Start Up Ngantri IPO, Jadi Mujur atau Babak Belur?
- Unicorn ride-hailing asal Singapura, Grab Holding Ltd. resmi melakukan aksi penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) di bursa Nasdaq, Amerika Serikat (AS) pada Kamis (2/12) pukul 09.30 waktu AS atau 21.30 WIB
Fintech
JAKARTA – Unicorn ride-hailing asal Singapura, Grab Holding Ltd resmi melakukan aksi penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) di bursa Nasdaq, Amerika Serikat (AS) pada Kamis, 2 Desember 2021 pukul 09.30 waktu AS atau 21.30 WIB.
Euforia pencatatan start up pertama di Asia Tenggara yang listing di Nasdaq ditunjukkan lewat berkumpulnya sekitar 1.500 karyawan dan komunitas mitra di Nasdaq Tower di Times Square, New York City.
Tak hanya menjadi start up Asia Tenggara pertama yang listing, Nasdaq juga memperkirakan penawaran perdana Grab menjadi IPO terbesar melalui special purpose acquisition company (SPAC) sepanjang tahun ini.
- Medco Energi (MEDC) Akuisisi ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd
- Sinar Mas Land Bangun 'Silicon Valley' di BSD City, Siap Jadi Markas Start Up
- ADB: 75 Persen UMKM Indonesia Sulit Dapat Modal, 50 Persen Bangkrut Selama Pandemi
Grab memulai debut di pasar saham Nasdaq melalui skema backdoor listing. Valuasinya mencapai US$40 miliar setara Rp575 triliun (asumsi kurs JISDOR Rp14.378 per dolar AS) setelah merger dengan SPAC Altimeter Growth Corp.
Pencatatan saham Grab di AS merupakan tindak lanjut dari kesepakatan pada April 2021. Grab merger dengan Altimeter Growth Corp yang merupakan SPAC milik investor teknologi AS yakni Altimeter Capital Management. Aksi korporasi itu mengumpulkan US$4,5 miliar atau setara Rp64 triliun termasuk US$750 juta dari Altimeter.
Sayangnya, pesta pora Grab di AS tak berlangsung lama. Harga saham emiten dengan ticker GRAB itu memang sempat dibuka menguat di level US$13,08 per lembar pada awal perdagangan, Kamis 2 Desember 2021 .
Akan tetapi, harga saham Grab terus mengalami penurunan dengan hasil terkoreksi 20,53% pada penutupan hari itu di level US$8,75. Penurunan harga saham tersebut menghapus sekitar US$17 miliar dari nilai pasar perusahaan.
Grab tak sendiri, rekan start up dari Indonesia, yakni PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) juga mengalami hal serupa. Sama euforianya, IPO Bukalapak dianggap sebagai babak baru start up Tanah Air yang digadang-gadang menjadi penggebrak lansekap baru bernama new economy.
Memang, dalam perdagangan saham perdana pada Jumat, 6 Agustus 2021, saham Bukalapak sempat melejit dan mengalami auto reject atas (ARA). Saham BUKA mengawali perdagangan di level Rp850 per saham dan langsung melesat 24,74% ke level Rp1.060 per saham.
Setali tiga uang dengan Grab, peningkatan harga saham e-commerce yang dirintis Achmad Zaky ini tak bertahan lama. Pada perdagangan hari kedua, 9 Agustus 2021, saham BUKA terus mengalami penurunan dan pada Kamis (12 Agustus 2021), mengalami auto reject bawah (ARB).
Kabar baiknya, setelah berada di zona merah selama 12 sesi perdagangan terakhir, akhirnya saham emiten e-commerce ini mulai menunjukkan tanda-tanda rebound.
Pada penutupan perdagangan Rabu, 8 Desember 2021, saham BUKA naik 9,91% menuju harga Rp488 per lembar. Kenaikan harga saham BUKA berlanjut hingga penutupan perdagangan Kamis, 10 Desember 2021, saham Bukalapak terungkit 2,46% ke level Rp500 selembar.
Namun, kenaikan harga saham BUKA tak sebanding dengan kejatuhan yang dialaminya sejak IPO. Pada debut perdananya, saham BUKA dibanderol pada harga Rp850 per lembar.
Ada Apa dengan Saham Start Up?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda menilai lesunya harga saham Grab bukan fenomena baru. Rekan sejawatnya, Uber dan Lyft juga kesulitan untuk meningkatkan harga saham pada masa awal IPO. Bahkan, harga saham Uber sempat terperosok cukup dalam.
Menurut analisisnya, perusahaan ride-hailing seperti Grab, Uber, dan Lyft tidak menarik cukup peminat investor AS pada awal IPO.
“Akhir-akhir ini saham Uber sempat membaik kok, jadi itu siklus saja. Di awal IPO akan sangat berat bagi Grab terlebih pasarnya juga bukan di AS tapi di Asia Tenggara,” kata Nailul pada TrenAsia.com beberapa waktu lalu.
Ia membandingkan dengan IPO Bukalapak yang menurutnya penuh dengan masalah. Pertama, Bukalapak melakukan pom-pom harga dengan sporadis dan sembarangan menyewa influencer yang berujung pada hilangnya kepercayaan investor.
Kedua, kondisi Bukalapak dianggap Nailul gagal bersaing dengan Tokopedia dan Shopee. Berkaca dari situ, Nailul mengatakan, perusahaan teknologi yang hendak IPO harus memperhatikan betul strategi bisnis sejak awal.
“Pilih influencer yang bener, pastikan bisa bersaing di industri masing-masing,” tegas dia.
Strategi Usang Bakar Uang
Omong-omong soal strategi bisnis start up, Pengamat Pasar Modal, Satrio Utomo mewanti-wanti perusahaan teknologi untuk segera move on dari strategi bakar uang. Ia berpendapat, perusahaan yang sudah melantai di bursa saham idealnya fokus untuk mengembangkan bisnis, bukan lagi sibuk mencari pasar.
“Permodalan perusahaan terbuka kan berasal dari publik juga. Jangan dipakai untuk promosi terus, mau sampai kapan start up bakar uang. Fokus saja ke ekspansi usaha,” ujar Satrio pada TrenAsia.com.
Misalnya saja Bukalapak, emiten teknologi itu masih membukukan rugi bersih hingga saat ini. Meskipun, pada kuartal III-2021, rugi bersih periode berjalan menyusut menjadi Rp1,13 triliun per September 2021, dari Rp1,39 triliun per September 2020.
Bukalapak juga tercatat menekan kerugian Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization (EBITDA). Kerugian EBITDA pada sembilan bulan pertama tahun ini berkurang 15% year-on-year (yoy).
Terkikisnya kerugian Bukalapak ditopang oleh naiknya pendapatan bersih menjadi Rp1,35 triliun sepanjang sembilan bulan pertama 2021. Pendapatan ini tumbuh 42,1% yoy dibandingkan dengan perolehan pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp948,44 miliar.
Adapun, Total Processing Value (TPV) selama Juli-September 2021 tumbuh 45% year-on-year (yoy) menjadi Rp31,2 triliun. Sedangkan pada sembilan bulan pertama 2021, TPV tumbuh 51% yoy menjadi Rp87,9 triliun.
Tak seperti Bukalapak yang berhasil mengikis kerugian, Grab justru memperdalam rugi bersih pada kuartal III-2021. Grab melaporkan kerugian bersih sebesar US$988 juta pada kuartal III-2021, 59% lebih tinggi dari kerugian tahun lalu sebesar US$621 juta.
Total pendapatan untuk kuartal ketiga juga turun 9% menjadi US$157 juta, dari US$172 juta pada tahun sebelumnya. Grab mengklaim, merahnya kinerja keuangan disebabkan oleh pembatasan mobilitas akibat COVID-19 di beberapa negara di Asia Tenggara.
Sebaliknya, jika berdasarkan Gross Merchandise Value (GMV), sejatinya Grab secara konsisten mencatatkan pertumbuhan. Mulai dari kuartal II-2020, GMV Grab bernilai US$2,39 juta. Kuartal selanjutnya naik jadi US$3,06 juta, lalu pada kuartal terakhir 2020 naik lagi jadi US$3,64 juta.
Memasuki 2021, Grab tetap mampu meningkatkan GMV menjadi US$3,64 juta, pada kuartal II-2021 GMV kembali naik ke level US$3,87 juta, dan terakhir GMV bertengger di angka US$4,03 juta pada kuartal III-2021.
“Asal Grab mampu menunjukkan peforma yang bagus dan bersaing pasti akan meningkat harga sahamnya,” tambah Nailul.
Nailul dan Satrio sepakat, pada akhirnya investor akan memilih perusahaan yang memiliki fundamental yang kuat. Sehingga, keseriusan memoles kinerja keuangan menjadi pekerjaan rumah perusahaan start up yang hendak IPO.
Sebagaimana diketahui, GoTo, satu-satunya decacorn asal Indonesia juga tengah bersiap melantai di bursa saham. Belum apa-apa, entitas hasil merger Gojek dan Tokopedia, GoTo sudah kebanjiran investasi.
GoTo mengumumkan perolehan dana pada penutupan pertama penggalangan sebelum initial public offering (pra-IPO) senilai US$1,3 miliar atau setara dengan Rp18,53 triliun (asumsi kurs Rp14.253 per dolar Amerika Serikat).
Grup GoTo sendiri mencatat lebih dari 1,8 miliar transaksi pada 2020, dengan total Nilai Transaksi Bruto (GTV) lebih dari US$22 miliar, dan berkontribusi ke ekonomi setara dengan lebih dari 2% produk domestik bruto (PDB) Indonesia.