Stoikisme, Ketika Kebahagiaan Tak Perlu Dikejar
- Filosofi Stoikisme menekankan bahwa semua hal dalam hidup ini bersifat netral. Interpretasi manusia sendiri yang membuat hal-hal tersebut menjadi baik atau buruk.
Rumah & Keluarga
JAKARTA—Kebahagiaan tentu menjadi salah satu tujuan hidup manusia. Seringkali banyak cara ditempuh untuk mewujudkan perasaan itu. Hal tersebut mulai dari liburan, hang out dengan sahabat, makan kuliner enak hingga menjalani hobi yang menyenangkan.
Namun tak selamanya kebahagiaan dan ketenangan hidup bergantung pada hal di luar kita. Terkadang kebahagiaan bahkan bisa sirna apabila kita terlalu fokus pada pendapat orang mengenai kita. Oleh karena itu, cara pandang diri menanggapi semua hal atau permasalahan menjadi penting.
Belakangan filsafat Stoikisme banyak dipelajari manusia modern untuk mencari kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang berasal dari diri sendiri, bukan sebaliknya. Lalu apa itu sebenarnya Stoikisme? Bagaimana filsafat ini bekerja untuk menuju hidup lebih tenang dan bahagia?
Stoikisme adalah ilmu filsafat dari zaman Yunani kuno awal abad 301 SM. Aliran ini kali pertama dibidani filsuf bernama Zeno dari Citium. Stoikisme menjadi salah satu ilmu filsafat pertama yang bersifat universal. Sebelumnya para filsuf selalu memandang Yunani sebagai bangsa dengan peradaban tertinggi.
- Startup Konstruksi Gravel Diguyur Modal Rp216 Miliar
- Bidik KBMI 3, Bank Woori (SDRA) Mau Rights Issue 6,4 Miliar Saham
- Pewaris Grup Astra Tadah Dividen Interim Tower Bersama (TBIG) Rp1,78 Miliar
Setelah Zeno, Stoikisme kemudian dikembangkan oleh sejumlah tokoh seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Sampai sekarang, pemikiran mengenai Stoikisme masih terus berkembang dan tetap relevan dengan kehidupan manusia modern.
Filosofi Stoikisme menekankan bahwa semua hal dalam hidup ini bersifat netral. Interpretasi manusia sendiri yang membuat hal-hal tersebut menjadi baik atau buruk. Para filsuf Stoik menilai kebahagiaan tidak seharusnya dikejar.
Stoikisme mengajarkan manusia lebih fokus mengendalikan emosi negatif sehingga hidup lebih tenang dan tak terbebani. Selain mengontrol emosi negatif, Stoikisme membantu kita mensyukuri segala sesuatu yang dimiliki saat ini. Para Stoa (penganut ajaran Stoikisme) percaya ada keadaan yang tidak bisa diubah.
Yang bisa diubah hanyalah respons kita terhadap keadaan tersebut. Intinya, manusia dilatih untuk merespons segala sesuatu secara rasional. Hal itu selaras dengan tujuan utama aliran ini yakni pengendalian diri.
Dikotomi Kendali
Stoikisme mendefinisikan hidup menjadi dua bagian yakni dimensi internal dan dimensi eksternal. Kalangan Stoa menyebutnya sebagai dikotomi kendali. Dimensi internal adalah segala sesuatu yang berada dalam kendali penuh diri kita. Adapun dimensi eksternal adalah sesuatu yang berada di luar kontrol kita.
Hal ini seperti tanggapan orang lain, pujian orang lain atau apa yang orang lain pikirkan. Untuk mencapai kebahagiaan dan ketenangan hidup, Stoikisme mengajarkan agar fokus pada dimensi internal atau pikiran kita sendiri.
Semakin kita berusaha mengendalikan apa yang ada di luar kita, kita akan terbawa ke perasaan kecewa, frustrasi bahkan patah hati. Hal ini karena kita tidak bisa mengubah atau menentukan respons orang lain. Fokus kebahagiaan yang diajarkan Stoikisme ada dalam diri manusia masing-masing