kapital, dia akan berpikir 1000 kali apakah dia bisa melakukan kegiatan produktif tanpa kemudian dia menjadi korban dari korupsi yang merajalela," ungkapnya.

Dia menegaskan bahwa kebiasaan korupsi dapat menimbulkan pemerintahan yang tidak transparan karena orang membeli, membagi jabatan, dan promosi seseorang dalam jabatan di lingkup manapun melalui tindakan korupsi, baik melalui praktik suap maupun gratifikasi.

Untuk itu, Sri Mulyani memandang sudah saatnya upaya pemberantasan korupsi digenjot dengan menyasar lebih banyak elemen, baik itu penegak hukum maupun masyarakat.

"Saya berharap Kementerian Keuangan juga terus menerjemahkan strategi nasional pencegahan korupsi untuk bisa menjadi suatu tidak hanya strategi, tapi aksi sehari-hari," ungkapnya.

Adapun, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia saat ini berada di level poin 37 dari rentang 0-100, menurut data yang diterbitkan Transparency International.

Dari indeks tersebut, Indonesia tergolong negara paling korup di bawah Meksiko (31) dan Rusia (30), untuk dibandingkan dengan sesama negara anggota G20.