Jahja Setiaatmaja
Perbankan

Strategi Bos BCA Tangkis Pelemahan Daya Beli

  • Jika konsumen hanya mampu membayar di tahun pertama atau kedua dan kemudian macet, maka itu akan menjadi masalah besar. Cicilan bisa naik ketika kondisi ekonomi berubah, sehingga kemampuan bayar konsumen menjadi tantangan utama yang harus diperhatikan.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Daya beli masyarakat pada tahun 2025 diprediksi akan mengalami penurunan. Kondisi ini mendorong perbankan untuk lebih berhati-hati dalam menentukan target penyaluran kredit konsumer. 

Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, mengungkapkan bahwa daya beli masyarakat sempat mendapatkan dukungan signifikan pada periode 2020–2021, berkat bantuan sosial (bansos) dan berbagai promo e-commerce yang menerapkan strategi bakar uang.

Namun, situasi kini telah mengalami perubahan signifikan. Menurut Jahja, harga berbagai kebutuhan semakin meningkat, termasuk layanan di sektor e-commerce. Pasca berakhirnya masa bakar uang, biaya layanan seperti pengantaran barang menjadi lebih mahal, yang turut membebani daya beli masyarakat.

Tantangan yang Dihadapi Perbankan

Buying power masyarakat semakin melemah, dan ini tercermin dari penjualan produsen kita, terutama pelaku UKM komersial yang cenderung stagnan. Kondisi ini memaksa kami untuk lebih berhati-hati dalam menentukan pricing untuk kredit konsumer,” jelas Jahja dalam konferensi pers paparan kinerja BCA tahun 2024 yang diselenggarakan secara virtual, Kamis, 23 Januari 2025.

Jahja menyatakan bahwa BCA akan merancang strategi yang lebih kompetitif dalam menyalurkan kredit konsumer, seperti pada produk Kredit Pemilikan Rumah (KPR). 

BCA menyediakan paket KPR dengan bunga yang sangat terjangkau. Namun, penting untuk memastikan bahwa konsumen benar-benar mampu melunasi cicilan hingga selesai, mengingat tenor KPR biasanya berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, bahkan hingga 15 tahun.

“Jika konsumen hanya mampu membayar di tahun pertama atau kedua dan kemudian macet, maka itu akan menjadi masalah besar. Cicilan bisa naik ketika kondisi ekonomi berubah, sehingga kemampuan bayar konsumen menjadi tantangan utama yang harus kami perhatikan,” tambahnya.

Perubahan Perilaku Konsumen dalam Kredit Konsumer

Jahja juga menyoroti tren yang terjadi sepanjang tahun 2024, di mana dari total 23.000 KPR yang disalurkan BCA, hanya sekitar 6.000 yang benar-benar digunakan untuk membeli rumah. Sisanya, sebanyak 16.000 KPR digunakan untuk refinancing, yang umumnya dimanfaatkan sebagai modal kerja oleh nasabah.

“Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen memanfaatkan KPR bukan untuk kebutuhan rumah, melainkan untuk menggantikan modal kerja mereka. Jika aktivitas bisnis melambat, permintaan refinancing juga kemungkinan akan berkurang. Oleh karena itu, tren ini harus terus kami amati secara saksama,” ungkap Jahja.

Baca Juga: Risiko Kredit BCA Menyusut Drastis pada 2024

Optimisme dan Kewaspadaan di Tengah Ketidakpastian

Meskipun menghadapi tantangan daya beli yang melemah, Jahja berharap penyaluran kredit konsumer dapat tetap meningkat seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi. 

Namun, BCA tetap mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan skenario terburuk dengan melakukan berbagai penyesuaian pada strategi mereka.

Kinerja 2024

Untuk diketahui, BCA berhasil mencatatkan kenaikan laba bersih sepanjang 2024. Kenaikan tersebut seiring dengan peningkatan kredit konsolidasi perseroan, yang mencatatkan pertumbuhan total kredit sebesar 13,8% secara tahunan, mencapai Rp922 triliun.

Berdasarkan laporan keuangan, emiten dengan kode saham BBCA ini berhasil meraih laba bersih sebesar Rp54,8 triliun sepanjang 2024. Angka ini lebih tinggi 13% dibandingkan tahun 2023 yang tercatat sebesar Rp48,6 triliun.

Presiden Direktur BBCA, Jahja Setiaatmadja, menyatakan bahwa pencapaian positif BBCA dalam hal kredit diikuti dengan terjaganya kualitas kredit, di mana rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) tetap terjaga pada level 1,8%, sementara Loan at Risk (LAR) membaik menjadi 5,3%.

Jahja menambahkan bahwa penyaluran kredit BBCA sepanjang tahun lalu ditopang oleh kredit korporasi yang tumbuh 15,7% mencapai Rp426,8 triliun. Sementara itu, kredit komersial naik 8,9% mencapai Rp137,9 triliun, dan kredit UKM tumbuh 14,8% mencapai Rp123,8 triliun.

Adapun total portofolio kredit konsumer naik 12,4% menyentuh Rp223,7 triliun, ditopang oleh KKB yang meningkat 14,8% mencapai Rp65,3 triliun dan KPR yang naik 11,2% menjadi Rp135,5 triliun. Outstanding pinjaman konsumer lainnya, yang mayoritas berupa kartu kredit, juga tumbuh 12,8% menjadi Rp22,9 triliun.

Sementara itu, penyaluran kredit ke sektor berkelanjutan tumbuh 12,5% menjadi Rp229 triliun per Desember 2024, berkontribusi hingga 24,8% terhadap total portofolio pembiayaan. 

Salah satu pencapaian ini didorong oleh kredit kendaraan bermotor listrik yang meningkat 84,2% secara tahunan, mencapai Rp2,3 triliun.

Pendapatan bunga bersih (Net Interest Income/NII) BBCA tumbuh 9,5% menjadi Rp82,3 triliun pada 2024. Pendapatan selain bunga naik 10,2% menjadi Rp25,2 triliun, sehingga total pendapatan operasional mencapai Rp107,4 triliun, atau naik 9,7%. Sementara itu, biaya provisi BBCA tercatat sebesar Rp2 triliun.