Suku Awyu, Nibung dan Sidang Gugatan Perusahaan Sawit
- Dua wakil Suku Awyu tampak mengenakan pakaian adat dan membawa sejumlah hasil hutan seperti sagu, cawat, motu (tas adat dari kulit kayu), dan pelepah nibung ke persidangan.
Hukum Bisnis
JAKARTA—Dua anggota masyarakat adat Suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan menjadi saksi dalam sidang gugatan yang diajukan dua perusahaan sawit terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada awal pekan ini.
Kesaksian di persidangan merupakan kelanjutan dari permohonan intervensi yang didaftarkan masyarakat Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka dari konsesi perusahaan sawit.
Dua wakil Suku Awyu yang menjadi saksi, Gergorius Yame dan Hendrikus Woro, tampak mengenakan pakaian adat dan membawa sejumlah hasil hutan seperti sagu, cawat, motu (tas adat dari kulit kayu), dan pelepah nibung ke persidangan.
Benda-benda tersebut adalah hasil hutan yang sangat penting untuk kehidupan sehari-hari suku Awyu. Hendrikus Woro menjelaskan satu pohon nibung memiliki banyak kegunaan.
- Perusahaan di India Hentikan 90% Karyawannya, Digantikan AI
- Realisasi Program Rumah Murah FLPP Baru Capai 47,15 Persen
- 10,92 Persen Instansi Layanan Publik Indonesia Masuk Zona Merah
Dia mengatakan pelepah nibung bisa menjadi tikar, lalu pucuknya bisa dijadikan sayur dan garam Papua. “Isi batangnya bisa menjadi obat batuk, batangnya menjadi lantai rumah, daunnya bisa kami pakai untuk membungkus sagu sampai membangun bivak,” ujarnya dikutip dari greenpeace.org, Jumat 14 Juli 2023.
Hendrikus juga memaparkan relasi marga-marga dalam suku Awyu. Hal itu di antaranya terlihat dari kerja sama mereka melakukan pemetaan partisipatif mengenai batas-batas wilayah adat antarmarga. Menurut Hendrikus, pemetaan itu dilakukan karena adanya perusahaan sawit yang mengancam hutan adat mereka.
Sementara Gergorius Yame menceritakan ihwal sungai di sekitar hutan suku Awyu yang masih sangat baik kondisinya. Saking bersihnya, warga tak perlu memasak air sebagai bekal setiap ke hutan. “Tinggal timba air sungai dan langsung minum. Kami khawatir perkebunan sawit akan merusak sungai kami, karena kami sudah melihat Sungai Digoel rusak akibat perkebunan sawit,” ujar Gergorius.
Dalam persidangan di PTUN Jakarta ini, masyarakat Awyu menjadi tergugat intervensi dalam gugatan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama terhadap Menteri LHK. Gergorius Yame menjadi saksi untuk gugatan PT MJR, sedangkan Hendrikus Woro bersaksi untuk gugatan kedua perusahaan.
Pembukaan Lahan Hutan
Adapun objek gugatan PT MJR dan PT KCP adalah surat keputusan Menteri LHK tentang penertiban dan penataan pemegang izin pelepasan kawasan hutan. Greenpeace International menggunakan metodologi shining light on the shadows untuk menelusuri PT MJR dan PT KCP.
Ini adalah sebuah metodologi untuk mengungkap struktur dan hubungan korporasi dengan grup-grup perusahaan. Lewat metodologi itu, ditemukan cukup bukti bahwa PT MJR dan PT KCP, yang konsesinya berdampingan, diduga pernah terkait dan mungkin masih terkait ke Hayel Saeed Anam Group dan para penerima manfaatnya–anggota keluarga Hayel Saeed.
Sebanyak 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi tersebut, tapi ada 65.415 hektare hutan hujan yang masih bisa diselamatkan. Hendrikus Woro juga mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke PTUN Jayapura pada 13 Maret lalu.
Gugatan tersebut menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Provinsi Papua untuk perusahaan PT Indo Asiana Lestari (PT IAL), yang juga berlokasi di Boven Digoel, Papua Selatan.