Startup RI Makin Seksi, Investor Asing dan Taipan Rebutan Usaha Rintisan
Apakah kita harus ambil bagian dalam industri perusahaan rintisan? Ataukah kita hanya akan menjadi konsumen dan sekadar menatap industri startup yang jadi rebutan investor asing serta para taipan?
Home
JAKARTA – Saat pandemi seperti ini, Muhammad Ahsan, karyawan bank swasta di Jakarta Selatan, masih bisa beraktivitas seperti biasa. Meski diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta, pria berusia 30 tahun itu tetap harus bekerja lantaran sektor jasa keuangan dikecualikan dari larangan pembukaan kantor.
Untuk menuju kantor, dia terbiasa memesan ojek online Gojek demi mempercepat waktu tempuh. Jika hujan mengguyur Ibu Kota, dia harus bersiasat dengan memesan layanan taksi online Gocar maupun Grabcar.
“Tergantung mana yang sedang promo. Selain cepat, juga hemat,” kata dia saat berbincang dengan TrenAsia.com belum lama ini.
- Online Trends are Booming (Serial 1): Exploring the Drivers of Indonesia’s Digital Economy
- UGM Jadikan Wisma Kagama dan UC Hotel Sebagai Selter COVID-19
- Bangun Infrastruktur Baru, Google Perluas Layanan Cloud di India
- Bantu Start Up, Erick Refocusing Telkom dan Telkomsel
- Booming Tren Daring (Serial 5): SDM dan Infrastruktur Tertinggal, Perlindungan Data Tak Andal
Tidak hanya transportasi, dia juga kerap berbelanja di e-commerce Tokopedia dan Bukalapak sekadar untuk memenuhi beberapa kebutuhan. Dia sering mencari barang-barang kebutuhan hobi mendaki gunung yang dijual di dua e-commerce itu.
Tentu saja, untuk metode pembayaran, dia sudah sangat terbiasa dengan layanan dompet digital. Ahsan memiliki setidaknya dua akun dompet digital Gopay dan OVO untuk membayar sejumlah transaksi online maupun offline.
Ahsan adalah satu dari jutaan masyarakat Indonesia, khususnya warga DKI Jakarta, yang sangat terbiasa dengan kemudahan-kemudahan dari teknologi startup di segala sendi kehidupan. Tak sadar, dia berkontribusi terhadap terciptanya raksasa-raksasa perusahaan rintisan alias startup yang kini berstatus unicorn hingga decacorn Tanah Air.
Perusahaan startup bergelar unicorn adalah perusahaan yang nilai valuasi sahamnya sudah mencapai US$1 miliar atau setara dengan Rp14,7 triliun (kurs Rp14.700 per dolar Amerika Serikat).
Startup Decacorn mempunyai valuasi 10 kali lipat dari unicorn, yaitu sebesar US$10 miliar atau setara Rp147 triliun. Terakhir, prestasi paling tinggi yang pernah disematkan kepada perusahaan startup adalah hectocorn, dengan valuasi US$100 miliar atau sekitar Rp1,47 kuadriliun.
Startup Kian Mengilap
Dunia bisnis telah mengalami perubahan drastis selama dua abad terakhir. Sejak era Revolusi Industri di negeri Ratu Elizabeth Inggris yang terjadi pada abad ke-19, banyak pabrik yang bermunculan di kota-kota besar hingga abad 20.
Generasi pebisnis di zaman itu dikenal dengan sebutan industrialis. Ciri khas paling utama dari zaman industrialisme pada saat itu adalah produksi massal dan buruh kerja.
Seiring berjalannya waktu terdapat pergeseran paradigma bisnis, terutama pada abad 21. Pebisnis di abad ini memang memiliki konstruksi pandangan yang berbeda dengan pendahulunya. Sistem hierarki bisnis yang awalnya bersifat top down, mulai bergeser ke sistem bottom up.
Hal itu dapat terlihat dengan menjamurnya perusahaan rintisan berbasis teknologi atau startup di seluruh dunia. Lahirnya startup biasanya untuk menjawab permasalahan masyarakat luas dan memiliki ciri khas pangsa pasar yang sangat khusus.
Di Indonesia, startup mulai populer sekira lima tahun belakangan ini. Perusahaan rintisan yang sukses biasanya berhasil memberikan solusi nyata bagi banyak orang.
Sebagai contoh, kehadiran Gojek dianggap memahami permasalahan masyarakat akan kebutuhan transportasi yang efisien. Tingkah laku dan kebiasaan masyarakat juga menjadi potensi bisnis bagi perusahaan seperti Gojek.
Kemudian di sektor perdagangan, lahirnya e-commerce turut merubahan perilaku pasar saat ini. Pasalnya, kemudahan yang ditawarkan membuat masyarakat tersihir. Tidak hanya bagi konsumen, penjualpun diuntungkan dengan adanya pasar daring, sebab dapat membuat cakupan konsumen semakin luas.
Selain itu kehadiran financial technology (fintech) juga membuat dampak yang cukup besar bagi industri perbankan. Tengok saja, saat ini telah banyak layanan keuangan berbasis teknologi, mulai dari sistem pembayaran hingga pinjaman online.
Raksasa Ekonomi Digital
Jauh dari bumi Ibu Pertiwi, nama Indonesia disebut-sebut sebagai negara berkembang yang memiliki potensi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Mengapa Indonesia?
Jawaban atas pertanyaan ini yang nantinya akan dipaparkan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London kepada para pelaku ekonomi digital di Inggris. Maksud hati untuk mendorong mereka berinvestasi di pasar ekonomi digital Tanah Air usai pandemi nanti.
Sektor ekonomi digital Indonesia diprediksi akan terus berkembang dalam beberapa tahun ke depan. Saat ini, jumlah penduduk Indonesia mencapai 268 juta jiwa dan sekitar 32%-nya merupakan generasi Y. Sedangkan, 175 juta orang dari jumlah penduduk Indonesia itu juga aktif menggunakan internet dengan 338 juta pelanggan seluler.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa potensi ekonomi digital di wilayah ASEAN pada 2025 diramalkan mencapai US$300 miliar setara Rp4,4 kuadriliun. Menariknya, hampir setengah dari nilai itu berada di Indonesia, ditaksir hingga US$133 miliar setara Rp1,9 kuadriliun.
Berdasarkan data yang dihimpun TrenAsia.com, pada tahun 2015 nilai ekonomi digital Indonesia hanya sebesar US$8 miliar. Namun pada tahun 2019 meroket menjadi US$40 miliar.
Artinya, jika ramalan itu benar, maka pekonomian digital dalam negeri diproyeksikan melonjak lebih dari 300% hanya dalam waktu lima tahun ke depan.
Hal ini tentu bukan tanpa sebab. Kehadiran ribuan startup berbasis teknologi Indonesia digadang-gadang menjadi mesin penggerak perekonomian digital. Bagaimana tidak, jumlah perusahaan startup di Indonesia bahkan menduduki peringkat ke-5 terbanyak di dunia, bersanding dengan negara-negara tersohor seperti Amerika Serikat, India, Inggris Raya, serta Kanada.
Keberadaan empat startup berstatus unicorn dan satu decacorn lokal juga memperkuat lini industri yang populer beberapa dasawarwa terakhir. Gojek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, OVO, serta JD.id telah mencatatkan namanya sebagai startup dengan valuasi terbesar di Indonesia. Sebagian dari mereka pun telah bersaing di pasar ASEAN.
Pandemi Tetap Bersemi
Co-Founder Indies Capital Pandu Patria Sjahrir mengatakan bahwa para pelaku usaha startup dapat memanfaatkan situasi pandemi saat ini. Sebagai contoh, sektor logistik ke depannya akan menjadi tren bisnis startup melalui e-logistic.
Selain itu masa pandemi juga menimbulkan permasalahan di bidang pendidikan dan kesehatan di tengah masyarakat. Ini juga bisa menjadi kesempatan bagi pelaku startup untuk mengembangkan sistem belajar online dan telemedik.
“Saya yakin startup yang bisa mengembangkan platform untuk mengatasi masalah kedua bidang itu akan bisa berkembang cepat,” ujarnya melalui keterangan resmi.
Tidak hanya pelaku startup, Pandu juga beranggapan bahwa para investor tidak akan segan mendukung melalui pendanaan. Apalagi, kata dia, pasar pada industri ini masih belum banyak terjamah.
“Misalnya e-commerce, kan orang belanja masih 98 persen offline, online-nya masih dua persen. Kalau kita bisa naik 10 persen saja, itu sudah lima kali lipat,” katanya.
Sejalan dengan hal tersebut, Managing Director Sequoia Capital Abheek Anand mengatakan bahwa startup berbasis digital makin melejit di tengah pandemi. Di sisi lain, model-model bisnis tertentu akan menjadi usang dan akhirnya harus gulung tikar.
Menurutnya, saat ini perlu bagi perusahaan rintisan untuk mulai melakukan berbagai inovasi. Sehingga perusahaan mereka dapat berkembang dari sisi teknologi maupun model bisnis.
Merona Meski Corona
Pandemi COVID-19 memang membuat sulit banyak pihak dengan dibatasinya ruang gerak masyarakat. Dengan adanya PSBB, adopsi teknologi digital dalam aktivitas masyarakat menjadi sebuah keniscayaan.
Kondisi ini mungkin membawa berkah tersendiri bagi sejumlah perusahaan rintisan. Betul saja, pandemi ternyata tidak menghalangi investor untuk mendanai perusahaan-perusahaan rintisan.
Terutama bagi pasar ekonomi digital dalam negeri, perkembangan industri startup dibuktikan dengan besarnya investasi yang masuk. Bahkan pemain besar dunia juga tak mau ketinggalan dengan fenomena tersebut.
Baru-baru ini startup ride-hailing Gojek telah menerima suntikkan dana sebesar US$3 miliar setara Rp44,4 triliun melalui putaran pendanaan Seri F. Dana tersebut di dapat dari perusahaan raksasa digital asal negeri Paman Sam, Facebook dan Paypal. Ini merupakan investasi pertama dalam sejarah Facebook pada perusahaan lokal.
Sebelumnya, Gojek juga sempat mendapatkan dana segar sebesar US$1,2 miliar setara Rp17,76 triliun pada kuartal-I 2020. Torehan ini turut menjadikan industri startup Indonesia menempati posisi teratas perolehan pendanaan startup terbesar se-Asia Tenggara pada periode tersebut.
Raupan lain didapat oleh perusahaan rintisan yang bergerak di sektor teknologi mendalam (deep tech) Eureka sebesar US$20 juta. Angka tersebut yang terbesar di antara startup deep tech lain di ASEAN.
Investor Asing Makin Nyaring
Dengan pencapaian tersebut, lantas tidak membuat industri startup Tanah Air berdaulat di negerinya sendiri. Sebab, banyak investor asing yang menjadi backbone dari perusahaan rintisan anak bangsa.
Asosiasi Digital Enterpreneur Indonesia (ADEI) mengakui bahwa aliran dana asing menjadi salah satu penopang pertumbuhan decacorn dan unicorn di Indonesia seperti Gojek dan Tokopedia.
Salah satu anggota ADEI, Suherman Widjaja mengungkapkan bahwa tanpa investor asing, startup Indonesia tidak akan menjadi apa-apa. “Kalau tidak dibuka untuk investor asing masuk, ya unicorn tidak pernah ada di Indonesia. Yang ada hanya startup,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, pemodal Indonesia belum terbiasa dengan model dan pola bisnis startup. Budaya ‘bakar duit’ perusahaan rintisan membuat investor dalam negeri enggan memberikan dananya karena dianggap merugikan.
Kondisi ini tentu menjadi peran pemerintah untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Jika tidak diatasi, maka potensi pasar yang besar itu, hasilnya akan diboyong ke luar negeri.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aryo Dharma Pala menuturkan, cepat atau lambat startup unicorn lokal akan dikuasai asing. Pasalnya, perkembangan startup di dalam negeri tidak direspons tepat oleh pemerintah.
“Ironisnya, startup lokal yang dibanggakan oleh pemerintah, nyatanya mayoritas sahamnya sudah dimiliki asing,” tandasnya.
Baginya, ada sejumlah alasan mengapa saham startup lokal didominasi oleh asing. Selain market size yang besar, sumber pembiayaan pada startup bukan berasal dari perusahaan konvensional. Sumber pembiayaan diberikan oleh perusahaan modal ventura yang belum berkembang pesat di Indonesia.
Oleh karena itu, kata dia, penting bagi pemerintah mendorong perusahaan venture capital lokal berkembang sehingga dapat mendukung investasi startup dalam negeri.
Sibak Tabir Startup Kakap
Saat ini tercatat ada tiga startup nasional yang berstatus unicorn dan satu decacorn yang disokong oleh pemodal-pemodal asing. Keempatnya adalah Gojek, Traveloka, Bukalapak dan Tokopedia.
Gojek menjadi startup Indonesia pertama yang mendapatkan titel unicorn dan saat ini telah mencapai decacorn. Perusahaan yang bergerak di sektor transportasi online ini didirikan pada 12 Oktober 2010. Tencent Holdings Ltd, disebut menjadi investor dengan pasokan modal paling besar, disusul JD.com dan Google.
Sementara itu, startup di bidang e-commerce, Tokopedia menyandang status unicorn setelah enam tahun berdiri. Startup raksasa milik Jack Ma yakni Alibaba digadang-gadang berada di belakang Tokopedia. Selain itu ada nama besar lain seperti Softbank dan Sequoia Capital turut mendanai perusahaan tersebut.
Selanjutnya ada Traveloka yang merupakan perusahaan rintisan online travel agent (OTA). Perusahaan butuh waktu sekitar lima tahun untuk meraih valuasi saham di atas US$1 miliar dan menjadikannya menyandang status unicorn.
Di belakang Traveloka terdapat beberapa perusahaan modal ventura asing antra lain East Ventures, Hillhouse Capital Group dan Expedia.
Terakhir yaitu Bukalapak yang didirikan oleh pemuda bernama Achmad Zaky. Mengumumkan diri sebagai unicorn pada awal tahun 2018 dan didorong oleh pemodal asing seperti perusahaan afiliasi Alibaba yaitu Ant Financial, GIC, serta Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund.
Taipan Ikut Rebutan
Meskipun didominasi asing, para konglomerat lokal juga tak ingin ketinggalan untuk berinvestasi pada perusahaan rintisan. Industri startup bisa menjadi ‘senjata baru’ dalam bisnis keluarga.
Beberapa di antara perusahaan konglomerasi memilih mendirikan startup sendiri. Tapi tak sedikit pula yang memilih peran sebagai pemodal.
Pada rentang 2016-2017, Lippo Group milik keluarga Mochtar Riady mendirikan e-commerce Mataharimall.com dan layananan pembayaran digital OVO lewat PT Visionet Internasional. Namun sayang, bisnis e-commerce Lippo tersebut harus tumbang beberapa waktu lalu.
Mochtar dikabarkan telah melepas sebagian besar sahamnya di OVO hingga menjadi 30% saja. Hal tersebut dikarenakan perusahaan selalu ‘bakar uang’ dan membuat ia tidak kuat.
Orang terkaya di Indonesia juga tidak ingin ketinggalan dalam bisnis ini. Melalui Grup Djarum, keluarga Hartono mulai merambah industri startup.
Putra Robert Hartono, Mastin Basuki Hartono mendirikan perusahaan modal ventura beranama Global Digital Prima Venture (GDP Venture) pada 2010. Dengan modal US$100 juta, ia mendirikan e-commerce Blibli.com serta membeli sejumlah saham startup lokal seperti Tiket.com, Gojek, dan HaloDoc.
Selanjutnya ada Grup Sinar Mas milik mendiang Eka Tjipta Widjaja. Ketertarikan perusahaan terhadap bisnis startup dimulai dari bermitra dengan perusahaan modal ventura populer, yakni East Ventures pada 2012 lalu. Portofolio mereka yang paling terkenal adalah Tokopedia dan Traveloka.
Tidak puas, Sinar Mas bersama dengan East Ventures dan Yahoo Jepang meluncurkan EV Growth yang berfokus mendanai startup di tahap pertumbuhan. Pada tahun yang sama, Sinar Mas juga mendirikan Sinar Mas Digital Ventures (SMDV) dan mendanai perusahaan rintisan seperti HappyFresh, Stickearn, dan Waresix.
Nama-nama konglomerat lain seperti Anthoni Salim Grup Salim dan keluarga Eddy Kusnadi Sariaatmadja pemilik Grup Emtek juga tertarik pada bisnis ini. Mereka semua mulai merambah menjadi pemain kakap lokal pada industri startup Tanah Air.
Lantas, apakah kita harus ambil bagian dalam industri perusahaan rintisan? Ataukah kita hanya akan menjadi konsumen dan sekadar menatap industri startup yang jadi rebutan investor asing serta para taipan? (SKO)