Kantor Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Nasional

Sritex Pailit, dari Kejayaan Tekstil hingga Kehancuran Finansial

  • Sebelumnya, perusahaan juga sempat mencatatkan kinerja keuangan cemerlang. Pada 2019, pendapatan Sritex mencapai US$1,2 miliar, dengan laba bersih sekitar US$85 juta.

Nasional

Debrinata Rizky

JAKARTA – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil dan garmen terbesar di Asia Tenggara, resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Keputusan ini menandai babak kelam bagi perusahaan yang pernah berjaya sebagai raksasa tekstil Indonesia.

Sebelumnya, perusahaan juga sempat mencatatkan kinerja keuangan cemerlang. Pada 2019, pendapatan Sritex mencapai US$1,2 miliar, dengan laba bersih sekitar US$85 juta. 

Namun, di balik kesuksesan ini, masalah likuiditas mulai mengintai akibat ekspansi agresif yang didanai oleh utang.

1. Beban Utang yang Tinggi

Sritex mengandalkan utang untuk membiayai ekspansi besar-besaran, termasuk pembangunan pabrik dan pengadaan bahan baku. Pada 2020, total utang perusahaan mencapai lebih dari US$1,6 miliar, terdiri dari utang jangka pendek dan jangka panjang. Kondisi ini semakin memburuk akibat pandemi COVID-19 yang mengganggu arus kas dan permintaan pasar.

2. Pandemi COVID-19

Pandemi menjadi pukulan besar bagi industri tekstil, termasuk Sritex. Penurunan pesanan dari pasar ekspor dan domestik membuat pendapatan perusahaan anjlok. Selain itu, gangguan rantai pasok global memperburuk kemampuan Sritex untuk memenuhi kewajibannya.

3. Manajemen Keuangan yang Buruk

Kritik terhadap tata kelola keuangan Sritex mencuat setelah laporan keuangan mereka diaudit pada 2020. Dugaan manipulasi laporan keuangan dan ketidakmampuan membayar bunga utang membuat kepercayaan investor dan kreditur menurun drastis.

4. Kegagalan Restrukturisasi Utang

Upaya restrukturisasi utang yang diajukan Sritex menemui jalan buntu. Kreditur seperti Bank Negara Indonesia (BNI) dan HSBC menolak skema restrukturisasi yang diajukan, sehingga proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) berakhir dengan keputusan pailit.

5. Permendag Nomor 8 Tahun 2024

Salah satu peraturan yang menjadi sorotan dalam konteks ini adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Permendag ini merupakan perubahan ketiga atas Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Iwan Setiawan sempat mengatakan, permendag ini mengganggu operasional industri dalam negeri di mana lonjakan produk tekstil impor menyebabkan tekanan signifikan pada pelaku usaha lokal akhirnya berujung pada penutupan sejumlah pabrik dan PHK.
 MDKA Bayar Obligasi Rp817,7 Miliar dengan Kas Internal, Ini Fakta Pentingnya

Kondisi terakhir, Corporate Secretary Sritex Welly Salam mengatakan salah satu upaya yang dilakukan termasuk mencari investor dan mitra untuk memperbaiki kondisi perusahaan dan menjaga kelangsungan hidup perusahaan.

Welly menyebut perusahaan tetap akan melakukan upaya hukum terakhir agar terlepas dari status pailit dan tetap menjadi perusahaan tercatat di BEI. Selain itu, Welly mengatakan pihaknya akan patuh pada peraturan-peraturan yang berlaku.

"Perseroan akan terus berupaya semaksimal mungkin dalam mengajukan upaya hukum terakhir melalui upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan kasasi agar terlepas dari status pailit dan tetap menjadi perusahaan tercatat di BEI," ujar Welly dalam keterangan di Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa, 24 Desember 2024.

Kasus pailit Sritex menjadi pengingat penting bagi perusahaan lain untuk lebih berhati-hati dalam mengelola utang dan ekspansi bisnis. Transparansi laporan keuangan, pengelolaan risiko, dan fleksibilitas dalam menghadapi krisis menjadi kunci untuk mencegah kebangkrutan serupa di masa depan.