<p>Sumber: inibaru.id</p>
Industri

Strategi Bakar Uang Tidak akan Berhasil

  • Jakarta, 31 Desember 2019-Akhir November tahun ini, kita dikejutkan dengan pengakuan pendiri Grup Lippo, Mochtar Riady yang mengaku tidak lagi kuat “bakar uang” demi memberikan promosi melalui layanan dompet digital OVO (fintech). Grup yang telah dibangunnya ini, mengurangi dua per tiga kepemilikan sahamnya di OVO, sehingga saat ini kepemilikan Grup Lippo dalam OVO menyusut menjadi […]

Industri
wahyudatun nisa

wahyudatun nisa

Author

Jakarta, 31 Desember 2019-Akhir November tahun ini, kita dikejutkan dengan pengakuan pendiri Grup Lippo, Mochtar Riady yang mengaku tidak lagi kuat “bakar uang” demi memberikan promosi melalui layanan dompet digital OVO (fintech). Grup yang telah dibangunnya ini, mengurangi dua per tiga kepemilikan sahamnya di OVO, sehingga saat ini kepemilikan Grup Lippo dalam OVO menyusut menjadi 30%.

Terkait hal ini, Pengamat Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Gunawan Benjamin, menilai ada kencenderungan pengusaha di era digital saat ini berani rugi di depan dalam mengembangkan produk.

“Saya melihat memang ada pola strategi pengembangan bisnis yang berbeda di era digital belakangan ini. Umumnya pengusaha itu kan melakukan investasi ataupun pengembangan usaha dengan melihat prospek bisnisnya terlebih dahulu. Katakanlah prospek bisnis jelas, akan tetapi hitung-hitungan untung rugi ke depan itu kan juga dibutuhkan sebagai landasan dalam mengembangkan bisnis,” ujar Gunawan saat dihubungi, Jumat (20/12).

Ia menyebut, OVO memberikan cukup banyak promo di awal untuk menarik sebanyak-banyaknya minat masyarakat menggunakan produk dompet digital tersebut. Jika promo yang diberikan merupakan hasil pengelolaan dana pengguna yang mengendap di OVO, menurutnya sah-sah saja.

“Awalnya, saya melihat promo itu bisa diberikan, dan sah sah saja. Saya berpikir, mungkin promo itu diberikan setelah perusahaan mendapatkan kesempatan dalam mengelola dana yang mengendap di OVO,” ujarnya.

“Sebagai contoh, misalkan ada duit nasabah di OVO yang tidak terpakai. Nah duit tersebut kan pada dasarnya bisa diputar, katakanlah masuk dalam pasar uang, ini hanya salah satu instrument saja. OVO dapat keuntungan di situ, sehingga keuntungan dalam bentuk simpanan itu yang digunakan sebagai promo ke pengguna,” paparnya.

Namun, ternyata OVO bukan memberikan promo menggunakan hasil perputaran dana yang mengendap, melainkan sengaja mensubsidi konsumenya untuk mengejar potensi keuntungan yang bisa didapatkan dalam jangka panjang. Ia menyebut ini sebagai strategi nekat.

“Ini strategi yang menurut saya idenya cukup berani atau bahkan terbilang nekat. Kita belum melihat berapa potensi keuntungan yang bisa didapat di masa yang akan datang. Sementara kita melakukan aksi bakar uang saat ini. Pertanyaan yang paling mendasar adalah seberapa besar kemampuan kita dalam mensubsidi (bakar duit) ke calon nasabah tersebut?” ungkap Gunawan.

Ia meyakini, tujuan akhirnya adalah dominasi yang kuat yang bisa mengalahkan atau bahkan mematikan para pesaing. Namun, dibutuhkan nyali besar untuk menjalankan strategi tersebut.

“Walaupun bukan hanya OVO yang melakukan hal tersebut, namun saya melihat model usaha di era digital saat ini pemiliknya cenderung mengambil keputusan bisnis yang banyak unsur gambling-nya di situ,” ujarnya.

Ia menegaskan strategi bisnis “bakar uang” ini tidak akan bertahan lama. Persaingan yang dilakukan aplikator dengan”bakar uang” hanya akan menguntungkan konsumen semata.

“Model bisnis seperti ini sebaiknya jadi pelajaran kita semua. Bayangkan kalau ada startup baru dan siap bakar duit, maka yang ada di benak pesaingnya adalah seberapa besar duit yang akan dibakar nantinya?” katanya.

Ia juga menyayangkan, wadah atau regulasi yang dibuat cenderung lebih lambat dibandingkan dengan kelahiran produknya itu sendiri. Sehingga para pengusaha atau pemainnya cenderung semaunya sendiri.

“Untuk itu saya mendorong ada regulasi yang pas, ada asosiasi yang tercipta yang bisa menjadi wadah untuk menampung kebutuhan para startup tersebut,” harapnya.

Bagi aplikator, ia berpesan, era digital ini bukanlah era di mana semua bisa memprediksikan apa yang akan terjadi pada bisnis kita dengan cara yang sangat akurat. Terlebih kalau bisnis yang dikembangan sangat berbau teknologi. Untuk itu, pelaku startup harus lebih cermat memilih strategi bisnis sesuai kemampuan finansial.

“Mungkin satu dua startup di awal mampu bertahan dan berhasil saat membakar uang. Tetapi bagaimana kalau muncul banyak startup baru yang melakukan hal sama?” ujarnya.