Subsidi Gas Murah Berisiko Menghambat Iklim Investasi di Sektor Hulu
- Kebijakan subsidi harga gas melalui program HGBT berisiko menghambat iklim investasi di sektor hulu.
Industri
JAKARTA – Kebijakan subsidi harga gas melalui program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) berisiko menghambat iklim investasi di sektor hulu gas. Program yang telah dijalankan sejak 1 April 2020 itu juga akan menjadi disinsentif untuk pengembangan infrastruktur gas di dalam negeri.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, harga gas bumi murah tidak bisa hanya sekadar menggunakan acuan harga nominal yang ditetapkan sebesar US$6 per MMBTU di plant gate. Sebab, harga gas bumi pada dasarnya harus mempertimbangkan kepentingan industri hulu gas, usaha penyediaan infrastruktur gas, usaha niaga gas, dan kepentingan industri pengguna gas.
"Harga gas yang ditekan terlalu rendah dapat menyebabkan kegiatan usaha hulu gas tidak cukup menarik bagi produsen dan dapat menghambat pengembangan lapangan gas seperti yang telah terjadi pada pengembangan proyek Blok Natuna, IDD, dan Blok Masela," ujar Komaidi saat dihubungi TrenAsia.com, Senin, 14 Agustus 2023.
- Bobby Dorong PAD Topang 50 Persen Pembangunan Medan
- Divestasi Vale Mandek, Pemerintah Tetap Ngotot jadi Pengendali
- Mengukur Dampak Hilirisasi Nikel, Begini Tanggapan Kemenperin
Menurut Komaidi, harga gas dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama, keekonomian lapangan gas. Semakin kecil skala gas yang diproduksi, maka biaya produksi dan harga gas akan semakin mahal. Kedua, lokasi lapangan. Produksi gas di wilayah remot atau di laut tentu akan menyedot biaya yang lebih tinggi dibandingkan produksi gas di onshore atau di wilayah yang terjangkau.
Ketiga, kondisi pasar. Pasar gas dengan pembeli yang terbatas dan volume pembelian kecil tentu akan menyebabkan harga gas menjadi lebih mahal. Keempat, ketersediaan infrastruktur gas. Keterbatasan infrastruktur gas bisa mengakibatkan keekonomian proyak dan harga gas menjadi lebih mahal.
"Tinggi-rendahnya harga gas akan memberikan sinyal mengenai keberpihakan pemerintah terhadap iklim investasi hulu gas. Harga gas pada konsumen akhir yang ditekan cukup rendah bisa memberikan sinyal negatif dan disinsentif untuk pengembangan infrastruktur gas di dalam negeri," tegas Komaidi.
Dampak Harga Gas Murah
Harga gas yang rendah, menurut Komaidi, bisa menyebabkan insentif untuk usaha penyediaan infrastruktur gas di dalam negeri menjadi tidak cukup menarik. Itu sebabnya, pengembangan proyek infrastruktur pipa gas CISEM Tahap 1 dan 2 pada akhirnya harus dilaksanakan sendiri oleh pemerintah melalui APBN dengan menggunakan skema multi years contract (MYC). Ini mengindikasikan bahwa usaha penyediaan infrastruktur gas belum cukup menarik bagi para pelaku usaha.
Sejak program HGBT dijalankan, pemerintah telah menggelontorkan subsidi lebih dari Rp29,39 triliun. Besarnya subsidi tersebut disebabkan kebijakan harga gas bumi untuk sektor industri tertentu dipatok sebesar US$6 per MMBTU. Akibatnya, pemerintah wajib menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara agar tidak membebani jatah kontraktor.
- Waspada! Berbekal Suara Keybord, AI Bisa Tebak Password Anda
- Meriahkan HUT ke-78 Republik Indonesia, KAI Banjir Promo Tiket Menarik
- Manfaatkan Energi Terbarukan, Pertamina Wujudkan Desa Energi Berdikari
Berdasarkan sturi ReforMiner, Komaidi menambahkan, kebijakan harga gas bumi murah belum tentu dapat secara otomatis menurunkan biaya produksi dan meningkatkan daya saing industri pengguna gas. Sebab, biaya produksi dan daya saing industri pengguna gas tidak hanya ditentukan oleh harga gas, tetapi ditentukan oleh sejumlah faktor.
Di sisi lain, biaya implementasi untuk kebijakan harga gas murah tersebut cukup besar. "Sampai saat ini, biaya implementasi kebijakan harga gas bumi murah tercatat masih lebih besar dibandingkan dengan manfaat ekonomi yang telah diperoleh," tegas Komaidi.