<p>Nasabah melakukan penarikan uang Rupiah di salah satu telker bank di Jakarta, Kamis, 18 Februari 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Suku Bunga Naik, Siap-Siap Biaya Dana Bank Melonjak

  • Di tengah volatilitas penyaluran kredit yang tinggi di tahun ini, pelaku industri perbankan dihantui oleh kenaikan biaya dana alias Cost of Fund (CoF) yang bisa menekan profitabilitasnya pada 2022.

Industri

Muhamad Arfan Septiawan

JAKARTA - Pemulihan ekonomi yang berlangsung selama tahun ini diprediksi memaksa Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan (BI-7 Days Reverse Repo Rate/BI-7DRR) pada 2022. Di tengah volatilitas penyaluran kredit yang tinggi di tahun ini, pelaku industri perbankan dihantui oleh kenaikan biaya dana alias Cost of Fund (CoF) yang bisa menekan profitabilitasnya pada 2022.

Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) Royke Tumilaar menyebut kenaikan suku bunga praktis membuat permintaan kredit berpotensi terkoreksi pada tahun depan. Maka dari itu, kata Royke, stimulus BI masih perlu dilanjutkan untuk menopang permodalan dan aspek profitabilitas perbankan. 

BNI memproyeksikan BI Rate parkir di kisaran 3,50%-4,0%. Hal ini sejalan dengan proyeksi inflasi yang berada di kisaran 2%-4% year on year (yoy) pada tahun depan. 

“Kenaikan suku bunga BI akan berdampak pada intermediasi, kebijakan relaksasi BI selama ini terkait GWM (Giro Wajib Minimum) dan RIM (Rasio Intermediasi) diharapkan bisa diperpanjang agar menekan CoF,” jelas Royke dalam Economic Outlook, Senin, 22 November 2021.

Seperti diketahui, otoritas moneter telah menekan GWM hingga 300 basis poin (bps) untuk menyokong likuiditas perbankan. Selain itu, RIM yang diatur di level 80% hingga Desember 2021, sebelum akhirnya dinaikkan menjadi 84% mulai 2022.

Dengan kondisi stimulus yang ada saat ini, Royke bilang pelaku industri perbankan relatif bisa menjaga CoF terkendali. Stimulus ini pun diharapkan terus berlanjut pada tahun depan. 

Royke menegaskan kenyataan suku bunga yang bakal naik membuat perseroan menggodok strategi untuk tetap bisa ekspansi kredit sekaligus mengendalikan CoF. Asal tahu saja, bank pelat merah itu diketahui memiliki CoF di angka 1,6% atau terendah kedua di Indonesia

“Suku Bunga kredit saat ini relatif sangat rendah di segala segmen. Dalam menghadapi suku bunga acuan yang diprediksi naik pada tahun depan, kami memfokuskan di optimalisasi pengelolaan LaR (Loan at Risk)  dan juga meningkatkan fee based income untuk menjaga pertumbuhan laba,” papar Royke.

Secara keseluruhan, pertumbuhan kredit di seluruh segmen BNI hingga kuartal III-2021 menyentuh 3,7% yoy atau di atas rata-rata industri yang sebesar 2,2% yoy. Adapun nilai kredit yang telah dikucurkan mencapai Rp570,64 triliun atau membaik dibandingkan dengan capaian kuartal III-2020 yang sebesar Rp550,07 triliun.

Total aset bank pelat merah ini ikut naik, dari Rp891,34 triliun pada akhir 2020 menjadi Rp919,45 triliun pada kuartal III-2021. Tahun depan, BNI membidik kinerja kredit dari korporasi tier-1 serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang masuk supply chain global. 

“Di tahun depan kami akan genjot ekspansi kredit. Kita juga ada Xpora untuk UMKM dan dan mengincar korporasi yang unggul di industrinya. Permodalan kami sudah tergolong siap, dengan adanya penambahan subordinasi Tier-2 pada Maret 2021 dan Additional Tier 1 Perpetual Non-Cumulative pada September 2021,” tegas Royke.

Harus Efisiensi BOPO

Nasabah melakukan transaksi melalui mesin ATM di gerai BNI Digital Branch Gandaria City, Jakarta, Kamis, 4 Maret 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menjelaskan tantangan bagi pelaku industri perbankan dalam menjaga profitabilitas saat kenaikan BI rate adalah efisiensi. Hingga Agustus 2021, Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) bank umum masih parkir di level 84% atau masih berada di atas level pra-pandemi sebesar 79%.

“BOPO bank umum ternyata trennya mengalami kenaikan . Kalau perbankan mau mendapatkan margin yang tinggi, operasionalnya harus diefiensikan agar pertumbuhan laba terjaga,” papar Bhima dalam kesempatan yang sama. 

Selain itu, Bhima mengatakan kondisi calon debitur sebetulnya sudah mengalami perbaikan. Namun, hal ini belum terdorong optimal lantaran profil risiko perbankan yang masih tinggi.

Kredit yang terganjal ini dapat ditengok dari undisbursed loan yang tinggi. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukan terdapat peningkatan undisbursed loan dari Rp1.605 triliun pada Juli 2021 menjadi Rp1.703 triliun pada Agustus 2021.

Padahal debitur, terutama pelaku UMKM, tengah membutuhkan belanja modal untuk menunjang operasional bisnis yang diklaim mulai meningkat. Survey Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan sebanyak 83% pelaku UMKM tengah membutuhkan injeksi modal pada tahun ini.

“Salah satu sumbernya (modal) adalah kucuran dana dari perbankan. Memang di sisi lain bank harus selektif, tapi kalau pertumbuhan ekonomi 2022 mau sampai 5% yoy, kredit harus tumbuh tiga kali lipat. Lalu mengapa tertahannya masih tinggi? perbankan masih melihat faktor risiko yang masih tinggi di beberapa sektor usaha sehingga masih banyak yang wait and see,” ucap Bhima.

Kondisi permintaan kredit yang masih rentan ini berpotensi memburuk bila perbankan tidak secara cepat merespons arah kebijakan BI. Menurut Bhima, pelaku industri perbankan mesti melihat profil risiko debitur lebih optimistis di tengah pemulihan ekonomi serta membaiknya kondisi pandemi COVID-19 di dalam negeri.

Jika ditelisik lebih lanjut, Bhima menyebut sebetulnya tidak ada alasan bagi perbankan untuk menahan kreditnya. Pasalnya, likuiditas yang deras dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dapat menjadi amunisi pelaku industri perbankan ekspansi kredit.

“Kondisi CoF saat ini? Kalau kita bicara CoF, likuiditas melimpah sebagaimana terlihat dari DPK dan komposisi CASA-nya juga demikian. Maka dari itu, likuiditas perbankan saat ini bisa menunjang ekspansi kredit di tahun depan,” tegas Bhima.

Menurut catatan BI, DPK tumbuh 7% yoy per akhir September 2021. Bank sentral juga merekam, rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid/DPK per September 2021 terpantau masing-masing pada level 152,8% dan 33,53%, di atas threshold masing-masing sebesar 50% dan 10%.

Di sisi lain, Bhima mendorong pelaku usaha untuk menarik kredit sebelum akhirnya BI rate dikerek pada 2022. “Pelaku usahanya harus optimistis dulu bahwa bisnis berjalan dan ini saatnya untuk menarik kredit sebelum bunganya naik. Dari sisi perbankan, perlu ada stimulus agar kinerja kreditnya lebih kencang,” terang Bhima.