Industri

Start Up Diterjang Badai PHK, AFTECH: Pemodal Berubah Haluan

  • Menurut Rudiantara, saat ini banyak perusahaan modal ventura yang lebih fokus untuk melihat kinerja keuangan perusahaan start up dibandingkan traksinya
Industri
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA - Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Rudiantara berpendapat perusahaan modal ventura telah mengubah haluan dalam memberikan pendanaan.

Sehingga, berimbas kepada badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menerjang banyak perusahaan rintisan (start up).

Menurut Rudiantara, saat ini banyak perusahaan modal ventura yang lebih fokus untuk melihat kinerja keuangan perusahaan start up dibandingkan traksinya.

Traksi sendiri dalam hal ini berkenaan dengan jumlah pengguna atau pengunduh dan loyalitas konsumen terhadap jasa atau produk yang ditawarkan oleh start up.

Rudiantara mengatakan, untuk mencapai traksi yang bagus, kebanyakan start up rela melakukan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menerapkan strategi bakar uang.

"Dana yang disuntik besar bahkan hingga triliunan rupiah, namun hasilnya nihil. Venture Capital (VC) pun enggan menyuntikkan dananya lagi. Alhasil, tsunami besar PHK di start up pun mulai menghantui," ujar Rudiantara melalui keterangan tertulis, Selasa, 21 Juni 2022.

Rudiantara pun menekankan bahwa gaya bisnis start up yang mengutamakan pertumbuhan dengan arus kas dan/atau profit negatif tidak akan bisa bertahan dari badai ini. Pada akhirnya, bisnis yang sehat harus memiliki arus kas dan profit yang positif.

Sebagai informasi, belakangan ini ada beberapa perusahaan start up di dalam negeri yang melakukan PHK dalam jumlah yang cukup masif. Di tahun ini, setidaknya ada enam start up yang melakukan PHK, di antaranya Tanihub, Zenius, LinkAja, Pahamify, JD.ID, dan MPL.

Sebenarnya, fenomena ini tidak hanya berlangsung di Indonesia. Beberapa start up bertaraf internasional seperti Netflix dan Robinhood pun melakukan PHK massal di tahun ini.

Badai PHK ini pun disinyalir oleh beberapa pengamat sebagai fenomena "bubble burst" (pecah gelembung), yakni kondisi ketika bisnis mengalami kenaikan yang cepat namun langsung mengalami penurunan dalam waktu yang singkat pula.

Fenomena pecah gelembung itu bisa terjadi karena perusahaan start up mengalami kesulitan untuk memperoleh pendanaan dan tidak memiliki aset.

Padahal, untuk meningkatkan traksi, start up membutuhkan dana untuk menerapkan strategi promosi melalui berbagai medium, termasuk menghadirkan diskon besar-besaran.

Kenaikan suku bunga yang ditetapkan oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) alias The Federal Reserve (The Fed) pun turut memengaruhi pertimbangan investor luar negeri untuk mengalokasikan dana mereka ke industri teknologi Indonesia.