<p>Seorang karyawan tengah menata rokok dari berbagai jenis dan merk di sebuah etalase waralaba kawasan Cengkareng Jakarta Barat, Rabu 17 Maret 2021. Foto: Panji Asmoro/TrenAsia</p>
Nasional

Struktur Tarif Cukai yang Kompleks, Biang Keladi Tingginya Konsumsi Rokok di Indonesia

  • JAKARTA — Upaya pemerintah untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia masih terhambat oleh kebijakan cukai hasil tembakau yang tidak pro terhadap kesehatan masyarakat. Salah satunya adalah struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang berlapis-lapis sehingga membuat harga rokok tetap terjangkau. Akibatnya, prevalensi perokok di Indonesia tergolong tinggi dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Direktur […]

Nasional

Ananda Astri Dianka

JAKARTA — Upaya pemerintah untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia masih terhambat oleh kebijakan cukai hasil tembakau yang tidak pro terhadap kesehatan masyarakat. Salah satunya adalah struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang berlapis-lapis sehingga membuat harga rokok tetap terjangkau. Akibatnya, prevalensi perokok di Indonesia tergolong tinggi dan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Direktur Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda mengatakan bahwa simplifikasi struktur tarif CHT perlu dilakukan secepatnya. Simplifikasi semakin relevan di tengah situasi pandemi COVID-19, di mana negara membutuhkan dana yang lebih besar untuk program pemulihan ekonomi nasional.

“Penyederhanaan atau simplifikasi struktur tarif CHT secara bertahap akan mengurangi variasi harga rokok di pasaran, terutama yang harganya terlalu murah. Sehingga, ketika harga rokok naik, perokok tidak bisa dengan mudah berpindah ke rokok yang lebih murah, karena variasinya lebih sedikit,” ujar Olivia.

CISDI berharap, peta jalan simplifikasi yang pernah diimplementasikan oleh pemerintah pada 2018 dapat dijalankan kembali secara bertahap. Terlebih, simplifikasi juga sudah masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

“Tahun ini waktu yang paling tepat bagi pemerintah untuk melakukan simplifikasi. Karena selain membantu pengendalian konsumsi, simplifikasi golongan juga diprediksi dapat meningkatkan penerimaan negara dari cukai yang juga diperlukan untuk pemulihan ekonomi,” ujarnya.

Olivia juga memaparkan bahwa kerumitan struktur tarif cukai justru membuka peluang pabrikan besar untuk melakukan penghindaran pajak dengan membayar tarif cukai yang lebih murah.

“Struktur tarif CHT yang rumit juga membuat pengawasan oleh Bea dan Cukai lebih sulit. Selain itu rumitnya struktur tarif memungkinkan perusahaan rokok besar untuk masuk di pasaran industri kecil dengan membuat segmentasi produk dengan merek berbeda dengan jumlah produksi yang disesuaikan dengan batasan produksi di golongan tarif rendah. Akhirnya, hal ini menyebabkan perusahaan kecil semakin terpuruk juga,” katanya.

Senada dengan Olivia, Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Aryana Satrya mengatakan target penurunan prevalensi perokok di Indonesia belum optimal karena kebijakan untuk mengendalikan konsumsi rokok tidak dilakukan secara konsisten, signifikan, dan sinergis.

“Selain kenaikan CHT, harus diimbangi dengan kenaikan HJE dan penyederhanaan struktur tarif CHT,” ujar Aryana.

Dia mengatakan, skenario Bappenas 2021 menunjukkan bahwa kenaikan tarif CHT dibarengi dengan kebijakan simplifikasi struktur tarif CHT menjadi 3-5 strata dapat meningkatkan penerimaan negara, serta mencapai target penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7% pada 2024.

“Penerapan cukai rokok di Indonesia saat ini masih beragam karena banyaknya golongan tarif cukai. Hal ini menyebabkan harga rokok bervariasi dan memungkinkan masyarakat membeli rokok yang lebih rendah sehingga diperlukan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau,” tegasnya.

Aryana menilai simplifikasi struktur tarif CHT menjadi penting untuk mengurangi konsumsi rokok karena akan mengubah variasi harga rokok di pasaran. “Berkurangnya variasi harga rokok di masyarakat, akan membuat harga rokok semakin tidak terjangkau bagi anak, remaja, dan masyarakat miskin. Ini berdampak terhadap pengendalian konsumsi,” ujarnya.

Secara terpisah, ekonom Faisal Basri mengatakan bahwa pemerintah seharusnya dapat melakukan terobosan agar rokok semakin tidak terjangkau. “Untuk mengurangi keterjangkauan rokok, kebijakan cukai harus diiringi dengan simplifikasi struktur tarif CHT,” ujarnya pada Webinar Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2021 bertajuk Kerumitan Struktur Cukai Rokok versus Indonesia yang Lebih Sehat oleh Visi Integritas di Jakarta, Senin (31/5/2021).

Faisal Basri sepakat dengan rancangan Bappenas bahwa simplifikasi struktur tarif CHT harus dilakukan setidaknya menjadi 3-5 layer. Sebelumnya, pemerintah sudah pernah mencanangkan kebijakan simplifikasi struktur tarif CHT secara bertahap pada 2017 dari 12 layer menjadi 5 layer, namun kemudian di tengah jalan peta jalan simplifikasi ini dibatalkan.

Hal ini, kata Faisal, merupakan akibat dari lobi perusahaan rokok. “Di Indonesia banyak pabrik rokok yang mempertahankan layer di bawahnya supaya cukainya lebih rendah, ini terutama perusahaan asing. Padahal dia pemain dunia.” ujar Faisal.

“Rokok is rokok. Dalam bentuk apapun, itu harus diperketat,” tegasnya. (RCS)